search
SurfingWorkingConnecting

Kumpul dan Ide Segar Coworking Space

Beberapa pekan silam saya banyak menghabiskan waktu di Bali, hampir 1,5 bulan. Selain dalam rangka menyeleseaikan biografi Superman Is Dead serta beberapa projek lain.
Dari sebegitu panjang lebar kiat yang telah saya paparkan, baik internal maupun eksternal, selain merapikan urusan dalam negeri juga membangun imej serta kepercayaan pihak luar, perjalanan merintis karir di skena musik tampaknya tinggal menentukan keputusan nan menentukan alias paling final: melebur ke industri atau mendekat ke komunitas. Adalah memang, benar sekali, harus diakui bahwa menetapkan tujuan, membidik sasaran, mematok incaran, bukanlah bak memainkan dua sisi dari keping uang logam, atau semudah membalik telapak tangan. Sebab ini soal hidup mati, tentang masa depan. Jadi penggarisan takdir bagi diri sendiri jangan sampai salah, kudu super diseriusi. Untuk itu, mari saya beri perbandingan kelebihan dan kekurangan atara industri dengan komunitas.
Sejauh ini kita melulu bicara soal eksternal, soal bagaimana menyenangkan pihak luar, apa yang harus dilakukan agar pihak sekeliling hatinya gonjang-ganjing. Lalu, urusan internal, perkara domestik, mau dibiarin tandus tak terurus? Konsolidasi ke dalam jelas tak kalah penting. Sebab jika ihwal kerumahtanggaan dalam sebuah organisasi (baca: band) keropos maka cahaya yang menyebar terpancar juga biasanya otomatis kurang benderang. Jadi, sekali lagi, selain persoalan jejaring sosial, menyenangkan penggemar, segala gono-gini pencitraan, fondasi pendukung selain personel Trio Kiamat Raya semata adalah penting juga. Agar konstruksi sebuah kelompok musik makin sakti mandraguna memang idealnya---maksudnya ideal dalam skala minimal ya---di orbitnya ada elemen pendukung kayak manajer, soundman, dan crew yang ngurusin instrumen masing-masing pemain band. Dengan support sedemikian rupa maka orang per-orang anggota Trio Kiamat Raya bisa fokus ngurusin musik aja. Trio Kiamat Raya bakalan nyaman konsentrasi dalam berkesenian.
Mari maju terus. Selangkah demi selangkah, tegap lagi gagah. Setelah fans club Sejawat Kiamat terbentuk dan terawat dengan cermat lalu apa? Turun gunung, dong. Ya, angkat pantatmu dari kursi empuk itu. Matikan pc/laptop/Blackberry/perangkat elektronik lainnya. Jangan terlena keenakan Facebook-an dan nge-tweet saja. Memang sih kamu sudah lebih dominan menggunakan situs jejaring sosial untuk promo band kamu, tidak lagi kelewat sibuk narsis meng-update peristiwa-peristiwa gak penting dalam hidupmu, tapi tetap saja kontak fisik itu vital adanya. Komunikasi nyata, bukan dunia maya, masih memegang peran sungguh penting di dalam kehidupan. Kedudukannya belum tergantikan oleh hubungan sosial di jagat virtual.
Menyapa. Membuka pintu. Menggiring masuk. Mempersilakan duduk. Membikinkan minuman---atau menyuguhkan makanan. Membuat nyaman. Bertegur sapa. Berbicara. Membangun rasa percaya dan sesekali memberi fatwa. Kalimat di atas adalah penjabaran gampang-cerna tentang langkah lanjutan setelah propaganda sederhana tepat guna. Ya, manuver ke berikutnya berupa pengorganisasian. Orang-orang yang telah bersedia menjadi kawan segera dikelola, “sahabatnya sahabatku punya sahabat” yang sudah bergabung di Facebookpage Trio Kiamat Raya mulai dimobilisasi. Semua yang nge-like difasilitasi di sebuah wadah khusus: Trio Kiamat Raya Fans Club. Agar khas, para penggemar itu diberi julukan khusus seperti Rakyat Kiamat Raya atau Sejawat Kiamat. Terserah namanya seperti apa, intinya berikan para pendukung identitas spesial sehingga mereka makin bangga menjadi bagian tak terbantahkan dari Trio Kiamat Raya. Jika perlu bikinkan juga tanda pengenal khusus semacam kartu anggota yang resmi. Club members didata secara apik dan sistematis. Tempat, tanggal lahir, lokasi domisili, semua diinspeksi secara rapi. Usahakan mengenali mereka lebih dekat. Apa untungnya membuat klub khusus bagi penggemar? Ngapain susah-susah mencetakkan KTP Sejawat Kiamat? Read More
Ingin memberi kabar kepada dunia bahwa kalian eksis dan punya band? Bikinlah website. Buat akun di jejaring sosial. Berharap agar pengunjung terus menyala semangatnya menyambangi website atau akun jejaring sosialmu? Peliharalah, rawatlah ia dengan beribu cinta supaya tetap segar bersinar. Pun, sejatinya, di saat yang hampir bersamaan ada satu lagi manuver online yang perlu dilakukan yaitu pemasaran---saya lebih menyukai istilah “propaganda”. Maksudnya, setelah keberadaan kita diketahui kaum kerabat serta sejawat terdekat, semakin ke depan tentu, jika main musik lebih dari sekadar kegiatan main-main, butuh ekspos lebih luas. Bagaimana caranya biar dikenal tak semata di kalangan keluarga & teman sepermainan? Harus dipahami: tidak gampang. Bukan soal mudah. Cuman kalau dibilang susah sekali sih juga kurang tepat. Yang jelas lumayan melelahkan. Disamping dibutuhkan kesungguhan sekaligus kehati-hatian plus paham nilai-nilai kesopanan.Read More
God bless the internet. Ungkapan syukur atas kemunculan internet di jagat raya belakangan ini sering terucap di tengah masyarakat. Saya termasuk salah satu pendukung militan piranti komunikasi via dunia maya ini. Sebab keberadaannya terbukti amat memudahkan manusia dalam bermanuver. Tak cuma di urusan komunikasi tapi kini telah meluas ke berbagai bidang kehidupan. Selain itu, jika bicara faktor biaya, internet tergolong barang murah. Saat hendak menyapa saudara kamu yang sedang bersekolah di Sydney, Australia, tinggal menyalakan akun Skype masing-masing, sudah, langsung ngobrol dah. Dan gratis. Beda dengan jaman dulu yang masih harus menggunakan telepon biasa serta sambungan internasional yang mahalnya minta ampun. Dalam konteks musik, internet jelas merupakan berkah besar bagi para musisi di Indonesia. Terutama di perkara promosi. Anak sekarang sudah tinggal leha-leha ketika ingin eksis. Begitu punya band langsung saja bikin akun di, katakanlah, Facebook. Pada akhir 90an, fasilitas senikmat demikian belum ada. Saat ingin mengumumkan pada dunia bahwa kita baru saja membentuk Trio Kiamat Raya---sebut saja begitu---dan telah memiliki album perdana, yang harus dilakukan adalah turun langsung ke lapangan, bergaul, memberikan satu persatu kepada kawan serta kerabat. Jika ingin melebarkan sayap hingga keluar pulau, kirimi lewat pos para sahabat pena yang kita punya. Tak lupa pula berharap semoga salah satu rekan kita di Jakarta berbaik hati meneruskan album debut kebanggaan Trio Kiamat Raya ke kenalannya yang bekerja di record label. Sungguh butuh proses yang panjang, berliku, lagi mahal. Jangan dulu lah bicara soal albumnya bakal meledak di pasaran. Sudah didengerin ama petinggi di label rekaman saja sudah untung.Read More
Jangankan untuk skala lokal Bali, dalam lingkup nasional sekalipun cuma ada sedikit band yang mampu melewati satu dasa warsa. Superman Is Dead (SID) adalah satu dari segelintir kelompok musik yang sanggup eksis bukan hanya melewati rentang sepuluh tahun tapi juga, hebatnya lagi, dengan personel yang sama, tak berubah, sejak awal berdiri.
BitzMegaplex
Kebetulan tidak jauh dari tempat saya biasa numpang tinggal di Jakarta, di Kebayoran Baru, belum lama ini dibuka mal baru kelas premium, Pacific Place. Nah, di lantai 6 (atau 7?) terdapat jaringan bioskop rivalnya kelompok Cineplex 21 bernama Blitz Megaplex yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Ananda Siregar, anak mantan gubernur Bank Indonesia Arifin Siregar. Yang saya suka dari Blitz Megaplex di antaranya adalah konsep interiornya yang post-mo (well, saya sebenernya gak terlalu paham apa mazhab arsitektur tersebut tepat untuk menyebut gaya yang dianut blitzmegaplex, pokoknya modern minimalis, banyak bentuk kubus, dim lighting, aksen metal di beberapa sudut, sedikit futuristik). Seolah kita sedang berada di tempat berbeda, di megapolitan makmur mana gitu. Pokoknya kayak bukan di Jakarta. Sentuhan artistik millenium namun tetap relatif hangat. Masih cukup bernyawa. Kalo di musik mungkin bisa diumpamakan sebagai post-punk (think Talking Heads, The Fall, New Order, Public Image Ltd.). Tetap tersimak nyeni, tidak kelewat sintetik. Tidak sedingin komposisi, katakanlah, Gary Numan. See what I mean?
Sehubungan dengan mikol (akronim dari "minuman beralkohol"---lebih beradab dikit dari "miras/minuman keras", mind you), sejujurnya saya bingung harus mendiskreditkan si Bapak Dirjen Bea Cukai, Anwar Suprijadi, atau gimana. Manuver bersih-bersih beliau terhadap jajarannya memang lumayan ampuh menekan tingkat pat-gulipat, efektif mengurangi korupsi yang telah amat kronis merasuki departemennya. Namun di sisi lain saya---dan pasti juga sejawat penggemar mikol sekalian---jadi kelimpungan banget karena gerak berantas KKN tersebut merembet kepada minimnya ketersediaan booze di pasaran. Jangankan bermimpi mengkonsumsi Jim Beam Black---apalagi edisi khusus Jim Beam yang lain yang juga yum yum: Jacob Beam---bisa dapet wiski yang standar aja macem Red Label, wih, di Bali tuh susah banget. Kalopun ada, duh gusti, harganya udah anjing melambung. Sempat melangit hingga Rp 500 ribu, kemudian nyungsep lagi ke Rp 350 ribuan. Itu aja masih mahal sebab biasanya sekitar Rp 135 ribuan. Gokil.
Bagi sebuah band lokal, menjadi terkenal---diundang manggung ke berbagai kota, single andalan merajai berbagai chart radio terhormat, kerap tampil di televisi nasional, dsb---sering berhenti hanya sekadar jadi obsesi muluk, sebatas mimpi indah. Angan-angan sejuk tersebut belum apa-apa macet begitu saja bukannya tanpa sebab. Kompetisi yang ultra ketat, jarak yang jauh ke pusat industri hiburan (baca: Jakarta), infrastruktur yang terbatas lagi mahal, minimnya koneksi ke sosok-sosok kunci dunia hiburan (pihak label, penyelenggara konser, orang radio, pencari bakat di televisi); menjadi barisan kendala paling wahid dalam perjalanan meraih cita-cita. Dan akibat ketidaksigapan mengatasi kerikil-kerikil penghambat itu, jamak terjadi, artis-artis lokal nan berbakat kemudian meraih gelar juara hanya di daerahnya sendiri, mentok menjadi jago kandang saja, tingkat popularitas dalam skala duhai sempit. Hey, jangan keburu putus asa, jangan instan menyerah. Di segmen berikutnya akan kita kupas beberapa kiat menyiasati ragam masalah di atas.

rudolfdethu

[instagram-feed feed=1]
Scroll to Top