search

Album Terbaik Sepanjang Masa: Kiss ~ Alive!

Tulisan ini sejatinya merupakan sumbangan tulisan saya kepada jakartabeat.net beberapa hari silam. Di sini saya tuangkan kembali sebagai arsip pribadi saya. Silakan menyimak.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

» Tulisan ini sejatinya merupakan sumbangan tulisan saya kepada jakartabeat.net beberapa hari silam. Di sini saya tuangkan kembali sebagai arsip pribadi saya. Silakan menyimak.

___________________

Pengantar Redaksi: Jakartabeat.net menyediakan rubrik “Album Paling Penting Menurut Saya” yang diperuntukkan bagi musisi dan pekerja musik. Kali ini, Rudolf Dethu, kurator program radio Bali The Block Rockin’s Beats dan juga salah seorang di balik kisah sukses band Superman Is Dead, menuliskan album paling penting yang mengubah hidupnya.

Album Terbaik Sepanjang Masa: Kiss ~ Alive

Oleh Rudolf Dethu, radio personality, Bali

Ada dua hal di dunia yang senantiasa membuat saya tersudut merengut, terjepit di posisi sulit ketika diminta menentukan pilihan:

1. Mana lebih sensual Carla Bruni atau Angelina Jolie.
2. Menetapkan satu album rekaman terbaik sepanjang masa.

Utamanya isu nomer dua, duh, sungguh membikin pening. Sebab di selera saya ada begitu melimpah kandidat yang pantas dijunjung penuh hormat. Sebut saja misalnya Sex Pistols Never Minds the Bollocks, Here’s the Sex Pistols, Manic Street Preachers Generation Terrorists, The Clash London Calling, Public Enemy It Takes a Nation of Millions to Hold Us Back, Van Halen Women and Children First, Devo Q: Are We Not Men? A: We Are Devo, beberapa karya klasik dari AC/DC, Sabbath, Purple, Led Zep, Bowie, Stones, Queen, …gila, gawat, banyak amat!

Dan daftar tersebut belum selesai. Joy Division Unknown Pleasures belum disebut, Iron Maiden The Number of the Beast masih ketinggalan. Goddamn.

Setelah saya pikir dengan jernih bin seksama, saya akhirnya berani—memberanikan diri—menyimpulkan album terbaik sepanjang masa, album yang paling mempengaruhi hidup saya, adalah… Kiss Alive!

Ok, sekarang beri saya celah untuk kilas balik sejenak.

Saat usia akil balik saya kerap dibawakan majalah Billboard oleh ayah saya. Di masa itu, di era kejayaan jenderal genosida: Soeharto, saya baru saja mengakrabkan diri dengan musik rock. Saya ingat sekali bagaimana takjubnya saya memandangi iklan satu halaman di Billboard bergambar sampul depan album Van Halen Women and Children First. Untuk ukuran jaman itu foto sedemikian rupa sungguhlah sensasional.

Di saat yang sama Billboard juga sesekali memberitakan soal Kiss: seberapa rapat para personelnya menutup identitas dirinya, seberapa masyarakat ingin tahu siapa sih oknum-oknum di balik make up tebal tersebut, seberapa jarang para anggota Kiss melihat kupingnya sendiri akibat memelihara rambut panjang, pula segala manuver propaganda, percikan gimmick, gono-gini misteri, gempita melingkari orbit Kiss.

Saya, yang baru masuk SMP, sejatinya sudah kencing di celana gara-gara Never Mind the Bollocks yang duh-gusti agresif, ugal-ugalan, bergajulan, begundal, brutal. Tapi begitu kenal Kiss rasa penasaran saya bertumbuh tambah liar berkobar. Dan momentumnya “pecah” ketika akhirnya saya mampu membeli album Kiss Alive!

Ayo kita mulai dari depan. Buat anak seusia saya kala itu, di peradaban terbelakang bernama Indonesia, sampul album yang mempertontonkan musisi-musisi berorientasi “setan” sedang beraksi, suasana tampak meriah, lampu warna-warni, gun smoke yang amat nge-rock, serta kelap-kelip logo Kiss nan khas, itu sudah amat cukup untuk bikin saya kencing di celana untuk kedua kalinya. Masuk ke bagian dalam, membaca judul-judulnya, “Hotter Than Hell”, “Firehouse”, “Parasite”, “100,000 Years”, “Rock Bottom”, “Rock and Roll All Nite”, “Let Me Go, Rock ‘n’ Roll”, makin membikin merinding. Berondongan tajuk serta istilah yang digunakan sangatlah mengguncang. Gegar budaya cadas!

Tekan tombol play langsung terdengar riuh teriakan penonton yang ditimpali seru mukadimah: “You wanted the best and you got it! The hottest band in the world… KISS!” Beneran saya merinding membayangkan gilanya konser ini…

Apalagi ketika masuk “Deuce”, wih, maha keras dan ultra berat (untuk ukuran jaman itu)! Sebuah lagu pembuka yang efektif menggugah semangat. Begitu pula lagu ke berikutnya dan ke berikutnya dan ke berikutnya.

Bisa dibilang nihil karya yang cacat buat selera saya di album Alive! Semua sama baiknya—well, mungkin lebih tepat: semua sejajar kadar gegarnya. Tak ada tembang yang saya tak suka. “Strutter” yang anthemic, “C’mon and Love Me” yang gagah campur genit, “100,000 Years” yang epic, “Black Diamond”, “Rock Bottom” & “Cold Gin” yang khas hard rock 70an, apalagi lagu khusus koor Kiss “Rock ‘n’ Roll All Nite” yang riang dan paling nyangkut di kepala. Sekali lagi, tiada karya cedera di sini, all killer no filler.

Jika disambungkan ke konteks masa kini, Alive! merupakan sepucuk album live klasik. Mungkin salah satu album live rock terbaik dari yang pernah ada di blantika cadas. Memang, ada sejentik kontroversi bahwa Alive! tak murni album live tapi sudah di-“ketok magic” di sana-sini namun ketika bicara kharisma Alive! amat pantas diapreasiasi adiluhung.

Lewat packaging yang seru cenderung satanik (tiap personel wajahnya dihias unik & berbeda, kostum futuristik, desain gitar/bas yang nyeleneh), kemisteriusan yang tampaknya sengaja dibangun lewat rumor-rumor bak tanpa juntrungan yang mangkus memancing rasa penasaran khalayak, lagu-lagu yang relatif mudah dicerna serta air-guitar friendly, plus menampilkan formasi Kiss idaman publik: Gene Simmons, Paul Stanley, Ace Frehley dan Peter Criss.

Album Kiss Alive! memenuhi setiap syarat ideologi Sex, Drugs & Rock ‘n’ roll: berisik-bising, jitu dipakai bersenang-senang, menjunjung tinggi sensasi, dekat dengan dekadensi dan demonik, fokus lebih ditekankan pada attitude.

You wanted the best you got the best!

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Modjorido-groupBWx
Grup cadas MODJORIDO baru saja merilis single perdana di bawah Pohon Tua Creatorium bertajuk "Revolt". Single ini, menurut sang biduan Rico Mahesi, bisa dimaknai sebagai evolusi, pertanda kebangkitan, kembali menggairahkan musik rock, juga, selayaknya spirit musik rock yang dekat dengan pemberontakan.
LedZeppelin-RudolfDethu-blog
This big lumbering brontosaurus riff, "How Many More Times," is included in my Spotify playlist, 𝘚𝘵𝘰𝘳𝘮𝘣𝘳𝘪𝘯𝘨𝘦𝘳𝘴 & 𝘔𝘢𝘮𝘮𝘰𝘵𝘩 𝘙𝘪𝘧𝘧 𝘙𝘪𝘥𝘦𝘳𝘴
Scroll to Top