search

DOMESTIC GROOVE: REBECCA THEODORA

Ngobrol lebih dekat dan intim dengan pelaku seni progresif dan sadar busana, Rebecca Theodora.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
DOMESTIC GROOVE ~ Celeb's Chosen Nine is my biweekly column in The Beat (Jakarta) mag. Basically it's an interview via e-mail which focuses on small, intimate, domestic stuff; what Indonesia's public figures are really into.

REBECCA THEODORA
Penyanyi, Penulis Lagu, Marketing Strategist

Musik apa yang sedang anda sukai saat ini?
Saya lagi suka dengerin lagu-lagu yang santai, kalau dari musisi yang lama-lama misalnya kaya BIllie Holiday, Ella Fitzgerald, Françoise Hardy, Tom Waits. Kalau dari musisi yang agak masa kini itu lagi dengerin 1975, Haim, Chvrches, Fever Ray, dll. Sama lagi masih suka pasang album Timeless-nya Rumahsakit, dan kemarin ada referensi dari teman lagunya Float yang “Sementara”, karena katanya liriknya bagus.

Apa album rekaman pertama yang anda beli—ada kisah menarik di baliknya?
Agak rancu yang mana yang pertama, antara NKOTB atau Fariz RM. Sepertinya Fariz RM, Living In The Western World, waktu itu pengen punya album itu karena ada “Barcelona”. Lagunya catchy untuk saya yang masih SD. Dan saat itu sih lagu yang lain di album itu ngga terlalu didengerin, karena kayaya terlalu dewasa nuansanya untuk anak SD.

Apa album favorit anda sepanjang masa? Kenapa?
The Who, The Kids Are Alright. Itu album soundtrack dari film mereka yang berjudul sama.

So at this one time back in high school, I found myself curious about The Who, from reading about them in a magazine. I went looking for their album at Duta Suara, and The Kids Are Alright was their only album I could find there. Dalam bentuk kaset pula. Langsung beli, dan pas dengerin langsung jatuh cinta. Haha.

Apa album rekaman terburuk yang pernah anda beli?
Hmmm… ini sulit. Because not even Tommy Page I consider bad.

Oh, ada yang beli trus ngga suka, kayanya bisa dibilang terburuk versi saya sih, Sven Gali, Sven Gali. Itu band hard rock/glam metal dari Kanada. Beli waktu SMA, ngga suka albumnya, haha.

Sama kayanya pernah beli albumnya Weird Al Yankovic, hahaha that album was a joke beneran sih.

Di reinkarnasi berikutnya, selain diri anda sendiri, anda ingin menjadi siapa?
Mermaid. Atau sperm whale. Atau hiu purba Megalodon.

Buku apa yang sedang anda baca sekarang, skornya berapa (1-10)?
The Beats. Buku graphic novel tentang The Beat Generation, eranya Jack Kerouac, Allen Ginsberg, dan William Burroughs. Skornya buat saya, 7.8 lah.

Film baru apa yang orang-orang harus tonton? Kenapa?
The Imitation Game. Filmnya tentang Alan Turing, scientist yang menciptakan satu teknologi yang adalah cikal bakal komputer yang kita pakai sekarang. It’s a good movie that somehow tells us why and how we finally have a computer technology that we use now.

Lagu apa yang anda pilih untuk memulai akhir pekan?
The Jam, “Town Called Malice”.

Dan lagu untuk mengakhiri akhir pekan?
Bloc Party, “Sunday”.

BITE di pesta peluncuran album Mayday di Camden, Jakarta, 22 Februari 2015 | Nareend Kameshwara
Setelah menerbitkan album penuh Mayday bersama BITE di awal tahun, Rebecca belakangan lebih sibuk dengan pekerjaan barunya di perniagaan minuman beralkohol. Di luar jam kantor ia rajin menekuni seni bela diri Krav Maga. Di kala libur ia kerap ke luar kota menjalani hobinya yang lain: freediving. Mengenai album BITE berikutnya, ia mengaku belum punya rencana tertentu. Hanya tetap rutin menulis lagu-lagu baru.

💧Baca juga DOMESTIC GROOVE: MARSHELLO ARYAFARA.

⎯⎯⎯⎯⎯

Video di bawah, Rebecca bersama BITE bersenandung “Devide et Impera” di acara Thursday Noise, Mei 2015.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top