search

Ganyang Malaysia. Bikin Soekarno Senang. Ahem

Lagi, Indonesia kelojotan gara-gara urusan klaim budaya (baca: tari Pendet). Berlanjut, kegerahan Rakyat Nusantara terhadap Malaysia akibat isu serupa sebelumnya, serobot menyerobot kultur (Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange & batik). Spontan saja orang-orang di negeri ini berbondong-bondong menunjukkan rasa "nasionalisme"nya lewat, salah satunya, jejaring virtual. Facebook & Twitter langsung riuh berisikan sumpah serapah "Ganyang Malaysia", "Serbu Malingsia", "Boikot Produk Malay-shit", hingga "Pendet is ours! Noordin M Top is yours!"---tentu saja, yang paling seru dan "terorganisir" dalam urusan memaki negeri jiran adalah kontingen IndonesiaUnite...
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Kerabat Puspawarna,

Lagi, Indonesia kelojotan gara-gara urusan klaim budaya (baca: tari Pendet). Berlanjut, kegerahan Rakyat Nusantara terhadap Malaysia akibat isu serupa sebelumnya, serobot menyerobot kultur (Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange & batik). Spontan saja orang-orang di negeri ini berbondong-bondong menunjukkan rasa “nasionalisme”nya lewat, salah satunya, jejaring virtual. Facebook & Twitter langsung riuh berisikan sumpah serapah “Ganyang Malaysia”, “Serbu Malingsia”, “Boikot Produk Malay-shit”, hingga “Pendet is ours! Noordin M Top is yours!”—tentu saja, yang paling seru dan “terorganisir” dalam urusan memaki negeri jiran adalah kontingen IndonesiaUnite 🙂

Duh, tipikal NKRI banget. Begitu ada bom, wih, langsung kelojotan nangkepin rakyat jelata, beli lusinan metal detector, masang CCTV di banyak penjuru, memata-matai aktivitas dakwah. Cuman ya gitu, mendidih sebentar udah gitu dingin lagi. Bom lagi, mendidih sebentar, lalu dingin lagi. Bom lagi, mendidih sebentar, lalu dingin lagi. Begitu terus. Giliran tari Pendet diakui sebagai punya Malaysia, mendadak masyarakat—diikuti kemudian pemerintah (biasa, kayak mesin diesel, panasnya lambat)—bersatukitateguhberceraikitaruntuh berteriak memaki-maki Malaysia. Yang lucu sih pemerintah, utamanya Departemen di bawah komando Jero Wacik, sibuk bikin pernyataan macam: “Pemerintah sudah berkali-kali melayangkan surat protes terkait klaim budaya itu. Mulai lagu Rasa Sayange & Reog Ponorogo. Menteri Kebudayaan Malaysia menanggapi secara serius. Bahkan sengketa budaya ini dibahas dalam sidang kabinet Malaysia. Menteri Pariwisata Malaysia kemudian diperingatkan untuk tidak menggunakan budaya Indonesia untuk komersial, tanpa izin…”

Yeah. Right. Padahal perkara yang kayak gini kan bukannya hal baru. Dulu udah pernah kejadian. Batik diklaim, bergejolak sejenak, adem lagi. Reog diklaim, bergejolak sejenak, adem lagi. Rasa Sayange diklaim, bergejolak sejenak, adem lagi. Again. And again. And again. Heran, ngapain aja sih—ngapain aja seeeeeeh—itu Depbudpar? Seharusnya kan begitu ada kejadian Malaysia mengklaim punya kita, pemerintah segera bertindak cepat. Inventarisasi budaya “asli” apa yang kita miliki, langsung urus ke institusi yang ngurusin HAKI (Bapak & Ibu di Depbudpar, HAKI itu adalah Hak Atas Kekayaan Intelektual, mind you), patenkan saat itu juga, jebret. Beres. Ini kok malah reaktif mulu. Giliran ada kejadian baru gerak. Gerak yang serampangan, tepatnya. Sama sekali tidak tuntas menyelesaikan persoalan. Lagian, khususnya dalam konteks tari Pendet, emang pernah bener-bener gitu pemerintah memberi seitil perhatian kepada seniman/seniwati tari Pendet (atau seniman tari pada umumnya)? Coba tanya para penari yang saban malam tampil di hotel-hotel berbintang di Nusa Dua, Bali. Korek keterangan, berapa sih duit yang mereka peroleh per sekali nari, apa sudah sesuai dengan Upah Minimum Regional? Cari tau juga bentuk kepedulian seperti apa yang telah para penari itu dapatkan. Maksud saya, saya tidak bermaksud melulu memojokkan aparat, saya hanya melihat tidak sesuainya tingkat kelojotan yang ditunjukkan dengan bentuk kepedulian yang telah diberikan.

On the other hand, saya amat bisa maklum ketika para budayawan Bali bertindak cepat, berkumpul mencari solusi apa yang bisa dilakukan dalam merespons isu tari Pendet ini. Tapi yang bikin miris adalah para orang awam, justru memberi reaksi yang bak mau ngajak perang. Anjing. Bangsat. Bedebah. Begitu jenis responsnya. Seolah-olah dengan mengungkapkan kemarahan kolosal macem begitu adalah refleksi dari nasionalisme. Ini mah sama saja seperti FPI: sambil memprovokasi “Bakar warung ini!’, dibarengi dengan “Allahu Akbar!” Ente pada, seperti juga FPI, mungkin merasa sedang mengamalkan kebajikan. Padahal bukan. Ki sanak, ini era millenium. Bakar, bunuh, cincang, ganyang, itu jaman Soekarno. Itu masa perang. Sekarang—ini tahun 2009, sudah 64 tahun Indonesia merdeka, sudah ribuan tahun beranjak dari kurun Kanibalisme dan Conan the Barbarian—yang dikedepankan adalah akal sehat, logika terang, pendekatannya adalah jalur hukum, juga humanisme. Sebab jika anda pikir menunjukkan rasa kebangsaan itu lewat “kebersamaan melakukan kekerasan”, well, anda sebaiknya hubungi Habieb Rizieq, daftarkan diri sebagai mujahid lalu berperanglah ke Afghanistan (jangan lupa minta dibekali senjata kebanggaan Indonesia: bambu runcing, serta bekal silat dari Si Buta Dari Gua Hantu).

Sudahlah, tak usah terlalu salto-koprol-kayang seberingas itu. Jika memang kecewa dengan manuver si Melayu kawan kita itu, tempuhlah cara yang elegan (lemme ask ya, first and foremost, do you really care about Pendet? Or Batik? Or Reog?). Jangan muntahin kalimat tinja sembarangan. Justru nanti akan kontraproduktif. Apalagi pakai acara nyebut negara tetangga kita adalah biang teroris. Di negara yang anda cintai ini—I’m talkin’ to ya, IndonesiaUnite—sorry to say, terorisnya JAUH lebih banyak. Memang, mungkin iya—well, nobody really knows, actually—, Noor Din M Top, adalah biang keroknya teroris. Tapi, sekali lagi, di negara ini, jumlah teroris jauh (baca: JA-UH) lebih banyak. Kader-kader Noor Din di negara ini berlimpah jumlahnya, ultra bejibun, holopis kuntul baris (please, don’t take it as a compliment). Coba, buka lebar kacamata kuda anda, yang bodoh itu siapa, Noor Din atau kitanya? Yang tolol itu kita. Yang bego itu kita. Kok mau aja dikadalin ama Noor Din? Penduduk NKRI yang IndonesiaUnite banggakan ini jumlahnya ratusan juta kok bisa dikibulin ama Noor Din yang cuman sebiji doang???

Bersikeras tetep mau maju perang? Silakan. Kontak langsung AURI, minta dukungan pesawat Hercules mereka. Atau SMS Pak Habibie, tanyain apa kapal capung Made In IPTN yang mangkrak di kandang ayam itu bisa dipinjem atau kagak. Kudu diinget pula, sebelum berangkat berjuang membela tumpah darah, selenggarakan istighosah skala gigantik dulu, minta selamat pada Yang Khalik, semoga selamet tiba di Malaysia, gak nyungsep duluan di perairan sekitar Krakatau (baca: ribuan Kilometer dari Malaysia).

Kawan Indonesiaku yang baik & berhati bersih, mari selalu berkepala dingin. Jika ingin berbuat sesuatu untuk negara ini, sekali lagi, dan lagi, dan lagi, mari tingkatkan kualitas pendidikan. Mari belajar yang rajin. Perbanyak membaca buku. Tunjukkan nasionalisme dengan turut membangun negara ini lewat pembangunan sekolah, mendorong kesejahteraan para guru, melipatgandakan perpustakaan dan taman bacaan, dan berbagai aktivitas yang memprioritaskan mutu pendidikan. Ganyang kebodohan!

____________________

*Tulisan ini awalnya dimuat di halaman Facebook saya dan memperoleh tanggapan berlimpah lagi beragam. Silakan pergi ke sini untuk membaca seluruh tanggapannya—gulirkan tetikus ke bawah untuk membaca seluruh komentarnya.
*Selain itu, sejawat minum bir saya back in the day, Fonnyta a.k.a. Ipong, pula turut meresponsnya dengan membeberkan sudut pandangnya dengan terang, tenang, tajam, terukur.

• Featured image: 1080.plus

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top