search

Navicula: Ayo Bawa Harimau-Harimau Ini ke Roma!

Ada satu hal yang pantas diteladani dari Navicula: sifat pantang menyerahnya.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
HarimauMenujuRoma-mnpg

RILIS PERS

Ada satu hal yang pantas diteladani dari Navicula: sifat pantang menyerahnya. Walau tak selalu tegap tegak menantang, terkadang limbung juga diterjang badai di skena musik, namun bersikeras maju terus. Lanjutkan langkah. Harus sampai. Mesti tercapai.

Bayangkan, empat sekawan ini telah berkesenian sejak 1996, pantas menyandang gelar veteran. Mulai dari manggung di acara-acara kecil di banjar, bazaar, hingga bar. Berlanjut dengan “nyaris” go-national ketika bergabung dengan label raksasa, Sony BMG/Sony Music Indonesia, dan merilis Alkemis. Namun cita-cita Navicula ketika itu belum bisa kesampaian. Sepertinya penikmat musik Indonesia masih kagok memahami apa maunya paguyuban cadas asal Bali ini. Bisa jadi mereka sedikit terlampau mendahului jaman. Menjadi musisi sekaligus environmentalis, bahkan pada tahun 2005, masih anomali, aneh sendiri, belum se-hipster hari ini.

Robi (gitar, vokal), Dankie (gitar, vokal), Indra (bas), Gembull (drum), kemudian memilih untuk memisahkan diri dengan Sony dan memutuskan indie lagi. Bayangan akan jalur bebas hambatan yang telah menanti—pendistribusian album rekaman yang lancar mencapai pelosok Nusantara, promosi besar dan gencar di berbagai media, tawaran manggung nan melimpah ruah—harus dikubur dalam-dalam. Mesti mengulang dari awal. Restrukturisasi strategi. Balik jadi gembel.

Kondisi sedemikian celeng ternyata tak sanggup membunuh semangat Navicula. Dukungan moral kuat dari para sahabat, penghormatan dari sesama musisi dan kritikus seni yang gamblang bilang bahwa karya-karya Navicula adalah adiluhung, jitu menggelorakan gairah untuk terus maju. Sirna menghilang bukan pilihan. Apalagi, seperti kata Robi, “Musik adalah agama kami.”

Sejak itu mereka, meski ngos-ngosan, nekat lagi ngoyo menerbitkan sendiri album-albumnya, di antaranya, Beautiful Rebel (2007) dan Salto (2009), tetap keukeuh bicara rasa cinta pada lingkungan, kebebasan, dan kasih kepada sesama mahluk hidup. Sikap sedikit memaksa macam begitu nyatanya pelan tapi pasti meneguhkan kembali kedigdayaan mereka di skena musik lokal. Hingga akhirnya sifat pantang menyerah mereka mulai terbukti sakti. Selain tawaran manggung yang perlahan-lahan deras datang, pula kesempatan untuk main di manca negara terkuak terbuka. Tampil di Envol et Macadam Festival di Quebec, Kanada, September 2012, sebagai gebrakan perdana. Diikuti kesempatan rekaman di studio legendaris, Record Plant, di Hollywood di bawah asuhan sosok kawakan Alain Johannes—dan sekalian tur di seputaran Kalifornia, November 2012. Lalu muncul di Sydney Festival segera setelahnya, Januari 2013.

Di antara kesibukan sedemikian rupa, Navicula, didukung oleh Greenpeace, sebagai pejuang lingkungan, bersikukuh bersepeda motor menempuh 2000 kilometer selama 12 hari menembus hutan di Kalimantan. Aksi yang difilmkan ini, yang ditajuki “Mata Harimau”, adalah demi mengecek sendiri apa harimau masih ada, atau telah habis terbasmi oleh ketamakan penguasa yang bermufakat jahat dengan pengusaha. (Catatan: saat film ini diputar di hadapan penonton di Manning Bar, Sydney Festival, penonton tercekat, campur baur antara marah dan terharu. Marah terhadap pemodal dan pemerintah serakah. Terharu penuh hormat akan kepedulian Navicula kepada keberlangsungan kehidupan alam.)

Yang paling mutakhir, duo sinematografer beken, Riri Riza dan Mira Lesmana, bahu membahu bersama Navicula membikin videoklip untuk lagu “Harimau! Harimau!” dari album tergres Love Bomb dalam rangka menyebarkan pesan tentang bahaya kepunahan harimau di Nusantara ini.

NaviculaHRRB-votingparty

Nah, apa yang kita semua bisa lakukan agar suara musisi berbakat nan pemberani ini lebih nyaring tersiar hingga ke penjuru jagat? Kebetulan Navicula ikut serta dalam lomba Hard Rock Rising 2014 yang di tahap pertamanya menyandarkan pada metode partisipatoris yaitu sistem voting. Sahabat sekalian tinggal klik “vote”—dengan bonus bisa mengunduh bebas bea lagu “Harimau! Harimau!”—di sini. Atau jika anda tinggal di Bali bisa padu padan antara berperan serta di Voting Party di Hard Rock Cafe, Kuta, besok mulai jam 9 malam, seraya meneriakkan soal kemerosotan kualitas lingkungan hidup, sekalian bersenandung, berjingkrak, bersenang-senang.

Ya, jika bersikukuh pantang menyerah, boleh kita berharap harusnya sampai, semestinya sampai.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top