search

Reklamasi Vs Revitalisasi: Eufeisme Tipu-Tipu

Warga Pulau Bali, belakangan lekat sekali mendengar istilah reklamasi dan revitalisasi. Kata reklamasi diakrabi lebih awal sejak isu reklamasi terhadap Teluk Benoa berhembus medio 2012.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Warga Pulau Bali, belakangan lekat sekali mendengar istilah reklamasi dan revitalisasi. Kata reklamasi diakrabi lebih awal sejak isu reklamasi terhadap Teluk Benoa berhembus medio 2012. Sejak mulai terdengar ke publik, megaproyek reklamasi Teluk Benoa telah memicu pro dan kontra, menjadi perbincangan hangat di bale banjar hingga ke segala sudut pulau.

Bentuk-bentuk penolakan pun mewujud dalam baliho-baliho penolakan yang dipasang di segala sudut kota. Namun, muncul aksi tandingan yang ‘menjual’ wacana revitalisasi Teluk Benoa. Seakan tak mau kalah, baliho dukungan terhadap revitalisasi pun ramai dipasang di segala sudut kota.

Warga Bali pun jadi bimbang. Yang tadinya menolak reklamasi mulai beralih menyetujui revitalisasi. Ada juga yang teguh menolak reklamasi dan revitalisasi. Akibatnya, perang argumen pun masih berlanjut di masyarakat. Yang teguh menolak beralasan revitalisasi hanya kedok untuk tetap menguruk Teluk Benoa. Sementara itu, yang setuju mengajukan alasan revitalisasi bagus untuk perekonomian warga.

Reklamasi dan revitalisasi sebenarnya menjadi kata baru dan asing buat warga Bali. Reklamasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna ‘usaha memperluas tanah (pertanian) dengan memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna (misal dengan cara menguruk daerah rawa-rawa)’. Dalam terminologi tata lingkungan, reklamasi dimaknai sebagai pekerjaan atau usaha dalam pemanfaatan suatu kawasan atau lahan yang tidak berguna dan berair untuk dijadikan lahan yang berguna dengan cara dikeringkan. Di lain hal, KBBI memberi makna revitalisasi sebagai proses, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali.

Karena digemborkan setelah isu reklamasi banyak mendapat tentangan, revitalisasi hanya dipandang sebagai pengalihan atau penghalusan untuk rencana reklamasi Teluk Benoa. Memang sering kali pemerintah atau pihak-pihak yang berkepentingan menggunakan permainan kata untuk mencapai tujuan. Satu contoh yang masih lekat di ingatan kita ialah cara pemerintah Orde Baru dalam menyebut ‘penaikan harga BBM’ dengan istilah ‘penyesuaian harga’. Contoh lain, istilah ‘dirumahkan’ yang kerap didengungkan pengusaha kala memecat buruhnya.

Ribuan anak muda turun ke jalan menolak reklamasi berkedok revitalisasi Teluk Benoa.
Ribuan anak muda turun ke jalan menolak reklamasi berkedok revitalisasi Teluk Benoa.
Aksi "Pesisir Bergerak" menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.
Aksi “Pesisir Bergerak” menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.
Konser tolak reklamasi Teluk Benoa bertajuk Svara Bumi di Rolling Stone Cafe, Jakarta, Oktober 2014.
Konser tolak reklamasi Teluk Benoa bertajuk Svara Bumi di Rolling Stone Cafe, Jakarta, Oktober 2014.

Eufemisme yang diterapkan pemerintah Orde Baru memang terbukti sukses meredam gejolak penolakan penaikan harga BBM. Sama halnya dengan taktik pengusaha dalam memecat buruh. Namun, ketika kondisi di masyarakat berubah seiring dengan makin terdidiknya masyarakat, gaya bahasa menghaluskan itu pun tak mempan lagi meredam gejolak. Masyarakat pun paham bahwa meskipun terdengar halus, makna di balik kata itu tetaplah sama dalam penerapannya. Dalam kedua contoh itu, gaya bahasa eufemisme menjadi sebuah cara tipu-tipu untuk menggapai sebuah tujuan.

Dalam hal reklamasi dan revitalisasi Teluk Benoa, taktik eufemisme pun bukan tak mungkin sedang diterapkan. Bagaimana tidak? Ketika wacana reklamasi ditentang keras, dilontarkanlah rencana revitalisasi yang memberi kesan memberdayakan dan lebih sedikit kesan merusak, terlebih terdengar menguntungkan secara ekonomi. Harapannya tentu saja untuk menuai persetujuan warga Bali. Namun, jika kemudian revitalisasi dilakukan dengan menguruk hutan mangrove, mengubur sedemikian banyak habitat biota laut, apalah bedanya dengan reklamasi? Ah, sekali lagi, taktik eufemisme digunakan sebagai upaya tipu-tipu.

__________

• Artikel ini ditulis oleh Ni Nyoman Dwi Astarini, saya pinjam-pakai dari koran Media Indonesia dengan judul asli Tipu-Tipu.
• Foto-foto yang ditampilkan baik di halaman ini maupun halaman depan adalah milik ForBALI, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top