search

Rock-n-Roll Exhibition: DEWA PALGUNA

Edition: September 29, 2010Rock-n-Roll Exhibition: DEWA PALGUNAA Glimpse Journey to the Past:: Introduction and playlist, written and handpicked by Palguna Himself :: Perkenalan saya dengan (pe)musik rock terjadi bersamaan dengan "kerja paruh waktu" yang saya lakoni secara mingguan sebagai anak jalanan di Terminal Kereneng lebih dari tiga puluh tahun lalu: menjadi pengasong koran mingguan dan majalah. Dari perkenalan itu berlanjut ke "percintaan" lewat poster-poster yang memenuhi kamar kos saya―seorang anak SMP kelas dua―yang berdinding gedek di sebuah gang sempit di Jalan Plawa, Denpasar Timur, Banjar Pagan Tengah namanya. Percintaan itu berlanjut menjadi semacam kegilaan: dengan satu blocknote kecil berbentuk dompet yang ada resluiting-nya mulailah pertuangan saya memulung cerita tentang dan sekitar dunia musik dan bintang rock. Satu blocknote setebal dua jari selebar dompet, betapa pun "font" aksara dibuat sangat irit tatkala menulisinya, dalam waktu tiga tahun hanya menyisakan dua lembar kosong untuk saya tulisi. Tetapi dua lembar kosong itu tak kan pernah tersentuh aksara dari tangan saya lagi karena blocknote berwajah dompet itu rupanya menarik perhatian tukang copet. Ya, Anda benar: blocknote itu raib dicopet orang―sudah pasti karena dikira dompet penuh uang―dalam perjalanan antara Muntilan - Borobudur tahun 1981. Berakhirkah "percintaan" saya dengan musik rock? Sama sekali tidak. 90 % isi "dompet" itu masih saya ingat ketika saya melamar jadi penyiar di radio FM pertama di Bali tahun 1987. Saya ingat betul bagaimana Pak Dedy Sonata, yang mewancarai saya, hampir tak percaya bagaimana dari mulut seorang dosen muda bidang hukum (ya, saat itu saya sudah mulai mengajar di almamater saya, Fakultas Hukum Universitas Udayana) meluncur bak air bah kisah-kisah tentang lagu dan penyanyi rock. Tak perlu berpanjang kata, lamaran saya jadi penyiar tak bertepuk sebelah tangan. Para rock mania se-"iman," hidup ini memang mengagumkan, penuh kejutan. Seperti halnya hari ini: enam jam setelah Anda mendengar lagu terakhir dalam playlist ini, ketahuilah bahwa saat itu saya sedang berhadapan dengan 8 orang guru besar dalam bidang ilmu hukum di Universitas Indonesia, Jakarta. Beliau adalah para profesor yang akan menguji saya dalam presentasi seminar hasil penelitian disertasi saya. Siapakah hari ini yang lebih berbahagia dari saya yang bahkan di saat ujian ketika usia telah melampaui kepala empat pun tetap ditemani oleh musik rock?
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Edition: September 29, 2010

Rock-n-Roll Exhibition: DEWA PALGUNA
A Glimpse Journey to the Past

:: Introduction and playlist, written and handpicked by Palguna Himself ::

Perkenalan saya dengan (pe)musik rock terjadi bersamaan dengan “kerja paruh waktu” yang saya lakoni secara mingguan sebagai anak jalanan di Terminal Kereneng lebih dari tiga puluh tahun lalu: menjadi pengasong koran mingguan dan majalah. Dari perkenalan itu berlanjut ke “percintaan” lewat poster-poster yang memenuhi kamar kos saya—seorang anak SMP kelas dua—yang berdinding gedek di sebuah gang sempit di Jalan Plawa, Denpasar Timur, Banjar Pagan Tengah namanya.

Percintaan itu berlanjut menjadi semacam kegilaan: dengan satu blocknote kecil berbentuk dompet yang ada resluiting-nya mulailah pertuangan saya memulung cerita tentang dan sekitar dunia musik dan bintang rock. Satu blocknote setebal dua jari selebar dompet, betapa pun “font” aksara dibuat sangat irit tatkala menulisinya, dalam waktu tiga tahun hanya menyisakan dua lembar kosong untuk saya tulisi. Tetapi dua lembar kosong itu tak kan pernah tersentuh aksara dari tangan saya lagi karena blocknote berwajah dompet itu rupanya menarik perhatian tukang copet. Ya, Anda benar: blocknote itu raib dicopet orang—sudah pasti karena dikira dompet penuh uang—dalam perjalanan antara Muntilan – Borobudur tahun 1981.

Berakhirkah “percintaan” saya dengan musik rock? Sama sekali tidak. 90 % isi “dompet” itu masih saya ingat ketika saya melamar jadi penyiar di radio FM pertama di Bali tahun 1987. Saya ingat betul bagaimana Pak Dedy Sonata, yang mewancarai saya, hampir tak percaya bagaimana dari mulut seorang dosen muda bidang hukum (ya, saat itu saya sudah mulai mengajar di almamater saya, Fakultas Hukum Universitas Udayana) meluncur bak air bah kisah-kisah tentang lagu dan penyanyi rock. Tak perlu berpanjang kata, lamaran saya jadi penyiar tak bertepuk sebelah tangan.

Para rock mania se-“iman,” hidup ini memang mengagumkan, penuh kejutan. Seperti halnya hari ini: enam jam setelah Anda mendengar lagu terakhir dalam playlist ini, ketahuilah bahwa saat itu saya sedang berhadapan dengan 8 orang guru besar dalam bidang ilmu hukum di Universitas Indonesia, Jakarta. Beliau adalah para profesor yang akan menguji saya dalam presentasi seminar hasil penelitian disertasi saya. Siapakah hari ini yang lebih berbahagia dari saya yang bahkan di saat ujian ketika usia telah melampaui kepala empat pun tetap ditemani oleh musik rock?

The Playlist

01. The Spirit of Radio – Rush
Ini adalah “wakil” dari keheranan saya (dulu), bagaimana dengan hanya bertiga, dimulai dari intro grusa-grusu yang seakan mengobrak-abrik pakem tempo, Rush menghadirkan keasyikan yang memikat dari sebuah keterburu-buruan yang harmonis. Sekadar catatan pinggir tambahan: entah anda setuju atau tidak, antara lain karena gebukan drumnya pada lagu ini pula saya memasukkan Neil Peart ke dalam daftar para drummer terbaik yang saya catat dalam “dompet” yang hilang itu.

02. Where the Streets Have No Name – U2
Lagu yang diambil dari album The Joshua Tree ini konon dianggap semacam second national anthem oleh sejumlah orang di salah satu negara Amerika Tengah.

03. Easy Livin’ – Uriah Heep
Heep adalah salah satu grup rock favorit saya dan lewat lagu ini—anda tentu boleh tak setuju—coba kita cek apakah benar pengamatan orang bahwa musik Heep adalah campursari progressive rock, heavy metal, country, dan jazz.

04. Arpeggios from Hell – Yngwie Malmsteen

Anda pasti sudah mahfum kalau arpeggio adalah kata yang berasal dari Bahasa Italia—dan arpeggios adalah bentuk jamaknya—yang dalam musik berarti sekelompok notasi yang dimainkan susul menyusul, menanjak maupun menurun. Jadi, bagaimana Yngwie Malmsteen “menerjemahkan” pengertian itu melalui permainan gitarnya, anda bisa dengar lewat komposisi ini.

05. Yankee Rose – David Lee Roth ft. Steve Vai
Coba dengar si David “bercakap-cakap” dengan “gitarannya” Steve Vai di awal lagu ini. Dengar pula bagaimana Steve Vai mampu membuat gitarnya mengeluarkan “tawa.” Itu yang menarik.

06. Voodoo Child (Slight Return) – Jimi Hendrix
Kalau ini sih cuma karena saya rindu kawan dari Kupang yang tak pernah bosan minta lagu ini diputar setiap kali saya siaran dulu. Entah apa yang terjadi dengan kuping kawan yang satu ini.

07. We’re Ready – Boston
Saya suka banget dengan intro lagu ini: metal tapi bening.

08. Seven Seas of Rhye – Queen
Tahun 1973, ketika Queen mengeluarkan album debutnya yang bertitel Queen, saya hanya tertarik pada satu lagu ini saja: bagaimana pekikan khas gitar Brian May “menyambar” permainan piano Freddy Mercury yang bergulung-gulung sebelum melontarkan vokalnya yang unik itu.

09. Lift Me Up – Yes
Ada yang menggolongkan genre Yes ke dalam progressive rock, symphonic rock, art rock, psychedelic rock. Namun, kalau anda dengar lagu ini, mungkin anda akan bilang, “Ah, ini mah dominan popnya.”

10. Like a Rolling Stone – Rolling Stones
Awalnya sulit saya mengubah image di kepala saya bahwa yang menyanyilan lagu ini adalah Mick Jagger, bukan Bob Dylan—seperti yang saya kenal semula.

11. Greensleeves – Ritchie Blackmore
Menikmati Ritchie Blackmore jadi anak manis.

12. Mitzi Dupree – Deep Purple
Komposisi “bau” blues dari Purple yang paling saya suka. Suara Ian Gillan di sini jadi terdengar tambah unik—dibuntuti pukulan bass Roger Glover yang terasa dominan.

13. Blues Anthem (If I Cannot Have Your Love) – Jimmy Page ft. John Miles & Jason Bonham
Di sini Page mengajak Jason Bonham, anak almarhum John “Bonzo” Bonham, sebagai penggebuk drum. Enaknya sih, menurut saya, didengar jam 11 malam.

14. Wish You Were Here – Pink Floyd
Pada suatu konser, lagu ini dinyanyikan di panggung oleh para personel Floyd untuk menghormati almarhum Syd Barret, salah satu founder Pink Floyd. Kalau tak salah dua bulan lalu saya mendengar berita Richard “Rick” Wright, pendiri Floyd lainnya, meninggal dunia. Maka kali ini saya ingin memutar lagu ini sebagai cara saya mengenang kehadiran kedua orang yang telah memberi makna tersendiri akan kehadiran musik rock ini.

15. Flying – Nazareth
Bukan hanya di Love Hurts anda bisa menikmati suara tinggi melengking Dan McCafferty. Di sini pun anda akan disuguhi oleh kekuatan vokal yang menjadi trade mark grup heavy metal asal Skonlandia ini.

16. Mama I’m Coming Home – Ozzy Osbourne
Dengar lagu ini, keganasan Ozzy benar-benar sirna tak berbekas. Apa boleh buat kalau karena itu mungkin di antara anda ada yang sangat kecewa.
~ Tonton videoklipnya di sini

17. Dancing with the Moonlit Knight – Genesis
Lewat lagu ini saya ingin mengajak anda menikmati Genesis masa lalu, saat ia disebut-sebut sebagai salah satu pentolan progressive rock atau classic rock dari Britania Raya. Lagu ini saya ambilkan dari album Selling England by the Pound (1973). Inilah salah satu album Genesis yang sarat dengan kritik sosial.

18. Lucky Man – ELP
Seperti halnya Genesis, ELP (Emerson, Lake, and Palmer) juga kerap dimasukkan ke dalam genre progressive rock, pun art rock. Trilogy disebut-sebut sebagai album terbaiknya. Anda boleh membantah tapi saya menganggap Lucky Man adalah salah satu lagu terbaik grup ini, tentu saja selain From the Beginning—dari album Trilogy.

19. When the War Is Over – Cold Chisel
Cold Chisel identik dengan Jimmy Barnes. Tapi, kali ini, biar saya tampilkan warna yang agak lain dari grup asal benua Kangguru ini di mana yang leading adalah John Farham (yang juga vokalis Little River Band). Tapi jangan khawatir, Anda masih mendengar suara Barnes juga kok.

20. Revelation (Mother Earth) – Ozzy Osbourne ft. Randy Rhoads
Seperti halnya terhadap Yngwie Malmsteen, Joe Satriani, maupun Steve Vai, saya tak bisa menerangkan mengapa saya menyukai Randy Rhoads selain karena penilaian subjektif saya bahwa ia begitu bersenyawa dengan gitarnya. Inilah buktinya: Revelation Mother Earth.

21. The Song Remains the Same – Led Zeppelin
Kalau banyak orang terpesona dengan Stairway to Heaven dari Led Zeppelin—yang bahkan konon sampai-sampai seorang pengamat memberikan lebih dari 20 catatan kaki pada lirik lagu itu—maka lewat The Song Remains the Same, menurut saya, Zeppelin menunjukkan identitas lengkapnya sebagai grup hard rock, heavy metal, blues, dan folk rock sekaligus.
~ Tonton versi konsernya di sini

22. Synchronicity I – The Police
Kalau anda hendak mendengar nada-nada new wave, punk, dan rock sekaligus, menurut saya, itu direpresentasikan oleh the Police via lagu ini.

23. Rainbow in the Dark – Ronnie James Dio
Ia pernah menjadi vokalis Black Sabbath, pernah pula menjadi vokalis Rainbow, tapi yang menjadi ciri khasnya di mana pun ia menyanyi adalah suaranya yang super kencang.

24. Welcome to the Jungle – Guns N’ Roses
Di tahun 1989, seorang penggemar jauh-jauh datang dari Tabanan hanya untuk menyatakan terima kasihnya kepada saya karena memutar lagu ini sambil mengatakan, “Saya baru tahu dari anda kalau Guns ‘n Roses itu dibentuk dari pecahan dua grup, L.A. Guns dan Hollywood Rose.”

25. Comin’ Home – Lynyrd Skynyrd
Kalau pada lagu Sweet Home Alabama yang melegenda itu saya selalu jadi ingat penyanyi country Neil Young—karena disebut-sebut dalam liriknya—entah kenapa, lagu ini selalu mengingatkan saya pada nasib tragis yang menimpa grup ini, Lynyrd Skynyrd, yang pesawatnya jatuh di Missisipi tahun 1977 dan menewaskan tiga anggotanya:  Van Zant, gitaris Steve Gaines, dan Cassie Gaines (backing vocalist). Setelah itu, grup ini seakan lenyap ditelan bumi.

26. Wanted Dead or Alive – Bon Jovi
Saya “mengenal” Bon Jovi lewat lagu ini gara-gara menonton sebuah film yang judulnya, kalau tak salah, Wanted, dan dibintangi, kalau tak salah juga, oleh Lorenzo Lamas.
~ Simak videoklip klasiknya di sini

27. Carry On Wayward Son – Kansas

Band progressive-hard rock asal Topeka, Kansas, ini sempat mengganti namanya menjadi Saratoga. Bersama Grandfunk Railroad, ia dianggap sebagai band Amerika yang sukses menghadapi “invasi” band-band Inggris di tanah Paman Sam. Carry on, bersama-sama Dust in the Wind, merupakan golden singles dari grup ini.
~ Tonton videonya dengan versi vokal yang sedikit berbeda dari aslinya di sini

28. Halfway to Heaven – Europe
Jangan hanya dengar suara emas Joey Tempest di Final Countdown, coba dengar juga di lagu sini, di mana suara gitar begitu otoriter: menyapu seluruh “body” lagu. Tapi asyik lho.

29. Panama – Van Halen
Semua orang tahu kalau album ini adalah salah satu album paling sukses dari Van Halen. Saya ingin mengajak anda menapak tilas “kesaktian”-nya karena, konon, hingga sekarang pun masih ada puluhan radio yang memutarnya di berbagai negara setiap hari.
Joe_Satriani_Flying_in_a_Blue_Dream
30. Flying in a Blue Dream – Joe Satriani
Serasa saya berada di kawasan Dago (Bandung), tempat kali pertama saya mendengar lagu ini di sebuah toko kaset.
~ Tonton Satriani, Vai & Malmsteen—ketiganya berkoalisi di G3—adu kemahiran serta saling silang di sini

31. Too Much Love Will Kill You – Brian May
Ya, seperti halnya anda, lagu ini pun mengingatkan saya kepada Freddy Mercury dan infeksi HIV/AIDS yang menggerogoti the incomparable one dari keluarga Bulsara kelahiran Zanzibar ini hingga maut menjemputnya.

32. We Wish You Well – Whitesnake
Di setiap konser Whitesnake, lagu ini hampir selalu menjadi tembang pamungkas yang mengharu biru (apalagi dengan suara “malas”-nya David Coverdale). Dua puluh tahun lalu, ini adalah lagu penutup siaran saya. Sekarang saya ingin melakukannya sekali lagi.

___________________

Catatan: Dewa Palguna memiliki jejak kehidupan nan pelangi. Dari nyambi menjadi pengasong koran seraya bersekolah hingga menjadi pengajar di fakultas hukum, penyiar radio—yang dominan memainkan musik rock—, kemudian naik tingkat menjadi anggota MPR lalu lanjut berkarir sebagai salah satu hakim Mahkamah Konstitusi. Ketika saya dan rekan-rekan Komponen Rakyat Bali berjuang menjungkalkan UU Pornografi, Palguna menjadi sukarelawan penasehat hukumnya. Selain tetap aktif berkesenian, kini Palguna sedang menyelesaikan studi program doktornya untuk bidang hukum tata negara.
Ya, ada 2 hal signifikan yang gamblang menggambarkan siapa Palguna: Intelektual dan Rock ‘n’ Roll.

___________________

» If you wanna download the whole playlist please click Rock-n-Roll Exhibition: DEWA PALGUNA

Upcoming shows/exhibitions*:
– October 06: Alfred Pasifico (editor of Koran Jakarta)
– October 13: Nasta Sutardjo (used to own the legendary rock-n-roll club in Jakarta: Parc)
– October 20: Veroland (cars & motorcycles custom builder)
– October 27: Belinda Kazanci (singer of LA-based trip hop group, Echocell; designer of Gado Gado apparel)
And more exhibitions in November, December, and next year, by Mian Tiara, Oppie Andaresta, Meita Kasim, Samack, Stirling Silliphant, Lecir, Robin Malau, Che Cupumanik, Acum Bangkutaman, Bonny Deadsquad, etc.

See y’all again next Wednesday!

Boozed, Broozed, and Broken-boned,
RUDOLF DETHU

*subject to change
____________________

The Block Rockin’ Beats
Curator: Rudolf Dethu
Every Wednesday, 8 – 10 PM
The Beat Radio Plus – Bali, 98.5 FM

120 minutes of cock-melting tunes.
No bullcrap.
Zero horse shit.
Rad-ass rebel without a pause.

Shut up and slamdance!

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top