search

Sejarah Bagi Publik, Untuk Ruang Publik

Sejarah adalah pengetahuan untuk semua, bukan hanya objek nostalgia untuk mereka yang mengalami suatu peristiwa sejarah. Sejarah terus menerus berada dalam proses menjadi, diciptakan kembali oleh setiap pemberi makna dan generasi. Setiap generasi punya hak untuk mengakses bukti sejarah yang diarsipkan. Setiap generasi punya hak menciptakan ruangnya sendiri untuk mengunjungi kembali sejarah.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Sejarah adalah pengetahuan untuk semua, bukan hanya objek nostalgia untuk mereka yang mengalami suatu peristiwa sejarah.
Sejarah terus menerus berada dalam proses menjadi, diciptakan kembali oleh setiap pemberi makna dan generasi.
Setiap generasi punya hak untuk mengakses bukti sejarah yang diarsipkan.
Setiap generasi punya hak menciptakan ruangnya sendiri untuk mengunjungi kembali sejarah.

Demikian propaganda utama dari Sejarah adalah Sekarang (History is Now) edisi ke empat. Aktivitas tahunan ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 2007. Acara yang rutin diselenggarakan tiap Maret ini diprakarsai oleh kineforum Dewan Kesenian Jakarta dengan bantuan dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta, sumbangan masyarakat, serta pemeliharaan alat oleh Studio 21. Latar belakang penyelenggaraan program berkala ini adalah untuk merespons riuhnya wacana yang muncul di generasi muda tentang keingintahuan mereka soal sejarah Indonesia—utamanya minat mereka dengan film-film produksi lokal. Mereka amat antusias ingin mencari dan menggali dokumen/rekaman yang ada untuk dikumpulkan, lalu diapresiasi bersama-sama, serta kemudian meneruskan histeria ini ke rekan-rekannya yang lain.

Pengejawantahan dalam menjawab maunya para penerus bangsa itu akhirnya bisa terwujud pada Maret 2007 dan cukup lumayan menarik minat 1.500an orang untuk datang. Berlanjut tahun berikutnya, 2.900an orang bertandang. Di penyelenggaraan ketiga, sambutan meningkat ultra tajam, lebih dari 8.700 peminat berbondong-bondong bergabung.

Dan di tahun yang ke-4 di tahun 2001 ini Sejarah adalah Sekarang diberi tajuk spesial: Publik untuk Ruang Publik. Konsep acaranya pun tidak melulu berhenti pada ritual menonton film belaka. Dipersembahkan pula konser musik, diskusi, hingga pesta kostum segala.

Yang menarik untuk disimak terutama—pertama—pada Minggu, 14 Maret 2010, bertempat di Taman Ismail Marzuki, dimana pada sore harinya diadakan pemutaran khusus film Duo Kribo. Film keluaran 1978 dengan bintang utama Ucok AKA dan Achmad Albar ini sengaja diputar untuk merayakan ditemukannya kembali kopi film di Inter Studio, Pasar Minggu, Jakarta. Beberapa jenak setelahnya diadakan diskusi Musik Rock, Film & Anak Muda. Lalu, di bawah komando Indra Ameng, salah satu figur maha penting di ranah berkesenian alternatif Jakarta, dilanjutkan dengan menampilkan konser musik dengan macam The Gribs, That’s Rockefeller, dll.band

Indra Ameng

Kedua pada Rabu, 31 Maret 2010. Rencananya bakal diputar film produksi 1956 yang dibintangi salah satunya oleh Mieke Wijaya, Tiga Dara. Lalu musisi sekelas Tika & The Dissidents, Endah N’ Resha, serta Frau, menjadi penutup rangkaian seluruh acara. Oh, pagelaran ini sekaligus merupakan pesta penggalangan dana bagi kineforum dan Sinematik Indonesia.

Mari rangkul bersama prinsip dasar kineforum yaitu: Tekanan pada tindakan (menonton, memaknai, menilai dan menyumbang).

*Artikel ini pertama kali dimuat di majalah The Beat Jakarta edisi Maret 2010

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top