search

THE BLOCK ROCKIN’ BEATS: MOMENTUM BUDAYA TANDINGAN

Felix Dass berjudul mengupas tuntas program radio saya: The Block Rockin' Beats".
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Tulisan ini sejatinya adalah karya Felix Dass berjudul “Dethu dan Program Radio Bali The Block Rockin’ Beats” serta tayang pertama kali di jakartabeat.net pada 29 September 2010. Jakartabeat.net kebetulan memang sedang membahas radio-radio di seluruh Nusantara yang mendedikasi diri khusus untuk rock and roll.

Selain saya ubah tajuknya, artikel ini juga saya sedikit improvisasi dengan menambahkan beberapa gambar pendukung.

Di sebuah malam di tahun 2007, saya duduk bersama dua orang yang saya kagumi; Achmad Marin dan Edwin Sandy—Well, ini bukan cerita tentang mereka. Kami berdiskusi tentang sebuah program radio. Buat saya dan Marin, kesempatan malam itu adalah pengambilan gambar kedua kami turun gelanggang membina sebuah program radio. Yang sebelumnya, bisa dibilang gagal. Bertemu dengan Edwin merupakan sebuah pergumulan yang mencerahkan. Kami sepakat, sebuah arena baru perlu dikandung untuk kemudian dilahirkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Hanya dalam hitungan minggu, kami bertiga memiliki sebuah program radio sendiri. Saya bertahan setahun membesarkan dan merawat program radio ini. Menyenangkan rasanya bisa meluangkan sedikit waktu dalam seminggu, memilih playlist sendiri dan memainkannya untuk orang banyak. Proses cuap-cuap, kemudian menjadi tidak penting ketika beberapa pesan singkat masuk dan bertanya tentang lebih lanjut tentang lagu-lagu yang diputar.

Dan itu meninggalkan memori yang tidak lekang dimakan waktu sampai sekarang, hampir tiga tahun setelah pertemuan itu terjadi.

***

Karena paham akan esensinya, maka saya bisa mengerti sepenuhnya kenapa seorang Putu Wirata Wismaya memperpanjang tentakelnya di scene lokal Bali dengan berbagai macam program radionya.

Tunggu, merasa asing dengan nama Putu Wirata Wismaya? Bagaimana kalau nama itu ditukar dengan Rudolf Dethu? Sudah cukup familiar?

Oke, kalau belum familiar. Mari kita lihat seberapa detail saya bisa mengisahkan kiprah seorang Rudolf Dethu untuk anda semua. Sembari mencari ide, bisa juga masuk ke https://www.rudolfdethu.com/

Dari Superman is Dead hingga Radio

Perkenalan saya dengan Dethu, panggilan populernya, dimulai sekitar tahun 2002. Saya yang waktu itu, adalah seorang mahasiswa yang terkesan luar dalam dengan gestur classy-nya sebagai seorang propagandis yang sekaligus menjadi tulang belakang kelompok musik Superman is Dead.

Dethu menjalankan Superman is Dead, clothing linenya Suicide Glam (beserta milis cult-nya), dan Suicide Beat Show di Radio Plus, Bali.

Seluruh kiprahnya menawan hati. Saya berkenalan lebih dalam via sejumlah pertukaran email dan kemudian memutuskan untuk membawa Superman is Dead memainkan pertunjukan pertama mereka di Bandung.

Suicide Glam pun sempat menjadi buah bibir kala itu ketika kerja keras Dethu mempropagandakan produknya terdengar luas oleh banyak insan di tanah Jakarta. Lewat serangkaian kunjungan kerja super efektif, sayapnya berkembang lebar.

Satu yang menurut saya mencuri perhatian adalah Suicide Beat Show di Radio Plus, Bali. Saya yang waktu itu tinggal di Bandung, tentunya akrab dengan berbagai macam program radio yang mampu memfasilitasi banyak kepentingan anak muda. Tapi itu Bandung, bukan Bali.

Di tempat asal saya, Jakarta, program radio adalah sebuah barang mewah yang dikuasai elitis korporasi yang menutup rapat ruang untuk sebuah kebudayaan alternatif. Sesuatu yang ada di bawah permukaan, sulit untuk menembus lapisan tebal guna bisa terlihat di atas permukaan.

Bali, buat saya adalah sebuah teritori asing yang sama sekali tidak bisa diprediksi. Superman is Dead adalah duta besar musik Bali yang levelnya sama dengan Ramos Horta untuk Timor Leste. Otak di balik band itu—saat itu—adalah Dethu. Dan Dethu mengelola sebuah program radio.

How cool is that?

Sebelum perkenalan dengan Dethu dan Superman is Dead-nya, saya tidak tahu apakah Bali itu punya scene alternatif yang menarik atau tidak.

Ternyata, Suicide Beat Show adalah sebuah lini perlawanan terhadap keadaan. Setelah fakta itu terungkap beberapa tahun yang lalu, sekarang saya harus menarik ke belakang cerita tentang sosok Rudolf Dethu. Dia ternyata lebih dahsyat ketimbang apa yang sudah saya pahami selama ini. Terlebih kontribusinya untuk scene lokal Bali via musik-musik alternatif yang dia sebarkan perlahan.

“Saya memperoleh kesempatan bekerja di kapal pesiar—antara 1993 hingga 1998—saya bak memperoleh akses musikal nan tak terbatas untuk mengikuti kata hati saya. Gaji saya selanjutnya dominan tersedot untuk membeli cd dan majalah musik (serta baju bagus). Dari situ saya kemudian giat membikin album kompilasi sendiri dan saya tambahkan info serta perspektif penting atau tidak penting di tiap lagu,” terangnya tentang persetubuhan pertamanya dengan program radionya di Radio Cassanova, Bali.

“Sahabat saya, Rude Boy Dodix, yang pacarnya kebetulan menjadi program director di radio Cassanova langsung menawari saya membuat radio show sendiri. Benar, tanpa dites kemampuan cuap-cuap di radio atau ditagih lembar pengalaman soal pernah kerja di radio atau tidak. Belum genap sebulan kembali di Bali saya sudah punya program radio sendiri, seminggu sekali. Itu adalah masa kelahiran Alternative Airplay, acara radio saya yang perdana. Konsepnya adalah membahas musik secara tuntas. Fondasi acaranya adalah pendidikan, berbagi informasi.”

Dethu percaya siapa yang menguasai informasi adalah mereka yang akan memegang arah perjalanan dunia. Oleh karena itu, dalam skala yang super kecil, dia melakukan kontribusi aktif pada perkembangan scene lokal Bali yang pada waktu itu nihil terdengar di nusantara.

“Waktu itu, acara radio saya jadi ajang hangout para aktivis underground Bali. Bertukar informasi, berdiskusi, membaca buku atau majalah yang saya bawa pulang, dan minum arak tentunya,” kenangnya.

Jangan pernah berpikir bahwa keseriusan ada di prioritas pertama perjalanan Alternative Airplay. Dethu paham bagaimana mengerjakan sesuatu atas dasar senang-senang. Dengan tanpa memberikan tarikan kendor pada perjalanan program ini, ia dan kameradnya tetap berjibaku melewati waktu berbagi informasi itu dengan definisi ‘senang-senang’ tadi. “Half the time, I was drunk or hangover or on something,” kelakarnya.

But Alternative Airplay took Bali by storm!” katanya melanjutkan.

Waktu berjalan dan kemudian menghadirkan sebuah wajah baru hasil pergumulan idealisme baru; Suicide Beat Show.

“Saya membawa nama Suicide Glam dan berkolaborasi dengan majalah The Beat,” terangnya. Di era baru ini, ia membuka pintu lebar pada kehadiran Tuhan baru: Internet.

Dethu, Radio dan Internet

Jika sebelumnya Bali adalah tanah antah berantah untuk musik dan jauh lebih kondang dikenal karena pariwisata dan kiprah Dewa-Dewi yang nyata, kepulangan Dethu ke tanah leluhurnya membawa sebuah revolusi jarak jauh yang terasa sampai Jakarta.

Internet memangkas jarak ribuan kilometer yang terbentang dan setiap perkataan Dethu hampir selalu menjadi inspirasi untuk saya.

Dalam hati, saya berpikir keras, “Bagaimana mungkin orang ini baru muncul ke permukaan dan dia mengabarkan sebuah revolusi musikal di tanah leluhurnya. Ini yang benar-benar diperlukan oleh Nusantara.”

Saya bergabung di mailing list Suicide Glam?yang masih aktif sampai hari ini?hanya demi mengikuti sepak terjang Dethu (salah satunya via Suicide Beat Show) dan menikmati gaya menulisnya yang sangat elegan dan kaya warna. Dan sebaliknya, mailing list tersebut memasukkan banyak sekali informasi.

Satu yang saya ingat adalah kontribusi masif Dethu yang memperkenalkan saya dengan genre punk rock yang lebih beragam?yang agak berbeda dengan apa yang sudah saya konsumsi di tanah Jakarta dan Bandung?dan rockabilly. Karena sejujurnya, saya tidak akrab dengan dua jenis musik ini. Kalaupun tahu hanya selepas lalu saja. Tidak pernah benar-benar mengikat diri dengannya.

Dan untuk sumbangan ini, saya berhutang padanya.

Suicide Beat Radio berganti muka ketika Dethu hijrah ke Oz Radio yang baru membuka cabang di Bali. Saya sedikit paham dengan Oz Radio, karena mereka berasal dari Bandung dan kebetulan cukup kenal dengan music director pertama Oz Radio Bali, Kemir Maulana. Saya dan Kemir kenal di Bandung, tempat saya tinggal waktu itu.

Dethu pun semakin menajamkan pisau ilmu pengetahuannya dengan peran serta internet yang lebih besar. Lahirlah Oz Clash Pistol (OCP).

“Saya baru benar-benar mengaktifkan fasilitas internet untuk menyebarkan propaganda serta benar-benar menyusun program dengan rapi, terstruktur, dan terukur,” tuturnya.

Dari namanya sudah jelas bisa dicerna; Clash diambil dari nama The Clash dan Pistol diambil dari nama The Sex Pistols. Masih perlu penjelasan siapa mereka? Silakan tanya sama Om Google saja ya.

“Namun baru setahun belakangan saya sadar bahwa seharusnya akan lebih baik jika di masa OCP saya sudah mempunyai website pribadi seperti sekarang. OCP akan terdokumentasi lebih baik serta efeknya ke publik bisa menjangkau lebih lebar. Saya ingat sekali, Ryan Koesuma dari Deathrockstar sejatinya pernah menyarankan agar saya sudah mulai bikin website sendiri atau sejenisnya. Menurut Ryan agar informasi dan propaganda berharga itu terdokumentasi baik, tak tercecer serampangan. Ryan benar. Ketika saya mulai mengumpulkan lagi remah-remah OCP (dan tak semua edisi saya bisa temukan) saya jadi bingung saat hendak mempublikasikannya lagi di era sekarang, sebab sudah tak kontekstual.” demikian Dethu menuturkan pada saya.

Salah satu edisi Oz Clash Pistol di tahun 2006 di milis SuicideGlamNation

Perjalanan waktu adalah sebuah ujian berat untuk menyusun kembali seluruh partikel masa lalu tersebut. Tapi, sembari menengok ke belakang, Dethu juga memalingkan wajahnya ke arah masa depan dan terus berkarya.

Dethu dan program radio The Block Rockin’ Beats

Yang paling mutakhir sudah berusia lewat satu tahun. Namanya The Block Rockin’ Beats, ruang tayangnya berada di The Beat Radio. Yang kali ini, agak sedikit berbeda.

“Sejatinya konsepnya mirip dengan acara yang sudah-sudah. Hanya saja The Block Rockin’ Beats tidak memakai penyiar, hanya memutar lagu-lagu saja sepanjang dua jam,” jelas Dethu tentang mainan barunya.

Masih atas nama penyebaran informasi, Dethu memutar sudut pandang ceritanya. Jika sebelumnya ia yang mencari detail informasinya, sekarang ia hanya berperan sebagai kurator. The Block Rockin’ Beats menyajikan playlist-playlist favorit orang-orang yang dipilih sendiri olehnya.

“Tiap orang bisa bikin playlist. Tapi tidak setiap orang bisa membuat playlist-nya dilirik orang lain. Kenapa? Karena dangkal, tidak menciptakan kedekatan, tidak mendorong terjadinya interaksi, sekadar daftar saja. Tapi jika playlist tersebut diberikan sejumput kisah barulah orang akan tertarik untuk melirik,” paparnya.

Semua orang yang diundang untuk melakukan eksebisi merupakan kenalan Dethu dan tersebar luas di seluruh penjuru nusantara.

“Orang-orang yang saya kenal secara pribadi dan wawasan musiknya saya hormati, diberi kesempatan memainkan playlist yang mempengaruhi hidupnya. Dan masing-masing lagu yang diputar tersebut musti diberi penjelasan,” imbuhnya.

Keberagaman adalah kata kuncinya. Dethu menyulam dengan baik pergumulannya dengan berbagai macam orang dengan latar belakang musik; ada yang musisi paruh waktu, ada yang pegawai korporasi multinasional, ada yang aktivis kemanusiaan, penulis, hingga pencinta keriaan.

Dan The Block Rockin’ Beats menjadi sebuah panggung maha agung yang perlahan tapi pasti sudah mendapatkan pengikut setia, mereka yang sudah mau bergabung pada perjamuan suci setiap minggunya. Di beberapa kesempatan?karena memang memuat penjelasan orang-orang yang melakukan eksebisi?The Block Rockin’ Beats seolah menjelma menjadi pelajaran ekstra kurikuler yang terlalu manis untuk dilewatkan.

“Misi dari The Block Rockin’ Beats adalah berbagi ilmu, berbagi sudut pandang tentang musik. Musik juga tak melulu harus didengar, bisa juga dibaca, dipahami lewat penjelasannya,” kata Dethu.

Dia benar. Musik juga tidak melulu untuk didengar. Kadang, dengan paparan maha misterius, musik bisa menerabas batasan dan berbicara dengan bahasa yang  sederhana; enak atau tidak enak, disukai atau tidak disukai.

Ada yang menarik ketika The Block Rockin’ Beats melewati ulang tahun pertamanya beberapa minggu yang lalu. Dethu mengontak seluruh orang yang pernah berpartisipasi di program ini dan meminta mereka untuk mengirimkan satu lagu perpisahan yang menjadi favorit masing-masing orang itu. Dia akan memutarkannya sebagai sebuah kesatuan playlist.

Semoga saja, ini bukan pertanda ia akan menghentikan acara ini. Dari cerita di atas, ia beberapa kali menemui akhir. Dan sebuah perpisahan bukanlah hal yang asing untuknya.

“Sebuah acara radio saya, harus dihentikan kebanyakan karena tidak bisa mengatur waktu. Suicide Beat Show dan Oz Clash Pistol harus berhenti akibat manajemen waktu saya berantakan. Sebab acara radio saya tak sekadar datang ke radio lalu berpidato. Ada porsi propagandanya, ada risetnya, ada cuap-cuapnya. Time-consuming sekali,” kenangnya.

Sejauh ini, The Block Rockin’ Beats adalah yang paling memberikan centang perenang cerita bagi Dethu. Misalnya ketika ia mendapatkan teguran dari aparat berwenang, “Saya mendapat teguran dari aparat karena menayangkan lagu Genjer-Genjer pada saat eksebisinya Adib Hidayat. Biasalah, disuruh hati-hati karena bisa dianggap pro-PKI, subversif. Hari gini?”

Selain itu, dari kacamata budaya tandingan, perkongsian kontribusi ini membawa ia merekatkan sebuah simpul jaringan yang maha kuat. Nusantara mengenal gerbong budaya tandingan Bali yang dibawa Dethu dalam bingkai musik dan sebaliknya, Bali mengenal nusantara via eksebisi simultan bermedium suara ini.

“Secara signifikan sih jejaring perkawanan yang jadi makin kuat. Orang-orang yang saya ajak berpartisipasi di Block Rockin’ Beats rata-rata adalah sosok yang diperhitungkan prestasinya. Dengan mendapat dukungan dari orang-orang penting tersebut maka, secara tidak langsung, kita bisa kompak sama-sama berjuang mengusung budaya tandingan. Agar sebagian generasi muda punya identitasnya sendiri, tak mudah disetir oleh korporasi besar. Plus musik tak jadi seragam dan membosankan,” ceritanya.

Edisi dirgahayu The Block Rockin’ Beats tahun pertama

Dethu paham luar dalam apa yang ia lakukan. Pola pikirnya kadang radikal, tapi kontribusinya tidak bisa dipandang sebelah mata.

“Saya resah akibat fakta sahih yang banyak terjadi di lapangan bahwa ultra berlimpah penyiar radio yang semata piawai di isu cuap-cuap saja, sementara di urusan pengetahuan tentang musiknya mengkhawatirkan,” ucapnya blak-blakan.

Tapi tenang, dia tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Setidaknya, selama hasrat berbagi informasi masih ada di dalam benaknya, hasil karyanya masih ada di sekitar kita semua.

Masa depan adalah layar cerah yang begitu menggoda untuk dijelang. Di alam pikirannya, sebuah dedicated radio sedang dirangkai. “Ini lucu, salah satu pemegang saham The Beat Radio Plus malah bilang seraya bercanda, ‘Kamu sebenarnya sudah pantas untuk bikin radio sendiri. Nanti jika fasilitas radio streaming sudah gampang dimiliki oleh orang per orang maka kamu sudah tidak perlu lagi sama kita.’ Nanti website pribadi saya ke depannya akan memiliki fasilitas radionya sendiri. Catat itu,” ujarnya pada saya.

Dethu menutup cerita ketika secara berkelakar saya bertanya, kapan ia akan berhenti. Dia menjawab, “Ketika negara ini mengadopsi undang-undang yang berlaku di Brunei Darussalam: alkohol divonis haram.”

_____________________

*Foto di halaman depan saya pinjam-pakai dari revoltvideo

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top