search

Vive Le Banksy, Je Suis Charlie

Saya sering mendadak bingung—sehingga membuat saya segera meremas testikel sendiri—ketika, contoh paling aktual
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
LucilleClerc

Artikel ini pertama kali tayang di laman jakartabeat.net. Saya unggah kembali di blog pribadi saya untuk kerapian pengarsipan tulisan-tulisan saya di media-media lain.
__________________

Pengantar Redaksi:

Tulisan ini adalah reaksi atas esai Wisnugroho Akbar, “Kita Bukan Charlie, Kita Melawan Charlie.” yang tayang pada 15 Januari lalu. Redaksi jelas berpihak pada kebebasan bicara dan berekspresi, termasuk kebebasan dalam menentukan batasan kami sendiri: sebuah dialektika dari argumen satu ke argumen yang lain. Redaksi melihat wacana Charlie Hebdo sebagai wacana penting perihal kebebasan dan batas-batasnya dalam konteks keberagaman, karenanya dialektika tidak boleh berhenti dengan sebuah pembahasan dari sudut pandang ‘mayoritas kita’. Berikut adalah tulisan tanggapan yang masuk ke meja redaksi dan menurut kami mampu merepresentasikan minoritas kita yang mengaku sering dibilang “kafir” namun menolak menembak mati mereka yang menghinanya.

Saya sering mendadak bingung—sehingga membuat saya segera meremas testikel sendiri—ketika, contoh paling aktual, terjadi pembantaian biadab terhadap belasan pegawai Charlie Hebdo belum lama ini, selang sebentar muncul argumen-argumen pembenar. Tindakan yang sangat jahat, primitif, barbar, sedemikian rupa dicarikan justifikasi ini-itu. Baik secara terang-terangan (“Yang menghina agama pantas dibantai!”), pasif-agresif (“Ketika menghina sebuah isu hipersensitif ya mesti siap terima risiko…”), atau malu-malu (“Pembunuhan adalah tindakan biadab, sungguh turut berduka. Namun jika mengingat apa yang Barat telah lakukan terhadap Timur sebenarnya tragedi Charlie Hebdo bukan apa-apa…”). Argumennya dilanjutkan dengan penjabaran statistik serta teori-teori canggih pembenar dari tokoh-tokoh terkenal.

Jika saya perhatikan, kecenderungan demikian cukup kerap muncul di media sosial, terutama di Indonesia. Hingar bingar itu umumnya dikarenakan satu hal: simbol agamanya diusik.

Sementara itu, saya pribadi setiap kali terjadi kejadian sebangsat itu, di mata saya yang terlihat cuma pembunuhan, keluarga yang terbunuh menangis, kesedihan tiada tara. Barangkali berikutnya saya ikut membahas apa penyebabnya. Tapi saya tak pernah ikut membenarkan baik secara frontal, pasif-agresif, atau malu-malu.

Agar lebih gamblang, mari saya beri contoh yang gampang serta berdasarkan pengalaman pribadi.

Masih ingat dengan tragedi bom Bali? Itu terjadi 2 kali. Saya tekankan, DUA kali. Kejadian pertama saya berada di jarak amat dekat dengan meledaknya bom, 300an meter dari TKP. Kejadian kedua saya baru saja menjejakkan kaki di tanah Miami, Florida, hendak memulai liburan. Mendadak telepon berbunyi, pasangan hidup saya, wanita yang sama yang saya ajak di dalam mobil ketika bom pertama terjadi, mengabari soal meledaknya bom kedua.

Anda pernah sedekat itu dengan meledaknya bom? JLEGER! JLEGER! JLEGER! Anda tak akan bisa melupakannya sepanjang hidup anda. Kejadian itu akan menghantui anda hingga ke liang lahat. Mendengar suara meleduk sedikit saja anda akan langsung gemetar, instan terbanjiri keringat dingin. Bukan karena suara meleduk itu saja. Tapi juga kenangan menakutkan yang menggandolinya: orang-orang yang berdarah-darah serta mayat-mayat yang digotong dan memapasi anda.

Mari sudahi meratapi apa yang telah terjadi. Saya hanya hendak mengabari anda bahwa saya pernah mengalami langsung dan kejadian itu 11-12 dengan tragedi mengerikan seperti Charlie Hebdo. Kita langsung saja ke titik persoalan.

Misalnya, jika anda ada di tempat saya ketika menyaksikan bom Bali, apa anda bakal juga bersikap sama: menjustifikasi pemboman itu? Toh yang melakukan pemboman itu adalah orang-orang yang saya pikir tipenya mirip dengan aktor pembunuh staf Charlie Hebdo. Sama-sama merasa sedang membela keyakinannya. Bedanya: si pemberondong di Charlie Hebdo adalah si tertindas. Sang pembom di Bali adalah sang mayoritas.

Baiklah, agar sensasional, mari justifikasi pemboman di Bali.

“Karena Bali adalah sentra para kafir, pusat grosir produk haram, sudah sepatutnya diberi pelajaran.”

(Silakan lanjutkan dengan justifikasi sejenis. Sak karepmu, cuk.)

Atau mari kita putar balik skenarionya: karena orang-orang Bali merasa begitu terhina dilecehkan dengan penyebutan “kafir” secara sistematis, terstruktur, dan masif. Titel “kafir” itu dipandang setara merendahkannya seperti menyebut kaum kulit hitam sebagai “negro”. Sahibul hikayat, dua “pahlawan”nya pergi ke Jakarta, menentukan target, lalu membantai para penghinanya. Kiss. Kiss. Bang.Bang.

Tiga belas botol bir kemudian, dari sebuah bar sentra para kafir di Kuta, bermuncratan argumen-argumen pembenar.

“Begitulah resiko jika terus menerus mengoyak-ngoyak harga diri seseorang. Memang pembunuhan itu tak bisa dibenarkan. Tapi ya gitu, anjing terdesak bakal menggigit.”

(Silakan lanjutkan dengan justifikasi kampungan sejenis. Sak karepmu, cuk.)

Sudah?

Apalagi?

Freedom of speech yang kebablasan?

Nilai-nilai Barat yang dipaksakan?

Saya sejujurnya sudah bingung sekarang, mana Barat, mana Timur, mana South Bronx, mana North Vancouver District Public Library. Saya juga bingung mana nilai arat yang dipaksakan, mana yang tidak dipaksakan? Apakah liberalisme dan demokrasi dipaksakan, atau pilihan sendiri?

Padahal menurut saya, bebasnya orang-orang menyemburkan kata “kafir” di muka umum—terutama di media sosial—justru terjadi karena mereka menerima dan melakukan segala “dosa” di atas freedom of speech yang kebablasan, nilai-nilai Barat yang dipaksakan. Itu konyol! Sekonyol demonstrasi anti demokrasi yang hadir karena dikasih ruang oleh demokrasi!

Contoh lain: http://medan.tribunnews.com/2015/01/09/sulit-temukan-rumah-makan-halal-di-bali. Kesimpulan dari tulisan tersebut adalah: orang Bali nista, masih kagok membedakan mana baik mana buruk, sebaiknya hati-hati dengan manusia rendah. Muntahan kalimat-kalimat sevulgar demikian dari seorang legislator di Medan bisa muncul bebas di medsos adalah karena jasa freedom of speech. Dan pantaskah kita menggunakan isi otak Kouachi bersaudara: memberikan ‘pelajaran’ (baca: dibunuh) pada mereka yang menghina pada si anggota DPRD ini?

Coba, pernah tidak antum berada di posisi “kafir”? Mohon dipahami, kata “kafir” itu sangat merendahkan derajat seseorang sebagai manusia. Degradasi keji. Derogatori. Peyorasi. Sama hinanya dengan fenomena para ras Afrika-Amerika dikatai “negro”.

Bagaimana dengan kata “haram” tadi? Haha. Saya malas melanjutkan yang ini karena nantinya diseret-seret ke ranah agama. Mengutip kata Jaya Roxx di Twitter yang kurang lebih bilang, “Agama itu seperti penis. Sensitif. Disenggol dikit langsung ngaceng.” Mendingan saya menahan diri. Apalagi di Indonesia terkasih ini, kalau sudah urusan agama, yang namanya tipe fanatik, tipe moderat, tipe liberal, langsung bersatu menghunus pedang ketika merasa agamanya diusik. Hihi.

Ogah ah. Agamamu agamamu. Agamaku agamaku. Well, agamaku menyarankan minum wiski kualitas baik, dan menawari kau sambil bercanda bilang, “konyol agamamu tak mau wiski, ini enak.” Lalu apa dengan itu darahku halal? Aku dibunuh dan kau senang? Kalau benar begitu, memang konyol agamamu.

Bagi saya, yang mesti disesuaikan adalah cara beragama. Di Nusantara terkasih tercinta ini kebebasan berbicara justru mesti kian digenjot agar lebih merdeka. Ketika beragama janganlah cepat tersinggung. Pelajari strategi agar sensitivitas lebih melar, tak cepat panas. Bergaul lebih intens dengan sejawat yang 1×365 hari senantiasa dibombardir cap “kafir”. Kenapa mereka bisa (seolah) anteng saja, marah pun (sepertinya) tidak.

Jika anda bilang bahwa isu anda lebih krusial dibanding isu “kafir” ini, duh Gusti, jangan-jangan, justru antum yang terlalu memaksakan nilai-nilai antum kepada kebinekaan Indonesia?

Oh, #JeSuisAhmed? Terlalu gampang orang sini berasumsi bahwa Ahmed Merabet sedang membela Charlie Hebdo (baca: freedom of speech and expression) walau harus berhadapan dengan orang-orang dari kaumnya sendiri. Ahmed adalah seorang polisi biasa dan sudah tugasnya menjaga keamanan. Ia belum tentu sedang mempertahankan kebebasmerdekaan berpikir dan berpendapat. Ia barangkali semata sedang menjalankan shift kerja yang diatur oleh atasannya sejak minggu lalu. Eh, ternyata ada duo jenggot membawa senjata laras panjang dan mulai menembaki. Ahmed—yang bisa saja cuma beragama di KTP serta bisa saja tabiatnya sejatinya ateistik—harus merespons agresi tersebut. Ahmed, pada akhirnya, meninggal kala menjalankan tugas dengan seragam polisi, sebagai polisi yang “kebetulan” muslim. Agamanya tidak menyuruhnya mati membela freedom of speech, pekerjaannya lah yang menyuruhnya menjaga keamanan. Titik. Tanpa embel-embel aktivis kebebasan.

Ahmed berbeda dengan Kouachi bersaudara itu. Ahmed ya Ahmed. Dua kakak-adik itu pembunuh biadab. Ahmed sedang menjalankan shift kerja gilirannya. Klan Kouachi sedang mempraktekkan kebiadaban hewaninya. Sudah. Titik. Tak ada romantisme Voltaire: I do not agree with what you have to say, but I’ll defend to the death your right to say it.

Jadi mari, jangan pernah lagi, menyemburkan argumen-argumen pembenaran terhadap pembunuhan. Sehalus apa pun itu. Pun jangan pernah lagi mengimani agama seperti tabiat khas kontol: sensitif dan gampang ngaceng.

Dan kebebasan berekspresi, kemerdekaan berbicara, kudumestiharus terus diperjuangkan hingga selebar-lebarnya. Sebab dari situlah kita bisa bertukar pikiran seperti sekarang ini lalu menjadi mengerti sudut pandang lawan bicara. Mau itu paham Barat Daya Pasifik, Lower East Side, South Central, persetan. Ini jagat global. Batas-batas kian teretas. Yang penting pengekangan freedom of speech and expression ultra minimal.

Freedom of speech yang kebablasan? Wah, muncul lagi kalimat rendah mutu itu. Saya, jika anda sekalian sudi kiranya mengijinkan saya menghina, paling geli dengan komentar inferior seperti itu. Kebebasan berbicara, sekali lagi, kudumestiharus terus digenjot hingga selentur mungkin, hingga titik terjauh. Cara mengontrolnya adalah dengan sebagaimana kita mengendalikan, misalnya, kata “negro” itu. Disosialisasikan secara terus menerus bahwa pamali mengucapkannya terhadap handai tolan Afrika-Amerika. Kita hanya bisa memberi sanski sosial. Bukan dengan melarangnya. Kata adalah kata, gambar adalah gambar. Mereka bisa menghina, bisa membunuh karakter tapi tidak membunuh fisikmu dan otakmu. What doesn’t kill you will make you stronger.

Bosen ah membahas problematika insekuritas. Apalagi pada orang-orang yang pikirannya, “What doesn’t kill you will kill you later.” Sudah ya.

Vive le Banksy. Je suis Charlie.

JE-SUIS-CHARLIE

***

Catatan: Gambar paling atas sejatinya bukan milik Banksy, tapi karya Lucille Clerc. Namun menjadi lebih “berbahaya” ketika dikaitkan dengan Banksy. Tak apalah. Yang penting pesannya sampai. Toh Lucille santai saja. Yang penting pas merepresentasikan bahwa pembantaian pada kebebasan berbicara harus terus dilawan.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top