search

Zeke Khaseli: Makan Salak Lalu Masuk Surga

Di kalangan penggemar musik bukan umum, Zeke Khaseli bukanlah nama asing. Kiprah musikalnya terlacak di wilayah publik sejak saat ia masih bersekolah di Seattle, AS. Kala itu, 2001, pria bernama asli Harris Khaseli dengan grupnya, LAIN, merilis album dalam format cakram digital bertajuk Djakarta Goodbye lewat label sendiri, Our Coffee Records. Diikuti, masih di tahun yang sama, dengan menerbitkan single via label lokal, Flat Spills Records, yang melambungkan reputasinya di tanah air: Veteran Travellers.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Di kalangan penggemar musik bukan umum, Zeke Khaseli bukanlah nama asing. Kiprah musikalnya terlacak di wilayah publik sejak saat ia masih bersekolah di Seattle, AS. Kala itu, 2001, pria bernama asli Harris Khaseli dengan grupnya, LAIN, merilis album dalam format cakram digital bertajuk Djakarta Goodbye lewat label sendiri, Our Coffee Records. Diikuti, masih di tahun yang sama, dengan menerbitkan single via label lokal, Flat Spills Records, yang melambungkan reputasinya di tanah air: Veteran Travellers.

Pada 2003, setelah ia kembali ke Jakarta, album Djakarta Goodbye dirilis ulang oleh perusahaan rekaman dalam negeri, Surgery Records. Beberapa single serta album mini solo juga sempat diedarkannya ke pasar. Namun langkah ke berikutnya yang mampu menjadikan dirinya topik hangat di blantika musik kembali adalah ketika pada 2004 bersama kelompoknya yang lain, Zeke and the Popo, tampil di album kompilasi fenomenal JKT:SKRG melalui tembang Unrescued World.

Setelah berkiprah cukup lama di ZATPP dan melahirkan banyak karya, belakangan Zeke mulai kerap terlibat menjadi pencipta sekaligus pengisi musik film (scoring) di antaranya untuk KALA, Fiksi—di sini ia memenangkan Piala Citra—, juga  Macabre/Rumah Dara. Belum puas hingga di sana saja, Zeke beberapa pekan silam mempublikasikan album terbarunya, Salacca Zalacca. Dan kali ini ia mengusung namanya sendiri: Zeke Khaseli.

Sejatinya album ini merupakan kumpulan lagu yang diciptakannya di kamar lalu seminggu sekali sejak Agustus 2009 sampai Januari 2010 dibagikannya gratis di situs pribadinya, www.zekekhaseli.com. Sementara itu tembang-tembang di dalam albumnya sedikit berbeda dengan versi yang diunduh dari internet sebab telah di-mixing dan mastering ulang oleh Jonathan Vanco.

Mengenai isi Salacca Zalacca Zeke bilang bahwa albumnya yang ini bak film dokumenter yang merekam lingkungan sehari-harinya. Musiknya pekat terpengaruh The Beatles era psikadelik. Selain itu di sana-sini bakal tercium sedikit bau Blur, Pavement, Flaming Lips, Beck, Daniel Johnston serta Adam Green. Pula, kental nuansa film fiksi ilmiah, utamanya di departemen lirik. Sementara durasi lagu umumnya pendek-pendek, dua hingga tiga menitan.

Soal alasan dipilihnya judul unik macam Salacca Zalacca, Zeke berkisah, “Suatu hari gue, Anggun (Priambodo), dan Bin (Harlan) makan salak. Salaknya enak. Dan salak itu dalam bahasa latin disebut ‘Salacca Zalacca,’ menurut Wikipedia. Sempat juga terpikir untuk menamakan album ini ‘Salak Masuk Surga’”

Coba kita lihat apa Salacca Zallaca berujung diterima khalayak. Sudah begitu, untuk memastikan layak atau tidaknya Salacca Zallaca diterima masuk surga dunia hiburan dengan tangan terbuka silakan anda putuskan sendiri dengan menonton penampilannya pada 25 Juli 2010 di acara On The Up di EX Plaza, atau 31 Juli di Score, Cilandak Town Square.

*Artikel ini pertama kali saya tayangkan di majalah The Beat Jakarta edisi Juli 2010

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top