search

GEMPITA ROCKABILLY NUSANTARA: SEJARAH, EVOLUSI & GEMAH RIPAH

Napak tilas lahir dan tumbuh kembangnya rockabilly di Indonesia. Bagaimana The Hydrant merevolusi skena serta mengubah citra musik bapak-bapak menjadi keren kekinian.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
The Hydrant formasi mutakhir. Foto: Erick Est.

Gilang gemilangnya The Hydrant yang hingga dua kali berturut-turut, 2016 dan 2018, tampil di Viva Las Vegas tentu saja membanggakan. Sebab bicara ajang bertitel lengkap Viva Las Vegas Rockabilly Weekend itu setara dengan bicara tentang kewajiban dalam agama. Utamanya bagi penganut kepercayaan rockabilly. Menghadiri Viva Las Vegas bagi umat rockabilly nyaris sebanding maknanya dengan naik haji ke Mekah. Khidmat dan tawakal berserah diri pada Elvis Presley.

Sejauh pengetahuan saya, hingga tahun 2016, bahkan di seantero Asia—selain Jepang, tentunya—belum pernah ada satu pun grup musik yang berkesempatan manggung di Viva Las Vegas yang notabene festival rockabilly terbesar di dunia, paling megah dan meriah, dikunjungi lebih dari 20 ribu pengunjung, serta telah memasuki tahun ke-23 penyelenggaraan. Belum ada festival rockabilly yang bisa menandingi daya tahan Viva Las Vegas yang sanggup menggelinding sampai melampaui dua dasa warsa. Adalah pantas bagi The Hydrant untuk menepuk dada. Prestasi Rockabilly Nusantara yang tidak main-main.

Nah, tentang Rockabilly Nusantara, bagaimana sebenarnya kisahnya? Sejak kapan menyerbu Indonesia? Mengapa posisi The Hydrant signifikan dalam sejarah dan tumbuh kembang rockabilly di negeri ini?

Rock ‘n’ Roll dan Rockabilly

Di masa lalu, istilah “rockabilly” belum terlalu dikenal di Indonesia. Musik yang dimainkan oleh Elvis Presley, Carl Perkins, Jerry Lee Lewis, Johnny Cash, Wanda Jackson, dll; ini digebyah uyah dinamai “rock ’n’ roll”. Saya tidak menemukan jawaban jelas siapa kelompok bumiputra yang telah mendendangkan musik macam begini di Indonesia pada tahun 50an (periode kemunculan rockabilly). Saya hanya bisa menduga-duga bahwa pionir Indo Rock (rock ’n’ roll dengan akar Kroncong yang kental), Tielman Brothers, telah memainkan rockabilly kala bermukim di Surabaya hingga akhirnya hijrah ke Belanda pada 1957 lalu menggaet perhatian global lewat Indo Rock yang diwarnai aksi panggung nan akrobatik.

Salah satu rekaman lama, di rentang 60an, yang bertendensi rockabilly yang pernah saya dengar adalah reinterpretasi “Bengawan Solo” oleh Oslan Husein. Ia ubah iramanya menjadi rock ’n’ roll serta dinyanyikan dengan cengkok Elvis yang kuat.

Rockabilly Revival

Mulai dikenalnya istilah “rockabilly” di Nusantara tiada lepas dari popularitas tiga sekawan Stray Cats yang mendunia, termasuk di Indonesia. Barangkali tembang “Runaway Boys” yang nyelip di dalam album kompilasi (bajakan) punk rock & new wave—saya lupa judul kompilasinya—di awal 80an itulah menjadi tonggak penting pertama menyeruaknya irama gaul baru: Rockabilly.

Walau sejatinya rockabilly bukan barang baru dan kehadirannya yang sekarang adalah daur ulang alias “rockabilly revival” namun kedatangannya kali ini berhasil menarik atensi remaja. Brian Setzer, Slim Jim Phantom, Lee Rocker sukses mengemas rockabillymenjadi lebih segar sekaligus kekinian. Para anak muda di kota-kota besar di Indonesia macam Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar ramai-ramai merangkulnya. Resep Stray Cats yang menggabungkan antara sound Sun Studio, jambul dan minyak rambut berlebih, main drum berdiri, bas betot, serta digarami elemen punk rock (style dan attitude) terbukti ampuh. Seandainya saja Stray Cats sepenuhnya mempertahankan gaya bak Elvis Presley barangkali bakal kurang diminati. “Ogah ah, gaya om-om, bapak-bapak banget,” negasi macam begitu sepertinya akan menyeruak.

Lagu-lagu ciamik dari trio asal New York tersebut seperti “Rock This Town” dan “(She’s) Sexy + 17” menyusul memeriahkan album-album kompilasi bajakan punk rock & new wave berikutnya. Setelah itu barulah album macam Built For Speed mulai dijual di toko-toko kaset. 

Demam Stray Cats kemudian dimulai. Di Denpasar di tembok depan sebuah hotel di bilangan jalan Hayam Wuruk terpampang besar tulisan Suranadhi Stray Cats Complex. Logo kucing pompadour Stray Cats juga mulai banyak muncul di sana-sini. Di acara-acara internal sekolah serta bar-bar di seputaran Kuta lagu “Rock This Town” mulai rajin dikumandangkan.

Sementara di Jakarta, menurut David Tarigan, sama juga. Di kompleks tempat dia tinggal beberapa rekannya merajah logo Stray Cats di lengannya. Belum lagi gambar kucing pompadour di kaos serta stiker yang ditempelkan entah di gitar dan perangkat sehari-hari. Dalam skala nasional, majalah Hai termasuk rajin mengekspos Stray Cats. 

Rockabilly memang belum jaya wijaya pamornya saat itu. Namun perlahan eksistensinya mulai menggerogoti benak kawula muda.

Rockabali

Di program radio yang saya produseri sekaligus menjadi penyiarnya di tahun 1998 hingga 2000, Alternative Airplay, di masa itu saya sering memutar lagu-lagu rockabilly, bukan semata terbatas pada Stray Cats. Hanya saja tidak pernah secara spesifik membahas rockabilly. 

Secara gaya dandan, di awal 2000an sosok paling mula yang saya perhatikan telah menggunakan simbol-simbol rockabilly adalah JRX. Salah satunya, di halaman dalam album Bad Bad Bad (2002) JRX tampak memakai bola 8 serta gesper Chevrolet. Namun jauh sebelum itu gono-gini rockabilly sudah dominan mewarnai kesehariannya. Gara-gara ia amat kepincut dengan Social Distortion. Ia menyukai gaya dandan Mike Ness yang memang kental nuansa rockabilly.

Saya sendiri kerap memakai kemeja montir dengan kerah macan yang saya beli di Kanada, saat masih bekerja di kapal pesiar. Baru belakangan paham bahwa itu lekat dengan imej rockabilly ketika mulai mendalaminya.

Saat saya dan karib saya mendirikan Suicide Glam di tahun 2000 itu kami memproklamirkan arah gaya: Glampunkabilly. Glamour x punk rock + rockabilly. Bayangkan David Bowie dan Depeche Mode x Stray Cats + Punk 77. Kemeja kerah macan itu jadi semacam panduan mendasar seperti apa Glampunkabilly.

Sumber foto: What Drops Now.

Puncak dari segala histeria rockabilly tersebut adalah ketika The Hydrant menjejakkan kaki di belantika musik pada 2004. Saat itu bak jadi tahun resmi lahirnya rockabilly di Indonesia. Aksi panggung, gestur, dan pompadour Marshello yang sungguh Elvis—Brown Elvis! He totally is!—serta ditimpali gaya klimis-parlente Wis, Zio, dan Morris; duhai menarik perhatian skena musik lokal. Apalagi kala The Hydrant lebih mendorong arah imej mereka ke Stray Cats.

The Hydrant formasi pertama. Nabi rockabilly Indonesia.

Sejak momen tersebut, wabah rockabilly di Bali kemudian meluas. Di program radio saya berikutnya di OZ Bali, OZ Clash Pistol, secara rutin saya membahas tuntas rockabilly. Memutar lagu-lagunya, bicara sejarahnya, mewawancara pegiat dan penggiatnya. Selain itu saya juga rutin menerbitkan tulisan tentang geliat rockabilly di Bali, menyelenggarakan konser-konser kecil yang khusus bertemakan rockabilly, malah turut membidani lahirnya band pyschobilly pertama di NKRI: Suicidal Sinatra.

Kuartet yang tadinya menamakan dirinya S.O.S. (Soul of Speed) tersebut saya rombak namanya menjadi lebih sensasional: Suicidal Sinatra. Rupawan seperti Frank Sinatra namun attitude-nya bergajulan. Nama masing-masing personel—Opix, Leo, Kappe, Ajie—semuanya dibubuhi Sinatra di belakangnya. Terinspirasi The Ramones. Berikutnya suri tauladan yang tadinya lebih mengarah pada The Living End bergeser ke Tiger Army dan Reverend Horton Heat. Ketika usaha busana saya, Suicide Glam, menyelenggarakan pagelaran busana, saya pertemukan The Hydrant dan Suicidal Sinatra sebagai hiburan musik. Glampunkabilly (Suicide Glam) berjabat erat dengan Rockabilly (The Hydrant) serta Psychobilly (Suicidal Sinatra).

Gempita rockabilly nan meriah ini menarik perhatian majalah Playboy—jika tak salah di tahun 2007—sampai akhirnya menerbitkan artikel yang panjang lebar menjabarkan dinamika rockabilly di Bali. Secara jitu Playboy mentajuki fenomena ini: Rockabali.

Rockabilly Mutakhir

Setelah Bali, kota-kota lain di Indonesia pula menyambut rockabilly dengan hangat. Yang paling bersemangat adalah Jogja dan Jakarta. Di Jogja, Athonk merupakan tulang punggung tumbuh kembangnya rockabilly di kota ini dan disokong oleh pria flamboyan Kiki Pea dengan grup rockabilly akrobatiknya, Kiki and The Klan. Sementara di Jakarta tercatat ada, salah satunya, The Gokilbillies yang sudah wira-wiri sejak 2006. Keberadaan komunitas Jakarta Rockabilly juga membuat demam musik pompadour ini bisa bertahan lama, tak tergerus oleh tren musik lain.

Lalu di Surabaya tercatat di masa-masa awal ada Anarchy Juice yang sebagian dari personelnya belakangan bertransformasi menjadi The Dynamite Rockers.

Keberhasilan The Hydrant tampil di Viva Las Vegas hingga dua kali niscaya berperan besar mendongkrak tingginya rasa percaya diri aktivis rockabilly Nusantara untuk melebarkan sayap ke manca negara. Prison of Blues yang memainkan sub genre rockabilly yaitu psychobilly. September 2016, beberapa bulan setelah The Hydrant tampil di Viva Las Vegas, grup asal Temanggung ini berangkat ke Northampton, Inggris, untuk unjuk aksi di festival Bedlam Breakout, festival psychobilly yang berlangsung dua kali dalam setahun (kebetulan saya yang dimnta mendampingi Prison of Blues menjadi tour manager). Sejak saat itu pula Prison of Blues rutin menyambangi ajang-ajang rockabilly/psychobilly internasional.

Prison of Blues di Bedlam Breakout. Foto: Erick Est.

Gemah ripah Rockabilly Nusantara!

• Tulisan saya ini pertama kali terbit di DCDC
• Nantikan tulisan berikutnya yang membahas soal pernak-pernik rockabilly: Pompadour, Hepcat, Brothel Creepers, simbol kartu remi, hingga playlist rockabilly yang dibuat oleh Adi Hydrant!

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top