Lagu Paling Norak Sejagat

Jika ditanya lagu apa yang terkeren sedunia barangkali tiap orang punya jawaban beragam. Tergantung selera pribadi. Sering berhubungan erat dengan memori. Menurut majalah Rolling Stone—500 Greatest Songs of All Time—tembang terbaik di muka bumi adalah “Like a Rolling Stone” yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Bob Dylan.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Jika ditanya lagu apa yang terkeren sedunia barangkali tiap orang punya jawaban beragam. Tergantung selera pribadi. Sering berhubungan erat dengan memori. Menurut majalah Rolling Stone—500 Greatest Songs of All Time—tembang terbaik di muka bumi adalah “Like a Rolling Stone” yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Bob Dylan.

Billboard memposisikan “The Twist” oleh Chubby Checker sebagai jawara Greatest of All Time Hot 100 Songs.

“I Am The Resurrection” karya Stone Roses dihadiahi gelar kampiun 100 greatest songs ever oleh NME.

Sementara itu beberapa media lainnya silang pendapat soal lebih hebat mana “Bohemian Rhapsody” atau “Stairway to Heaven”.

Etapi tahukah kawan DCDC gita paling garing yang pernah ada itu apa?

Tentu ada bejibun nyanyian nista yang beredar atau pernah kita dengar. Tapi ini mengkhusus pada yang tenar, dikenal luas, meraih peringkat prestisius. Barangkali membeludak yang setuju bahwa dendang-dendang dari Kenny G memang sepantasnya berakhir menjadi sekadar elevator songs alias lagu latar yang kerap diperdengarkan di dalam lift. Disukai berbagai lapisan masyarakat. Diperdengarkan di mana-mana. Terus menerus. Tereksploitasi tanpa henti. Hingga akhirnya muak dan membangkitkan antipati.

Foto Kenny G dan Michael Bolton dipinjampakai dari akun Pinterest Angela (Marlin) Shin

Bagi saya pribadi, berlimpah tembang cemar yang sulit untuk sudi saya konsumsi. Lucunya, tiga di antaranya disenandungkan oleh vokalis bergaya rambut mullet: “Achy Breaky Heart” oleh Billy Ray Cyrus, serta nyaris semua rilisan Kenny G dan juga kembarannya, Michael Bolton. Jika dirujuk kepada dasar hukum maka mereka trio tadi pantas divonis bersalah telah melakukan tindakan tercela.

Pula saya sungguh heran mengapa “Cotton Eye Joe” milik Rednex disukai. Apalagi New Kids on the Block—beserta legiun boy band lainnya. Saya bukan hanya nihil kecintaan pada “Hangin’ Tough”. Malah nyaris semua top hits mereka. NKOTB seyogianya diperkarakan di pasal perbuatan tidak menyenangkan.

Yang menggelisahkan, “senjata makan tuan” pernah saya alami sehubungan dengan Jonathan dan Jordan Knight. Suatu kala saya menghadiri pesta Back to 90s. Dan “Hangin’ Tough” diputar kencang memekakkan telinga. Audiens—terutama kaum perempuan—jejeritan pecicilan kompak bak vokal grup dadakan riang ria menyanyikannya. Saya spontan manyun merengut, mundur dari lantai dansa, merapat ke bar di pojok belakang. Hilang minat untuk melanjutkan malam yang tadinya ceria. Pulang, ah. Sampai di rumah, membersihkan diri sebelum berangkat tidur. Di kamar mandi, saat membasuh badan, tanpa saya sadari, mulut saya komat-kamit menembangkan “Hangin’ Tough”.

Listen up everybody if you wanna take a chance
Just get on the floor and do the new kids’ dance…

Duh gusti. Kzl.

Nah, lanjut ke topik utama, dalam skala global, menurut media-media musik dan gaya hidup nan berpengaruh, lagu terjelek sedunia telah disepakati: “We Built This City”!

Terpilihnya lagu tersebut bukan sedangkal ritual yang ringan dan yang lucu, yang penting ramai, asal kolosal, seperti ajang khas gelaran MURI. Rolling Stone, VH1, Blender, serta Gentlemen Quarterly musyawarah-mufakat mengganjar “We Built This City” dengan gelar hina dina tersebut.

Foto Starship dipinjampakai dari artikel di NPR.

Di daftar Run for Your Life! It’s the 50 Worst Songs Ever! bikinan Blender, “We Built This City” dikata-katai sebagai tembang buruk yang berlagak anti korporasi padahal di saat yang sama menelan bulat-bulat Dolar korporat. Pula dituduh tak lebih dari lagu karangan—semata rekayasa—para eksekutif di label rekaman. Sama sekali bukan karya seni. Memakai pola generik. Tekstur manufaktur.

GQ mencela komposisi hasil kerja dari Bernie Taupin ini sebagai “lagu paling dibenci dalam sejarah manusia”.

Kian mengenaskan adalah ketika orang dalam sendiri, Grace Slick, sang biduanita di “We Built This City”, turut serta memvonisnya “the worst song ever” dalam wawancaranya dengan Vanity Fair di 2012. Bahkan Grace yang sejatinya sosok terhormat di belantika musik rock—“White Rabbit”! Jefferson Airplane!—akhirnya melepaskan kepemilikannya pada lagu tersebut, ogah dihubung-hubungkan lagi dengan “We Built This City”.

Yaelah. Sampai segitunya.

Bagaimana dengan di negeri sendiri, Indonesia terkasih ini? Gita mana dituduh maha buruk?

Dari pengamatan saya di media sosial sepertinya netijen riang sekali mengolok-ngolok, merundung, dan merisak grup musik asal Batam, Kufaku. Bukan cuma satu atau dua terbitan Bobby Rian dan Rekan yang dicap norak. Saya perhatikan, amat banyak video lagu mereka bersliweran di Facebook, dibagikan di jagat maya. Tidak dalam rangka secercah kisah mencengangkan, inspirasional. Tapi semata bercanda, lucu-lucuan, bahkan merendahkan.

Kufaku sendiri—diwakili sang biduan, Bobby—dalam sebuah wawancara, justru menuduh balik para penistanya sebagai kumpulan sosok kampungan.

“Video itu kan sebenernya prank saja. Saya juga bingung hampir tidak ada komentar cerdas atau simpatik di video saya. Semuanya nyela. Mungkin ini emang tabiat asli bangsa kita kali ya. Mungkin karena memang kita ini bangsa tempe, bisanya cuma nyela. Hahaha. Tapi seriously celaannya kampungan semua gitu, bukan?”

Well, pesan saya pada sejawat Kufaku: hangin’ tough!

__________

*Artikel yang saya tulis ini pertama kali tayang pada 15 Oktober 2018 di DCDC.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top