search
Rudolf Dethu - photo by @viarms

About

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Foto: LIFE.
Tulisan berikut merupakan rangkuman ringkas dari artikel 10 Alasan Suharto Bukan Pahlawan Nasional yang dipublikasikan di berdikarionline.com. Saya improvisasi sedikit dengan menambahkan sepercik taburan opini pribadi di sana-sini. 10 Argumen Kenapa Suharto Tak Pantas Digelari Pahlawan Nasional: 1. Menjadi “operator” imperialis untuk gulingkan Soekarno. Harto menggunakan dalih PKI dan hantu komunisme untuk menjungkalkan Soekarno. 2. Menghamba pada kapitalisme global. Freeport, salah satunya, masuk dan mengisap habis Bumi Pertiwi akibat kemudahan dari Harto. 3. Pelanggar HAM berat. Berkuasa selama 32 tahun — diktator! — nyaris tanpa hambatan karena apa? Harto melibas siapa pun yang menghalanginya. Petrus, DOM di Aceh, DOM di Papua, 27 Juli 1996, tragedi Trisakti. Harto adalah Eyang Genosida. 4. Memberangus demokrasi. Kebebasan berserikat dan berkumpul ditindas. Kopkamtib dan Harmoko menjadi dua mesin pembunuh demokrasi bikinan Harto. 5. Melakukan depolitisasi. Normalisasi Kehidupan Kampus. Mahasiswa dibungkam dibikin impoten gairah berpolitik. Parpol cuma boleh tiga — dan semuanya cuma boneka. 6. Terlibat KKN. Harto merampok uang rakyat lewat beragam yayasan seperti Yayasan Supersemar, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, dsb. Itu si Tommy dan saudara-saudranya petantang-petenteng berlagak entrepreneur apa karena mereka pintar berwira usaha? Bukan. Itu karena bapaknya Raja Maling.
Rudolf Dethu - photo by @viarms

About

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

rudolfdethu

Scroll to Top