Di Indonesia, barangkali hanya Bali satu-satunya daerah di mana punk rock menjadi musik arus utama, paling populer, menyalip genre apa pun.
Fenomena yang amat menarik. Sebuah anomali. Bisa jadi erat hubungannya dengan kedigdayaan Superman Is Dead dalam menaklukkan blantika musik Indonesia. Trio asal Pulau Dewata tersebut menjadi inspirasi utama bagi rekan-rekan sedaerahnya untuk memainkan aliran sejenis.
Dalam skala Nusantara, well, saya nihil data sahih bahwa memang Bobby Kool, Jon Eka Rock, dan JRX yang menggiring anak-anak muda beramai-ramai merangkul punk rock model mereka. Namun saya berjubel keyakinan bahwa tiga putra daerah tersebut memiliki porsi kolosal dalam mendongkrak popularitas punk rock hingga se-mainstream sekarang.
Orang-orang yang tadinya kurang yakin dengan pilihan punk rock-nya kemudian menetapkan hatinya secara penuh. Musisi yang sebelumnya memainkan punk rock garang, bukan yang tipe easy listening, berbelok lalu mengentalkan sisi popnya agar lebih ramah di kuping. Para remaja tanggung bak diberikan petunjuk cepat-tepat haluan apa yang sebaiknya dipilih, lengkap dengan bukti seberapa manjur petunjuk tersebut. Gejala sedemikian rupa terjadi di banyak kota besar Indonesia.
Manuver Spills Records, Bandung, merilis ulang (serta retouch di sana-sini) EP SID Bad Bad Bad di penghujung 2002 menjadi momen penting bagi eksistensi punk rock di kancah musik anak muda. Eskalasi tadi berlanjut menjadi ledakan ketika SID bergabung dengan Sony Music Indonesia lalu menerbitkan Kuta Rock City pada 2003. Disambung band punk rock asal Bandung, Rocket Rockers, yang menyusul berkoalisi dengan Sony. Di luar pusaran label mayor, nama Endank Soekamti bisa disebut juga memiliki peran signifikan mengharumkan nama punk rock hingga ke pelosok-pelosok.
Jika dirunut lagi ke belakang, berlimpah yang mengakui bahwa kedatangan Green Day ke Jakarta di tahun 1996 menjadi titik picu yang menggiring pegiat skena dan musisi bau kencur untuk menggeluti mazhab punk rock melodik/pop punk. Gaya yang berkecenderungan bersenang-senang, bercanda, konyol, jadi lebih diminati diminati dibanding yang pekat amarah dan politikal macam anarcho-punk.
Superman Is Dead sendiri bisa disebut sebagai pop punk dalam makna populer mengingat ketenarannya yang menakjubkan di Nusantaraâsedang mengejar Slank dalam jumlah penggemar Facebook. Namun dalam konteks sub genre, mereka relatif berbeda dengan Rocket Rockers, Endank Soekamti, atau Pee Wee Gaskins yang cenderung renyah dan bicara hal-hal personal. SID, yang belakangan rajin menyorot isu sosiopolitikal tampaknya lebih pas disebut penganut punk rock new-traditionalist. Bayangkan The Clash campur Social Distortion plus sedikit penjelajahan ke wilayah musik lainnya.
Pop punk yang kelewat masif menjamur mulai memuakkan? Yang namanya trend ya memang begitu. Saking gencar tanpa jeda dieksploitasi akhirnya malah kontraproduktif, mencederai dirinya sendiri. Tapi itu normal, banyak korban yang bakal berjatuhan. Tapi akan tetap ada yang berdiri tegak menantang, mungkin tinggal secuil saja namun kuat karena telah sukses melewati tantangan jaman. Masih ingat trend sepatu Dr. Martens? Sempat menjadi sepatu sejuta umat. Lalu tumbang. Tapi cuma pingsan, tidak mati. Sepatu legendaris asal Inggris itu kini kembali, Dr. Martens revival.
Dan di Bali, skena pop punkâdalam konteks genreâkini tak segempita dulu. Ia kalah bersaing dengan punk rock new traditionalists a la SID. The Bullhead dan The Dissland, dua grup yang masih bertahan, misalnya; memang tak persis sama dengan SID. Tapi pesan-pesannya banyak mengarah ke isu sosiopolitikal. Yang jelas, punk rock masih tetap yang paling jaya wijaya di Bali.
Tu, wa, ga, pat!
SIMAK JUGA
Endank Soekamti: Semoga Kau di Neraka
Superman Is Dead: Anarchy for the Nation
BLITZKRIEG 3-CHORDS GABBA GABBA HEY | Punk, Propaganda, Pelopor, Predecessor, Progenitor
Punk Rock di Bali: Legenda Lalu dan Kisah Kini
__________________
⢠Artikel yang saya tulis ini pertama kali dimuat di kolom opini di majalah Hai #18/2015, 4-10 Mei 2015