• Ditulis oleh Alfred P. Ginting
Dari Bali mereka menolak keseragaman selera bermusik. Dengan tato, alkohol dan, simbol-simbol judi, memainkan Rockabilly lebih menarik minat wanita.
“Sekali lagi pertanyaannya, Brian Setzer adalah vokalis dari A: Stray Cats, atau B: Bee Gees. Kita tunggu jawabannya. Ada hadiah dua voucher Rp 150.000 dari Suicide Glam untuk dua pengirim SMS. Obrolan kita mengenai Rockabilly bersama Dethu dan Wis akan dilanjutkan setelah yang ini: Stray Cats dengan Rock This Town.”
Rabu malam itu Rudolf Dethu mendatangkan Wis, gitaris band The Hydrant ke ruang studio Radio Oz FM Bali untuk berbicara tentang Rockabilly. Sejak Januari 2006 Dethu menjadi penyiar tamu dalam segmen Oz Clash Pistol. Manajer band Superman Is Dead (SID) ini mengklaim dirinya sebagai propagandis subkultur Rockabilly di Bali.
Ada tulisan “The Next John Travolta” pada kaos hitam yang dikenakan Dethu. Banyak tampilan Travolta di film. Tapi Travolta yang dimaksud kaos Dethu adalah perannya sebagai Danny Zuko dalam Grease, film produksi tahun 1978. Grease bersetting tahun 1957, tentang anak sekolah menengah yang menggilai dansa dan kompetisi, baik dalam balap mobil maupun cinta. Khas remaja.
Setelah Saturday Night Fever, Grease mengesahkan status Travolta sebagai raja dansa. Film ini diinspirasi dari greaser, istilah slang untuk anak muda yang akrab dengan minyak; baik pelumas untuk mobil atau sepeda motornya dan juga pomade untuk rambutnya. Rambut disisir rapi, jaket kulit dan celana denim. Berandalan yang senang berdandan. Persis karakter Marlon Brando sebagai Johnny Stabler, pimpinan geng bermotor dalam The Wild One (1953). Peran itu membuat Brando menjadi simbol generasi muda Amerika pasca Perang Dunia II dan sampai kini gayanya diamini sebagai trademark penunggang Harley Davidson.
Gaya greaser dipopulerkan kembali oleh Stray Cats di ujung dekade 70an. Band asal New York ini menarik karena cara bermusik yang unik. Lee Rocker memainkan stand up bass, sementara Slim Jim Phantom memainkan drum set yang tak lengkap dengan berdiri. Stray Cats meredefinisi Rockabilly dengan attitude Punk Rock seperti tato. Meski hanya berusia lima tahunâbubar tahun 1984âStray Cats menjadi model bagi band Rockabilly modern. Termasuk The Hydrant yang terbentuk tahun 2004.
“Stray Cats adalah mentor buat The Hydrant. Mereka punya style, musik dan lagu bagus, juga spirit yang dimilik band-band Punk. Brian Setzer itu jenius,” kata Wis.
Meski mengagumi Setzer, Wis tidak meniru seratus persen gaya bermusiknya. “Saya masih meraba-raba sebenarnya, tapi cenderung pada sound gitar Surf Rock,” kata Wis. Surf Rock gaya bermusik yang mencampurkan elemen musik Surf dan Rock-n-roll dengan karakter staccato cepat seperti yang dimainkan The Ventures.
“Memang tidak ingin mengikuti Setzer?”
“Kalau suka sama seseorang saya tidak akan makan mentah-mentah, saya akan mencari dia sukanya siapa. Saya lihat langsung sumbernya. Ternyata Setzer dipengaruhi oleh Cliff Gallup, gitaris Gene Vincent and The Blue Caps. Dari situ influence meluas,” kata Wis.
Memainkan drum berdiri seperti Morris langka ditemui dalam penampilan band dalam negeri. “Tidak capek main drum berdiri?” tanya saya.
“Lebih capek main duduk,” jawab Morris.
“Hernia,” Wis menimpali dan tertawa.
“Awal-awalnya pegal juga. Kursi tidak terlalu penting, kalau berdiri aksi panggung lebih bebas. Awalnya saya bawa empat cymbal. Sekarang malas bawa banyak-banyak. Minimalis,” kata Morris.
“Minimalis ujung-ujungnya males,” Wis kembali menimpali.
Di panggung Morris hanya memainkan empat instrumen dari drum set, crash cymbal dan ride cymbal, snare dan bass drum. “Kadang kalau nggak enak, nggak pakai crash. Begitu aja udah asyik,” kata Morris.
Bila disimak, drum dalam Rockabilly berfungsi membangun beat, menyerupai Swing Jazz tapi dalam tempo cepat dengan hentakan pada snare. “Swing itu tidak seperti beat biasa. Hentakannya mirip be-bop, tapi be-bop hentakan di hi-hat.”
Be-bop gaya permainan jazz yang ditandai dengan tempo cepat dan improvisasi pada struktur harmoni daripada melodi. “Kalau rockabilly di-ride juga ada sentuhan tersendiri, kayak orang masak susah dijelaskan,” kata Morris.
Pada mulanya Wis mendalami skill gitar Blues. Dia dan Zio (bass) sempat memainkan aliran Pop Rock dalam Hydra. Grup band jebolan festival musik yang digelar Log Zhelebour itu sempat menelurkan satu album. “Band itu nggak bisa lanjut, tapi saya dan Zio mau tetap bermusik, kita ajak Morris,” kata Wis.
“Kenapa pilih Rockabilly?”
“Waktu baru belajar gitar saya pernah dengar Setzer. Tapi semangat mendalami Blues, yang lain nggak saya perhatikan. Tahun 2004 ada teman yang menyarankan saya memainkan musik Stray Cats. Dia pinjamkan kaset, saya langsung jatuh cinta. Saya bilang ke teman-teman ‘kita harus mainkan ini’,” kata Wis. “Kebetulan sekali kita ketemu Marshello yang mengklaim diri Elvis-nya Bali. Klop.”
Marshello yang bekerja sebagai penjaga pantai di Kuta adalah sihir yang unik dalam penampilan The Hydrant. Aksi panggungnya sangat atraktif. Tampil klimis, minyak rambut kelewat banyak dan tak berhenti mengitari luas panggung berdansa dengan gerakan kaki yang lincah ala Elvis Presley. Sesekali dia mengeluarkan sisir kecil dari kantongnya sambil sedikit menggerutu, “gara-gara jingkrak-jingkrak terus, rambut gue jadi berantakan. Sisiran dulu ah.”
Marshello yang di panggung suka meracau berpidato dengan logat Bali, memetik gitar akustik atau meniup harmonika tampaknya paham hakekat industri entertainment. Tak hanya penyanyi, dia seorang penghibur. Keunikan itu yang membuat EMI Indonesia berniat meminang The Hydrant. “Mereka punya potensi untuk masuk dengan genre musik yang di luar pakem. Kami sudah membuat MoU untuk menuju kontrak,” kata M Wirasto, artist & repertoire EMI Indonesia, yang biasa disapa Kiwir.
Kiwir ‘menemukan’ The Hydrant sekitar enam bulan silam ketika menjadi juri dalam sebuah perhelatan musik di Bali. Kiwir terpukau melihat The Hydrant memainkan Rockin’ the Rock, Jalan Jalan dan Kukukakikukaku. “Saya dengar ada sesuatu, ada energi, magnet. Mereka punya totalitas dan talenta. Dua minggu setelahnya saya hubungi lagi. Sampai sekarang kita terus berdiskusi.”
“Sudah ada materi lagu yang dibicarakan?”
“Mereka sudah kasih materi, sekitar 30 lagu. Mungkin kita akan pilih 12.”
“Rencana kontrak untuk berapa album?”
“Kontrak biasanya 3 album dulu. Diharapkan dalam 3 kesempatan itu ada hasil yang konkret,” kata Kiwir.
“Anda merasa yakin musik mereka bisa menjual?”
“Potensi musik ini berhasil masih fifty-fifty. Kalau record label lainnya pasti hitung-hitung dulu,” kata Kiwir yang di EMI menangani band-band baru seperti Kapten, Triniti, dan Tahta.
“Kenapa?”
“Kalau dilihat sejarah penjualan rekaman di Indonesia yang berhasil selalu Pop. Tapi kami percaya dalam tren musik ada titik jenuh, orang akan kembali ke retro. The Hydrant bisa menjawab rasa kangen terhadap bunyi gitar era 60an yang sudah jarang terdengar,” kata dia. “Mudah-mudahan benar hitung-hitungan kita.”
“The Hydrant punya karakter di panggung dan sound vintage yang khas. Bagaimana menggarap produksinya agar kekhasan itu tidak hilang dalam rekaman?” tanya saya.
“Memang itu problem band yang daya tariknya di panggung. Recording pure audio, jelas beda dengan atraksi di panggung. PR kita bagaimana membuat hasil rekaman mereka tetap terdengar seperti di panggung, penuh energi dan mempertahankan kesan vintage seperti kualitas rekaman Elvis.”
Pada sebuah malam yang hangat di musim panas. 5 Juli 1954. Elvis Presley, Scotty Moore dan Bill Black dalam sesi rekaman di Sun Records, Memphis, Tennessee. Susah payah mereka mencapai hasil terbaik memainkan Harbor Lights, hit dari Bing Crosby dan lagu country I Love You Because.
Mereka mengambil jeda, menyeruput Coke dan kopi. “Tiba-tiba Elvis bernyanyi, melompat ke sana ke mari dan bertingkah aneh,” kenang Moore. Elvis menyanyikan That’s All Right Mama, tembang Blues yang pernah direkam Arthur Crudup tahun 1946, dalam tempo yang lebih cepat. “Bill mengambil bass dan ikut-ikutan bertingkah aneh, dan aku pun ikut bermain dengan mereka.”
Pintu ruang kontrol setengah terbuka. Di dalam ada Sam Phillips, pemilik Sun Records. Phillips melongokkan kepalanya dari pintu ruang kontrol dan berkata, “Apa yang kalian lakukan?”
“Entah.”
“Rekam,” kata Sam. “Ambil tempat untuk mulai dan lakukan lagi.”
Malam itu dirayakan sebagai hari jadi Rockabilly.
Pelaku Rockabilly awal sebenarnya tidak pernah menggunakan istilah itu sampai terjadi kebangkitan Rockabilly di tahun 70an yang dimotori Stray Cats. Istilah Rockabilly pertama kali tercetak dalam sebuah majalah dagang pada Juni 1956. Tidak terlacak penjelasan lebih detail mengenai kelahiran istilah ini namun kemungkinan disingkat dari “Hillbilly Rock-n-Roll.”
Elvis menancapkan pengaruh yang kuat sebagai penanda gaya vokal Rockabilly seperti efek echo, gaya bernyanyi liar dan ekstrem, namun dengan emosi dan perasaan. Penanda dari segi musik adalah berstruktur Blues, irama dan ritme kuat, solo gitar, pengaruh Blues yang energik, stand up bass terutama dimainkan dengan slapping, bertempo sedang sampai cepat.
Rockabilly dideskripsikan sebagai “perkawinan Blues dan Country yang menjadi Rock-n-Roll,” atau “gaya awal Rock-n-Roll (kulit) putih yang mencampur Blues dengan Country.” Carl Perkins mendefinisikannya sebagai “lagu orang Country dengan ritme orang kulit hitam.” Phillips telah lama punya obsesi menemukan “musik baru” seperti Elvis. Dia beberapa kali mengatakan, “kalau aku bisa menemukan orang kulit putih dengan suara Negro, aku bisa membuat miliaran Dolar.”
Untuk miliaran Dolar itu, selama delapan bulan dia banting tulang mengangkut vinyl rekaman Elvis ke atas Cadillac-nya, berkendara ke kota-kota lain selama enam jam sehari. Suara Elvis pun semakin sering terdengar di radio-radio. Dalam tiga tahun dia didapuk sebagai King of Rock n Roll. Dia mewakili “American dream,” pencapaian kemakmuran dari titik berangkat kemiskinan dengan modal kerja keras.
John Lennon pernah mengatakan “Sebelum Elvis, tidak ada apa-apa,” tapi sebelum ada Sam Phillips, Elvis bukan apa-apa. Sayangnya Phillips pernah menganggap Elvis ‘bukan apa-apa.’ Tahun 1955 dia menjual kontrak dengan Elvis kepada RCA Records senilai US$35.000. “Aku tahu Elvis akan menjadi besar, tapi tidak sebesar itu,” kata Phillips.
Phillips pula yang ‘menemukan’ Johnny Cash, pekerja bengkel Chevrolet yang bermain musik Country dengan teman kerjanya dua bersaudara, Luther dan Marshall Perkins. Cash berjuang agar Phillips bersedia mengaudisinya. Phillips yang sibuk mempromosikan album pertama Elvis baru memberi kesempatan pada Maret 1955.
Film Walk the Line yang dibintangi Joaquin Pheoenix sebagai Cash, menggambarkan audisi itu tak sedap pada awalnya. Sesudah mendengarkan Cash melantunkan lagu gospel, dengan wajah bosan Phillips berkata, “pulang lah dan berbuat dosa, lalu kembali ke sini dengan lagu yang bisa kujual.”
Gagal dengan gospel, Cash melantunkan “Folsom Prison Blues”. Phillips terpukau. Cash membuat lagu itu ketika masih di Angkatan Udara, setelah menonton film Inside the Walls of Folsom Prison. Lagu itu bercerita tentang kebosanan narapidana di balik tembok penjara. Selanjutnya, tema-tema lagu Cash dekat dengan hidup kaum marjinal, tentang kesengsaraan dan penyesalan.
Lagu Cash banyak diinspirasi masa kecil sebagai anak petani yang miskin di tengah deraan era depresi. Kejadian banjir yang menggenangi ladang kapas keluarganya memicu “Five Feet High and Rising”. Kematian abangnya Jack karena kecelakaan mesin potong kayu dianggap menyumbang trauma yang membentuk sisi gelap hidupnya. Lama Cash berkubang dalam jeratan amphetamine dan obat penenang. Meski kelakuannya sembarangan, Cash yang selalu membuka penampilannya di panggung dengan kalimat, “Hello I’m Johnny Cash,” adalah seorang yang memikat.
Dia pernah didakwa karena truknya terbakar dan melahap separuh hutan nasional. Hakim bertanya kenapa dia melakukan itu. Cash menjawab dengan sembrono, “bukan aku yang melakukannya, tapi trukku, dan dia mati jadi anda tidak bisa bertanya padanya.”
***
Johnny Cash mempengaruhi banyak musisi, di antaranya band punk Social Distortion. Sebagai penyuka Social Distortion, Gede Ari Astina atau Jerinx , menghormati Cash.
“Saya baca interview dengan Social D tahun 2000, mereka bilang terpengaruh Johnny Cash. Sebelumnya yang saya tahu Cash penyanyi Country. Kok Social D bisa suka. Saya beli CD-nya, lihat liriknya. Suram, sedikit religius, bercerita tentang narapidana, orang-orang kelas bawah yang kerja sebagai tukang pipa atau di pompa bensin,” kata drummer Superman Is Dead (SID) ini. “Saya langsung suka,” tutur Jerinx.
Saya menemui Jerinx di Twice Bar di Jl Poppies Lane II, Legian. Tiga malam dalam sepekan di bar itu tampil band–band lokal. Twice Bar dibuka Jerinx tahun 2003 dari hasil royalti yang dia terima dari Sony Indonesia untuk album pertama SID. “Uang royalti saya kembalikan supaya band lain bisa gampang main. Hitung-hitung nolong band yang susah main.”
Jerinx berkenalan dengan simbol-simbol Rockabilly pada tahun 1997. Di jalan dia berpapasan orang yang mengenakan helm dengan stiker bertuliskan “Social Distortion” dengan gambar tengkorak memegang gelas martini. Jerinx langsung jatuh cinta. Dan penasaran. Kebetulan kakak seorang temannya punya kaset Social D album Somewhere Between Heaven and Hell. “Saya pinjam, baca liriknya langsung benar-benar kena dengan apa yang saya rasakan.”
“Kena bagaimana?”
“Lirik-lirik Rockabilly itu banyak tentang patah hati, mabuk atau mobil, tentang politik sedikit. Saya merasakan image seorang berandalan yang sok ganteng. Ada selera humornya.”
“Satir?”
“Ya. Berandalan yang tidak mencoba untuk kelihatan macho tapi lebih pada sok ganteng dan dia tahu kalau dia sok. Bukan sok arogan, menyenangkan diri aja. Ada selera humornya,” Jerinx tertawa. “Persis Elvis. Dia kan kayak badut. Makin tua makin nggak jelas. Suaranya sok berwibawa. Tapi kita lihat dia melakukan itu dari hati, nggak palsu. Dia tahu kalau kita tahu dia sok-sokan. Kadang-kadang pakai gaya Kungfu. Dan matinya overdosis. Kartun banget.”
Kecintaan Jerinx pada simbol-simbol Rockabilly terus berlanjut. Tahun 1998 dia membuat tato berciri Rockabilly di lengan kanannya, bergambar wanita dan tulisan “King of Fools.” Lirik lagu Social D itu mengekspresikan sikap satir khas rockabilly.
I was born a king of fools
most people think I’m just a playboy breaking rules.
but they don’t know
that when it comes around to love I always lose
that’s why I call myself the king of fools
Rockabilly tidak mengharamkan lirik cengeng. “Cash kalau buat lirik patah hati, dia tahu itu akan kedengaran cengeng. Beda dengan lirik cengeng band Indonesia yang kita tahu dia bikin itu supaya kedengaran cengeng. Dengar lagu cengeng Rockabilly itu bikin orang bertanya-tanya, kok tampang kayak gini lagunya gitu sih.” Jerinx tertawa.
Lirik lagu Rockabilly mengagungkan kemanusiaan dan menganggap kesalahan sebagai kewajaran. “Tapi menceritakan kesalahannya tidak dengan cara yang sedih. Sok gagah, udah tahu salah,” kata Jerinx.
Jerinx mencontohkan lagu “Sue Jack Daniels” dari Reverend Horton Heat yang mengekspresikan kekesalan seorang pecandu Jack Daniels.
I’m gonna sue Jack Daniels
for hitting me with a trunk of a big ol’ live oak tree
he hurt me this morning with the bright sun light
I’m gonna sue Jack Daniels
for what he did to my face last night
Lirik-lirik lagu Punk Rock yang bernafaskan Rockabilly sarat ekspresi keseharian kaum white trash. Sebutan ini ditujukan bagi warga kulit putih penghuni gerbong kelas rendah masyarakat Amerika. White trash bukan kategorisasi demografis dan jarang digunakan dalam konteks yang sopan. Dalam film-film Hollywood, hidup kaum white trash kerap digambarkan dengan pola makan buruk atau obesitas; bermasalah dengan alkohol, mariyuana atau kokain; tinggal di apartemen kumuh, rumah sewa atau trailer; mengendarai Chevy Corsica, Ford Tempo atau Camaro butut.
Mereka dipersepsikan minus dalam tata krama dan budaya, umumnya tidak lulus sekolah menengah, buta huruf atau tidak bisa berbicara bahasa Inggris yang baik dan benar; memelihara anjing agresif seperti Pitbull atau Rottweiler; bersudut pandang rasis, homofobia dan miskin ambisi; tubuh penuh rajah.
Meski dilekatkan dengan makna peyoratif, white trash juga dipandang sebagai perayaan gaya hidup Amerika. Mereka menjalani “American dream” dengan caranya sendiri. Menikmati hasil kerja keras yang tak seberapa dengan musik keras, mobil bermesin besar, bir dingin, menonton pro-wrestling atau Nascar, membelanjakan pengembalian pajaknya untuk televisi layar lebar daripada baju untuk anaknya.
Figur pria white trash lekat dengan stereotype memakai singlet, seperti penyanyi Kid Rock. Pakaian dalam ini kerap disebut wifebeater, yang diilhami dari stereotype pria white trash yang suka memukuli istri atau perempuan di sekitarnya. “Pulang kerja kasar, mabuk, sampai di rumah mukul istri,” kata Jerinx tertawa.
Dalam film A Streetcar Named Desire (1951), karakter Stanley Kowalski (Marlon Brando) yang sering memakai singlet putih mengasari dan memperkosa adik iparnya. Peran Robert De Niro sebagai petinju dalam Raging Bull (1980) selalu memakai singlet di rumah dan dalam salah satu scene dia memukuli istrinya. “Orang white trash biasa bilang, ‘nice wife beater, Man’ untuk singlet yang banyak bekas noda darahnya,” kata Jerinx.
***
SID sebenarnya lebih kental memainkan musik Punk Rock dengan pengaruh Green Day dan NOFX pada usia awalnya. “Kena racun Rockabilly karena Social D. Kami tetap band Punk Rock dengan image yang ditonjolkan bernafaskan Rockabilly,” kata Jerinx. “Tidak hanya penampilan tapi juga attitude, seperti tampilan mobil tua dan wanita dengan karakter wajah dan dandanan yang agak menor ala tahun 1950an. Kita berani bilang sebelum ada SID belum ada band dengan image mobil tua, tato, alkohol,” kata dia.
“Kenapa memilih image Rockabilly,” tanya saya.
“Karena secara pribadi kami merasa cocok, keren. Kedua, kenapa harus selalu ikut dengan Jakarta? Kami ingin melawan sentralisasi. Selama ini kan kultur itu kalau tidak dari Jakarta, Bandung. Ini bentuk counter culture untuk selera musik. Kita merasa bangga punya perbedaan dari yang lain,” kata Jerinx yang juga punya proyek band Devildice.
Di Devildice, Jerinx sebagai vokalis sekaligus bermain gitar, keahlian yang baru dia pelajari sejak lima tahun silam. Jerinx membentuk Devildice untuk menyalurkan stok lagu ciptaannya yang tidak selalu cocok untuk karakter musik SID. Devildice memainkan Punk Rock ala Chicano, kultur orang Meksiko. Agak mirip Rockabilly, dengan simbol-simbol mobil tua, geng, singlet, dan tato. Lagu-lagunya tidak terlalu kencang, memberikan ruang pada instrumen terompet. Jerinx menyebutnya sebagai musik berandalan yang eksotis.
Bagi Jerinx, Rockabilly dan Punk Rock masih punya benang merah dalam simbol-simbol yang dipakai. “Anak-anak Street Punk suka pakai jaket kulit, suka tato, boots. Mirip dengan kultur rockabilly,” kata dia.
Tato Rockabilly bukan sekadar rajah tubuh, ada ciri-ciri khusus pada warna dan penggambaran bentuk. Objek utamanya burung walet, mawar, tengkorak, jantung tertusuk pedang dan simbol-simbol judi seperti kartu remi, dadu, dan bola 8 (billiard). Burung walet yang kawin hanya sekali dalam hidupnya melambangkan cinta sejati dan jantung untuk patah hati.
“Bola 8, kartu remi dan dadu itu mengingatkan hidup sebagai sebuah permainan. Kamu akan bisa memenangkannya kalau tahu cara memainkannya,” kata Jerinx.
“Karena hidup adalah sebuah perjudian?” tanya saya.
“Ya. Hidup itu sebuah pilihan. Selalu ada yang dipertaruhkan, nggak pakai duit, tapi nyawa.”
“Simbol-simbol Rockabilly kan sangat provokatif, kenapa bisa berkembang di Bali?”
“Karena masyarakat Bali cenderung lebih terbuka terhadap kebudayaan lain.”
“Karena masyarakat Bali umumnya tidak bermasalah dengan tato, alkohol, dan judi?”
“Di kampung-kampung orang bertato biasa, secara tradisi orang Bali kuat minum arak dan sabung ayam. Jadi secara nggak langsung, simbol-simbol Rockabilly sudah lama hidup di Bali,” kata dia.
“Baru sadar juga saya. Rockabilly Bali itu harusnya jangan pakai dadu, tapi ayam jago dua, Rockabali.” Dia tertawa.
***
Bulan April lalu, SID merilis Black Market Love, album ketiga di bawah naungan Sony BMG Indonesia. Lagu “Kita vs Mereka” mereka dedikasikan untuk Inul yang mereka anggap sebagai simbol orang tertindas. “Kami ingin berada di pihak orang-orang seperti Inul. Orang seperti dia banyak. Tapi mereka diam, karena yang dilawan fasis yang berlindung di balik agama. Jadi susah melawan.”
“Kenapa isi Black Market Love banyak bernuansa kritik sosial?”
“Supaya orang nggak hanya melihat kita sekadar band yang hedon. Aslinya kita juga tidak terlalu hedon. Kalau party juga nggak yang mewah-mewah,” kata Jerinx tertawa. “Kita pikir Punk Rock nggak hanya terletak pada 3 kunci, alkohol dan tato. Punk Rock itu ada di lirik. Musik Dangdut pun kalau berontak bisa punk rock.”
“Ini seperti mengulang, pada tiga album awal sewaktu masih indie, ada beberapa lagu berlirik politis?”
“Wajar lah dulu sebagai band Punk yang baru pasti ingin terlihat berontak supaya didengar. Bisa dibilang dulu sok kritis, padahal nggak tahu apa-apa. Darah muda. Setelah banyak jalan ke daerah lain, mata kami semakin terbuka. Banyak persoalan yang menggelisahkan. Karena alasan-alasan itu tadi makanya di album terakhir kita semakin banyak memakai lirik bahasa Indonesia,” kata Jerinx.
“Kenapa dengan bahasa Indonesia?”
“Karena kita sadar dengan bahasa Inggris terus orang susah mengerti, padahal kita banyak punya pesan.”
“Dulu tidak peduli pesan tersampaikan atau tidak?”
“Dulu tema-temanya tentang party, mabuk, nggak penting lah pesan itu,” Jerinx tertawa.
“Kalian mulai keberatan dengan citra suka party dan mabuk?”
“Tidak. Kami lebih memprihatinkan orang yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Orang yang pegang botol bir bukan berarti suka bikin rusuh, orang yang bertato cewek telanjang nggak berarti dia cari perek setiap hari, orang yang berjudi itu belum tentu orang jahat,” kata Jerinx. “Walau di sini tato, minum dan judi hal biasa tapi dari statistik tingkat kejahatan di sini masih lebih rendah dibanding daerah lain.”
“Karena angka pengangguran relatif rendah?”
“Ya. Tapi kondisinya semakin berubah sejak Bom Bali II. Contohnya istri teman saya penjahit, order makin sepi dia balik ke kampung, bertani. Efek bom terus menambah jumlah pengangguran.”
***
Tidak hanya SID yang risau memandang persoalan Bali terkini. Suicidal Sinatra juga punya kegelisahan serupa yang mempengaruhi cara pandang mereka sebagai musisi. “Sampai 2004 efek bom Bali pertama secara ekonomi belum terasa, baru setelah bom Bali kedua semuanya semakin sulit. Banyak teman-teman yang kehilangan pekerjaan. Job kita pun menurun,” kata Ida Bagus Novi Darma Yoga atau Opie, vokalis Suicidal Sinatra.
“Job manggung menurun?”
“Ya lumayan berkurang. Mulai susah bikin acara, izin keramaian dulu gampang, sekarang agak susah. Padahal Bali kan tempat bikin ramai.”
Kemuraman situasi di Bali mempengaruhi nuansa lagu yang tengah digarap Suicidal Sinatra untuk album ketiganya di bawah label indie Electrohell Records. “Untuk album ketiga kami mulai mengangkat masalah sosial, seperti bencana alam dan kritik untuk Indonesia,” kata Opie.
“Kritik seperti apa?”
“Tahu sendiri di Indonesia ini terlalu banyak omong kosong. Orang sekarang di mana-mana saling hantam, bukan berusaha memperbaiki diri sendiri. Sebagai musisi kami nggak mungkin berdemo, jadi kami lampiaskan lewat musik. Kami juga punya amarah, dan kami tuangkan dalam lirik. Karena penyerbuan kantor Playboy di Jakarta kami bikin lagu, Polisi Moral.”
Menurut Opie, pada dasarnya dia dan kawan-kawannya tidak bisa membuat lirik yang merayu wanita. “Dua album pertama itu temanya banyak melecehkan wanita. Gonta-ganti pacar, abis ML sekali, kabur,” tambah Opie.
“Selain lirik apa yang berubah secara musikalitas di album ketiga?”
“Sampai album kedua kami masih pure Nu Skool rockabilly, sekarang kami mulai memasukkan pengaruh Psychobilly,” kata Opie.
Psychobilly percampuran gaya Rockabilly Amerika tahun 50an dan Punk Rock Inggris tahun 70an dengan lirik dalam tema besar horor. Band Psychobilly seperti Tiger Army, Reverend Horton Heat, Nekromantix, Mad Sin, dan The Horrorpops kerap mengangkat tema kekerasan, eksploitasi, seksualitas yang menyeramkan dan hal-hal yang sering dianggap tabu.
Pada awalnya Opie, Kappe, Leo dan Ajie menggemari Rock-n-Roll. Tapi untuk mengasah skill mereka memilih memainkan heavy metal, nama bandnya SOS, singkatan Soul of Speed. “Setelah kira-kira lima tahun main Heavy Metal kami merasa sulit mengembangkan musiknya,” kata Opie.
“Kenapa sulit?” tanya saya.
“Kurang komersil. Masyarakat Bali juga susah menerima Heavy Metal. Lalu kita diskusi, kenapa kita nggak kembali ke basic kita dulu Rock-n-Roll, ada campuran Blues, Rock dan Punk. Kami mulai main dimana-mana, influence-nya dari Living End,” kata Opie.
The Living End band beraliran Punkabilly asal Melbourne, Australia. Pada usia awalnya, Suicidal Sinatra kerap membawakan lagu Frank Sinatra seperti Get Kick Out of You yang digubah dalam langgam Nu Skool Rockabilly. Tahun 2004 band ini merilis album indie pertamanya, Valentine Ungu.
Semakin dekat dengan Rockabilly, Opie dan kawan-kawannya memutuskan mengganti nama band. “Soul of Speed itu berbau Metal sekali. Biar lebih serius di jalur yang baru kita ambil dari nama Frank Sinatra, untuk mengambil image Rockabilly dan ditambah ‘Suicidal’ supaya lebih dark, garang.”
“Waktu itu langsung pakai stand up bass?”
“Di Rockabilly, stand up bass itu password-nya. Perjuangan juga untuk punya stand up bass karena harganya mahal, apalagi yang elektrik. Saya beli bekas dari teman,” kata Komang Pariana atau Kappe, sang bassis.
“Dimodifikasi jadi elektrik?”
“Saya sempat bawa ke beberapa orang tapi nggak ada yang mau ngubah jadi elektrik. Saya coba-coba bikin instrumen elektriknya dengan pelat besi. Tapi belum dapat karakter suaranya. Sekarang saya pakai pelat bekas adaptor, hasilnya maksimal.”
Tapi umur bass itu tidak panjang, pecah karena Kappe menaiki bassnya. Di panggung Kappe biasa memutar-mutar, mengangkat, membalikkan dan memainkan dengan kaki, bahkan menaiki bassnya. “Belajar dari pengalaman, bass yang baru saya bongkar dulu, dipasang rangka di dalamnya. Jadi sekarang aman kalau saya naiki.”
Ketika tur, membawa instrumen seberat 12 kilogram itu cukup merepotkan. “Kalau dengan hardcase 38 kilogram. Kappe selalu butuh kendaraan ekstra,” Opie tertawa. “Kalau naik pesawat, yang lain harus ngalah, bawaan nggak boleh banyak karena bagasi dia pasti overweight.”
“Lebih susah main Rockabilly atau Heavy Metal?”
“Setelah kita jalani, ternyata lebih susah dari Heavy Metal. Dari Heavy Metal ke Rock-n-Roll itu seperti dari Timur ke Barat. Main Heavy Metal, kita tidak susah mengejar hasil yang waktu latihan dengan di panggung. Kalau Rockabilly, sip di latihan di panggung berubah,” kata Opie.
“Berubah?”
“Mungkin karena emosi. Karena senang lihat massa rame dan pogo, eh nadanya lewat. Tapi sekarang lebih fun.”
“Karena di panggung bisa mabuk?”
“Dulu minum air satu galon sebelum main, nggak makan makanan berminyak supaya suaranya tetap tinggi dan bulat. Kalau serak sedikit hancur semuanya, jadi sebelum main saya selalu tegang,” kata Opie. “Sekarang sebelum main justru harus mabuk dulu biar suara jadi rendah dan serak, pokoknya bebas. Main Rockabilly jauh lebih fun. Penonton cewek lebih banyak, dan mudah-mudahan semakin banyak. Metal mana ada cewek yang nonton.”
Ketika baru pindah jalur, sebenarnya Opie dan kawan-kawan masih buta mengenai Rockabilly. Dandanan mereka pun sempat terpeleset. “Kalau manggung kita pakai jas kayak ke kondangan,” kata Kappe.
Dalam suatu acara di tahun 2004, Rudolf Dethu kebetulan memperhatikan penampilan SOS. “Dethu bilang, ‘musik kalian ini Rockabilly’. Kita kan nggak tahu. Dia menjelaskan. Setelah itu kita cari tahu tentang Rockabilly,” kata Opie.
Dethu banyak memberi nasehat tentang cara berpakaian, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Gaya mereka pun berubah, jel wajib supaya rambut berdiri. Cukup melelahkan perjuangan mereka memenuhi tuntutan berdandan ala Rockabilly. Lagu White Shoes menceritakan peliknya usaha mereka mencari sepasang sepatu putih yang mereka idam-idamkan. “Topi, jaket, rantai udah dapat. Sepatu kulit bercorak sampai keliling-keliling di Bali nggak ada juga. Mau pakai sepatu golf, tapi nggak cocok. Akhirnya ketemu di Bandung, beli satu dan kita tiru modelnya di sini.”
Tidak hanya dandan, mereka pun beradaptasi dengan tato. “Di Sinatra ada sedikit kewajiban untuk bertato. Saya dengan Leo dalam tiga bulan satu tangan penuh tato. Kalau ada duit, badan lagi fit, langsung ke Liong,” kata Opie.
Liong atau Putu Nuarsa artis Creative Tatto Studio di Jl. Hanoman, Ubud. Banyak artis tato di Bali, tapi hanya Liong yang dianggap mumpuni untuk tato gaya Rockabilly.
“Sekarang kalian sadar ternyata punya bakat suka bersolek?” saya bergurau.
“Sejak jadi Rockabilly, kalau mau main jam tujuh, jam empat udah mandi, jam lima dandan, setengah tujuh baru berangkat. Dandan di rumah masing-masing, waktu ngumpul ngaca lagi, permak lagi rambutnya. Jadinya hancur lah semua,” Opie tertawa.
“Tidak merasa dibebani penampilan?”
“Itu resiko kita mengambil jalur ini, attitude pakaiannya sudah begitu. Dan ternyata semua bisa menikmati. Awal-awalnya memang perjuangan,” kata Opie. “Dulu beli sepatu paling Rp 200.000, sekarang sepatu creeper minimal Rp 500.000. Lumayan membangkrutkan diri, tapi kita senang melakukannya.”
Rudolf Dethu begitu menyukai musik dan mengeksplorasi sejarah kreatif musisi. Beruntung dia pernah bekerja di kapal pesiar selama hampir lima tahun sampai 1998. Setiap kali menyentuh daratan, Dethu menyambangi toko musik, mencari album yang tak pernah bisa dia dapatkan di Bali, terutama musik Punk Rock dan New Wave. Dia dibesarkan kedua aliran itu, Depeche Mode dan Dead Boys idolanya.
“Dari koleksi baru itu gua bikin kompilasi. Setiap lagu gua beri deskripsi, kirim ke teman-teman di Denpasar. Ternyata album itu menyebar, di-copy sana-sini. Setiap pulang gua diskusi dengan teman-teman tentang musik,” kata Dethu.
Dethu berhenti kerja di kapal tahun 1998, ketika Punk Rock mewabah gara-gara Green Day. Suatu ketika dia dikenalkan dengan Jerinx. “Gua datang pakai scarf, baju beludru. Dia bilang ‘gua pikir lu mohawk‘. Dia pernah dengar kompilasi yang gua buat, dia pikir gaya gua Punk Rock.” Dethu tertawa.
Dethu mendapat tawaran menjadi penyiar di sebuah radio. Di situ dia membuat program khusus, sebulan sekali dia memutar demo band–band lokal. Dethu sempat menolak tawaran Jerinx untuk menjadi manajer SID. Lalu Dethu berhenti sebagai penyiar.
Sembari bekerja di sebuah perusahaan garmen, Dethu merintis bisnis clothing-nya Suicide Glam. Nama yang berbahaya kalau melihat ‘suicide’ sebagai tindakan glamour. Modal awalnya Rp 20 juta, Dethu patungan dengan Made, yang kini lebih banyak menangani urusan desain. Tokonya meminjam ruangan di sebelah Twice Bar ketika masih berlokasi di pinggir jalan Legian. Benang merah desain produknya busana Punk Rock.
Ketika itu Dethu belum mengerti konsep busana Rockabilly, meski secara tak sadar dia sudah lama menyukainya. “Waktu balik gua bawa baju berkerah motif kulit macan, beli di Kanada. Pengalaman gua dengan busana Rockabilly itu yang pertama tapi belum disadari,” kata dia.
Dua tahun bekerja di perusahaan garmen, Dethu mengundurkan diri. “Tahun 2002 gua datang ke SID. Gua tanya apa posisi manajer masih kosong. Mereka bilang silakan. Jadi mereka bisa lebih fokus ke musik gua yang ngurus propaganda.”
Perkenalan Dethu dengan konsep busana Rockabilly berjalan alamiah. “Di sekitar Twice Bar banyak berseliweran orang-orang yang bergaya seperti Elvis. Merekalah orang California yang mempengaruhi kita. Secara artifisial kami mulai paham. Tapi pemahaman yang lebih teoritis belum,” kata dia.
Bila dilakukan pelacakan dari dokumen yang tercecer, menurut Dethu, Jerinx lah yang pertama kali menggunakan simbol Rockabilly. “Di foto album Bad Bad Bad (tahun 2002), Jerinx sudah pakai simbol-simbol bola 8, buckle (gesper) Chevrolet. Tapi kita belum mendefinisikan itu sebagai Rockabilly.”
Secara musikalitas, SID semakin akrab dengan warna musik Rockabilly, terlihat dari lirik lagu Vodkabilly dan Graveyard Blues dan pada album Kuta Rock City (2003). Ini album pertama SID sejak digandeng Sony Music Indonesia. Ketika itu dalam resensi-resensi di media, beberapa lagu SID digambarkan bernuansa “musik ala Amerika Utara”.
Transformasi wacana terjadi dengan sendirinya ketika Twice Bar milik Jerinx menjadi semacam poros sebagian komunitas musik di Bali. “Pelan-pelan kita bikin baju dengan sablon bola 8 atau kartu remi. Akhirnya pemakaian simbol-simbol itu semakin intensif terjadi. Dan tahun 2004 gua mulai intensif mencari teori, literaturnya. Awalnya benang merah produk Suicide Glam Punk Rock 50 persen dan Las Vegas 50 persen. Lalu kita proklamirkan sebagai Glampunkabilly, basic tetap Rockabilly tapi dipadukan dengan glam dan Punk Rock,” kata Dethu.
“Rockabilly kan sama sekali tidak glam?”
“Gua nggak milih Rockabilly murni karena asosiasinya dekat dengan hillbilly, bule-bule gunung seperti Elvis di tahun-tahun awal, atau redneck, yang rasis. Gua kurang suka. Gua lebih suka gaya hidup biker di Southern California, dimana suasana pantai tapi orang bergaya Rockabilly dengan motor chopper atau hot rod.”
Di Bali, Dethu pun menggandeng afiliasi dengan penggemar motor chopper dan hot rod. “Anak-anak motor itu sekarang cari referensi musik Rockabilly ke sini. Dengan adanya club chopper berafiliasi, makin lengkap.”
“Jadi mereka tidak Rolling Stones lagi?”
“Iya. Dulu karena ilmu pengetahuan masih kurang atau nggak mau eksplorasi, masih kebawa The Doors, Rolling Stones. Bukan soal salah benar. Tapi orang-orang chopper dan hot rod di Southern Calfornia itu Rockabilly abis.”
Dethu rajin memberi nasehat busana bagi band yang baru meniti di jalan rockabilly. “The Hydrant itu awalnya gua lihat bawa musik Elvis lalu mereka naik ke Stray Cats. Awalnya mereka suka pakai baju kotak-kotak. Gua tanya ke mereka arahnya ke mana. ‘Kalau Stray Cats, dandanan kalian salah persepsi. Ini buang, ini hillbilly bukan Rockabilly’,” kata Dethu. “Sekarang mereka sudah bisa jalan sendiri.”
Lewat senarai-senarai Dethu rajin melempar kabar apa saja tentang dinamika Rockabilly di Bali. Dia pun rajin menulis di media musik. Dia sering ditanggap jurnalis seputar tema musik lokal Bali. “Gua rajin mengekspose perkembangan Rockabilly. Kami proklamirkan duluan, meski belum banyak pelakunya, tapi fenomena ini layak diperhatikan,” kata dia. “Memang gua ada hidden agenda untuk memasukkan Bali dalam peta musik Rock nasional.”
“Kenapa ada obsesi seperti itu?”
“Selama ini musisi Bali tidak pernah dianggap dalam percaturan musik nasional. Ada Dewa Budjana tapi orang Bali tidak merasa dekat dengan dia karena dia lahir di Lombok dan besar di Surabaya. Sekarang sudah ada Balawan yang dianggap reprensetatif musik Bali. Mudah-mudahan ke depan akan semakin banyak.”
“Dari yang sudah-sudah, tren yang terlalu banyak mendapat publisitas akan cepat menghilang. Tidak khawatir Rockabilly mengalami hal sama?” tanya saya.
“Biar saja menjadi tren, pada akhirnya akan tersaring mana yang serius dan mana yang bukan. Kayak Ska, dulu begitu banyak band Ska. Tapi ketika yang lain tumbang, sampai sekarang Shaggy Dog tetap produktif dan sangat diperhitungkan. Orang akan selalu ingat pionir akan di tempat khusus.”
Dethu menganggap tren musik dan busana serupa, ada yang akan menjadi sejarah sementara yang lain terbawa lalu angin. “Beberapa tahun lalu ada temen ngetawain gua karena gua masih pakai Dr Martens sementara trennya boots Harley Davidson. Gua bilang, Harley baru bikin boots tahun 1990an, tapi Dr Martens itu punya sejarah, seperti Levi’s 501,” kata Dethu. “Yang kena tren pasti sekarang malu pakai Dr Martens.”
Kini setiap bulan Suicide Glam bisa mengantongi omset Rp 60 juta, belum termasuk penghasilan dari ekspor. Sejak tiga tahun lalu Dethu menjalin jaringan pemasaran di Australia, Jerman, Swedia dan spanyol. Di Wuerzburg, Jerman, Dethu mengizinkan mitranya membuka toko fashion memakai nama Suicide Glam. “Kalau mengandalkan pasar lokal gua nggak bisa hidup. Mereka yang ordernya besar. Untuk brand lokal mungkin harga Suicide Glam tergolong mahal,” kata Dethu.
Harga mahal, menurut Dethu, Cuma konsekwensi karena polah bisnisnya tidak ingin menjadi sweatshop, memeras tenaga karyawan dengan upah tidak setimpal. Suicide glam punya 15 karyawan. “Gaji mereka di atas rata-rata, uang makannya layak. Penghargaan itu yang membuat harga kami agak mahal. Kami nggak mau perang harga, nggak akan ada habisnya. Agak ngos-ngosan mempertahankan prinsip ini,” kata dia.
“Apa yang membuat Suicide Glam bertahan?” tanya saya.
“Banyak orang dari luar yang histeris melihat Suicide Glam. Mereka nggak menyangka ketika tiba di Bali ada subkultur seperti ini, harganya murah lagi. Itu terjadi rutin. Orang-orang yang terpukau ini yang bikin kita hidup,” kata Dethu.
Selain di Poppies, sejak setengah tahun lewat Dethu membuka outlet sekaligus kantor Suicide Glam di daerah Renon, Denpasar. Renon termasuk kawasan elit, hampir semua kantor pemerintahan Bali berlokasi di sana. Secara bertahap Dethu ingin melengkapi outlet di Renon dengan perpustakaan. “Kami ingin membuat konsep yang homie, kalau nggak belanja orang bisa duduk baca buku dan minum bir. Pasar yang ingin kami bentuk adalah orang yang sadar busana tapi intelektual. Orang yang mandi dua kali sehari, bersih, sadar busana, suka baca, suka mabuk juga.”
Semakin mengenal Dethu, saya jadi teringat pada sosok Malcolm McLaren, konseptor band punk fenomenal Sex Pistols, dalam derajat tertentu. McLaren pernah terpukau pada gerakan Situationis InternaTional yang mempromosikan absurditas seni dan aksi provokatif untuk mendorong perubahan sosial. McLaren mengadopsi tradisi anti-art kaum situasionis dalam mempromosikan Sex Pistols. Dia menyarankan God Save the Queen menjadi judul album Sex Pistols dan menunda peluncurannya agar bertepatan dengan perayaan 60 tahun Ratu Elizabeth II pada Maret 1977. “God Save The Queen” dilarang dinyanyikan di seluruh Inggris Raya dan subkultur punkâbahkan hingga kiniâmengalami tekanan budaya.
Bersama istrinya, Vivienne Westwood yang sampai kini dijuluki “The punk princess of fashion,” McLaren mendandani Sex Pistols dengan baju penuh pin, pisau cukur, rantai sepeda atau rantai anjing. Juga dengan make-up berlebihan dan rambut berduri. Meski umur Sex Pistols tak panjang, McLaren peletak dasar attitude berpakaian sebagai syarat melambungkan grup musik.
“Banyak yang bilang Rudolf Dethu adalah Malcolm McLaren Melayu,” saya bergurau.
Dethu tertawa. “Sebenarnya tidak dimulai seperti itu. Setelah jalan gua memang mempelajari McLaren. Gua memang suka busana, SID juga begitu. Tapi gua nggak mau ini semata fashion. Gua nggak bakal pakai baju Nike, atau bikin sepatu sport,” kata Dethu.
Busana adalah hidup matimu. You are what you wear.
SIMAK JUGA
Pompadour d’Amour
The Hydrant: Dirty Thirty
⎯⎯⎯⎯⎯
• Artikel ini pertama kali tayang di majalah Playboy Indonesia pada tahun 2006.