Speaker Separatis

Diserang culasnya wewenang, pulau ini siap berperang.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Speaker Separatis: Brozio Orah, Soundbwoy Dodix, Andy Philipus. | Foto: Speaker Separatis.
Speaker Separatis: Brozio Orah, Soundbwoy Dodix, Andy Philipus. | Foto: Speaker Separatis.

Diserang culasnya wewenang, pulau ini siap berperang.
Bersenjatakan mesin dan lencana, pagar ketulusan engkau robohkan.
Tunggu aku di jalan, tulusku sudah menjadi bara dan hari ini kau kan kulawan.
Teruslah hisap hingga habis darah dan identitasku, bersama kepulan tebal kanabisku.

Tapi tuan, jam pasir ini berbalik,
detik-detikmu tak bertuan,
menunggu barisan badai yg kan ledakkan istanamu.

Susunan speaker menjulang tinggi, frekwensinya lantang pecahkan Nusantara.
Speaker Separatis kan tebas tanganmu, gilas pionmu, kubur kuasamu.
Speaker separatis.

Dari Bali, jari tengah adalah diplomasi terbaikku.

Kala menyimak repetan puisi tersebut jelas yang kencang menyeruak adalah segepok kegerahan, kegelisahan, kekecewaan akibat ketulusan yang dirobohkan.

“Rakyat seolah didesain untuk tak berdaya melawan pembodohan yang sudah terjadi puluhan tahun demi kepentingan penguasa dan pemodal,” demikian ungkap si tukang rapal sajak, Vendetta.

Memang, tembang Dub ini tentang kegusaran. Utamanya menyoal rencana reklamasi Teluk Benoa di Bali Selatan. Ide tersebut dianggap lancung karena lebih dominan mudaratnya dibanding manfaatnya bagi penduduk lokal. Melulu menguntungkan investor, cermin ketamakan nan mencengangkan. Ditambah lagi, para petinggi malah memilih menjadi abdi dalem para pemodal, malah mengamini ide destruktif dan memperkosa keharmonisan alam itu. Mestinya rakyat yang mereka jadikan prioritas, disejahterakan, dipenuhi hak-hak mendasarnya sebagai warga negara. Patut diduga mereka disuapi pundi-pundi, hendak memperkaya diri sendiri. Bau amis korupsi amat menyengat di sini.

“Kami, rakyat, menginginkan perubahan. Rakyat kecil sudah muak diperalat dan dijadikan sapi perah. Stop eksploitasi adat, budaya, dan alam rumah kami!” lanjut Vendetta dengan penuh rasa sebal lagi kesal.

Lagu ini sendiri bermula dari momen sederhana. Diawali oleh Soundbwoy Dodix, DJ yang khusus menekuni jalur Dub, Reggae, serta rupa-rupa chunesJamaika, iseng berkutat dengan samples drum, gitar, dan beberapa instrumen lain. Lalu ia perdengarkan komposisi sederhana tersebut kepada Andy Philipus dan Zio. Diselipi pula lagu-lagu Dub dari Augustus Pablo sebagai referensi.

Saat Andy dan Zio telah siap dengan aransemen masing-masing lewat bas, organ, dan pianika, Dodix yang juga adalah Operations Manager Superman Is Dead ini terinspirasi untuk menambahi puisi. Diajaknyalah karib yang ia tahu benar menggilai puisi: Vendetta. Paduan empat kekuatan inilah yang kemudian melahirkan “Speaker Separatis”. Topiknya pun  gamblang: penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa.

Mengingat khalayak blantika musik Indonesia yang belum terlalu akrab dengan Dub Jamaika, sebagai daya tarik, ditambahilah kemudian elemen visual berupa videoklip. Erick Est selanjutnya diminta menjadi sutradara. Kebetulan sosok tenar yang telah lintang pukang di urusan gambar bergerak ini aktif terlibat di gerakan Bali Tolak Reklamasi. Tak heran, dari segi konten gambar, tampak footage aksi-aksi tolak reklamasi Teluk Benoa berceceran di sana-sini.

“Semoga kehadiran ‘Speaker Separatis’ ini bisa menjadi energi tambahan bagi gerakan Bali Tolak Reklamasi,” ungkap Dodix saat ditanya soal harapan ke depannya.

Oh, merasa familiar dengan suara Vendetta? Ya, benar sekali, ia adalah JRX, penabuh drum Superman Is Dead.

Angkat jari tengah tinggi-tinggi ke atas!
Lawan!

SPEAKER SEPARATIS.

Kontributor:
Soundbwoy Dodix – dub organizer
Brozio Orah – bas
Andy “Pretty Boy” Philipus – organ dan pianika
Vendetta – puisi dan jari tengah

Narasi oleh Rudolf Dethu
Diproduseri oleh Pukulrata Records.
Dikerjakan di Melodramatic Studio.
Mixing dan mastering oleh Mangde Ripper Clown.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top