search

ALTAMONT SPEEDWAY FREE FESTIVAL

Pekan ini, jika saja Meredith Hunter masih hidup, maka ia bakal berusia 71 tahun.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Meredith Hunter mengenakan jaket hijau limau favoritnya, tak berapa lama sebelum meregang nyawa di Altamont | Rolling Stone

Bagi rekan-rekan yang telah lanjut usia—30 tahun ke atas, atau penggemar fanatik The Rolling Stones, atau punya ketertarikan gigantik pada so-called “Sex, Drugs and Rock & Roll”—pasti pernah menonton film dokumenter Gimme Shelter atau minimal sempat mendengar kisah legendaris tentang konser gratis pada 6 Desember 1969 di Altamont Speedway, California, Amerika Serikat.

Pertunjukan tanpa tiket—lebih populer dengan tajuk Altamont Free Concert—yang menghadirkan nama-nama besar macam Santana, Jefferson Airplane, The Flying Burrito Brothers, The Grateful Dead, Crosby, Stills, Nash, and Young; serta Mick Jagger & Rekan sebagai penampil utama itu bukan saja mampu mengundang hingga 300 ribu orang untuk datang, seraya menyisipkan sisi tak terduga: 4 bayi dikabarkan lahir di arena konser, pula menyertakan sisi kelam: 2 orang tewas akibat kecelakaan bermotor, 1 orang tenggelam, dan—ini dia—1 orang terbunuh. Mari menyimak lebih jauh soal apa/siapa/kenapa sampai terjadi huru-hara berujung maut.

Tadinya pagelaran ini hendak diselenggarakan di Golden Gate Park di San Fransisco, namun karena alasan perijinan kemudian pindah ke Sears Point Raceway, mentok lagi, hingga akhirnya disepakati memakai Altamont Raceway. Hari dan tanggal penyelenggaraan: Sabtu, 6 Desember 1969. Dan—menurut sebuah versi—atas rekomendasi The Grateful Dead, geng motor Hells Angels dipakai sebagai tenaga keamanan. Dengan koordinator lapangan Ralph “Sonny” Barger, ketua Hells Angels wilayah Oakland. Bayarannya? Barter segunung bir senilai 500 Dollar Amerika Serikat. Beberapa orang memberikan versi sama sekali berbeda, terutama Sam Cutler, road manager The Rolling Stones. Ia menolak anggapan bahwa Hells Angels memang disewa sebagai satuan pengaman.

Hells Angels dibayar segunung bir dan 500 Dollar AS sebagai tenaga pengaman | New Yorker

The only agreement there ever was… the Angels would make sure nobody tampered with the generators, but that was the extent of it. But there was no ‘They’re going to be the police force’ or anything like that. That’s all bollocks

Pada pra dan masa awal, situasi aman terkendali, konser berjalan relatif damai (thanks to booze, LSD, and amphetamine). Penonton, yang hampir seluruhnya hippies, bergembira—tepatnya “high”—menikmati ajang musik cuma cuma tersebut. Sementara di seberangnya gerombolan Hells Angels menikmati suguhan bir bebas beanya. Di pertengahan, suasana berangsur memburuk. Tensi mendaki naik, berubah panas. Mabuk, giting, halusinasi, paranoid, overdosis, campur aduk jadi satu. Penonton—sebagian membawa mawar merah, asli hippies abis—dan Hells Angels yang sebelumnya tata-tentram-kerta-raharja, riang ria dan protagonis, beralih menjadi buruk rupa dan antagonis. Mulai terjadi pertengkaran kecil dan sporadis antar satu sama lain.

Keributan besar meledak ketika Denise Jewkes, personel band asal San Fransicso, Ace of Cups, yang saat itu sedang hamil 6 bulan, terjengkang dan mengalami gegar otak akibat terkena lemparan botol bir. Kondisi instan carut marut. Hells Angels merangsek penonton agar mundur agak menjauh dari panggung yang tak cukup tinggi untuk konser semasif itu. Dilanjutkan dengan munculnya seorang wanita tambun telanjang bulat dari barisan penonton mendesak memaksa maju mendekati panggung, menyenggol dan mendaki apa pun yang menghalanginya. Hells Angels naik pitam dan menghajarnya hingga pingsan. Hells Angels makin membabi buta mengerasi siapa saja saat salah satu motor mereka yang ditempatkan di depan panggung dijatuhkan oleh penonton. Marty Balin, anggota Jefferson Airplane, yang notabene adalah salah satu pengisi acara pun tak luput dari penganiayaan. Dia ditinju hingga semaput oleh satu dari awak Hells Angels. The Grateful Dead, yang dijadwalkan main setelah Crosby, Stills, Nash, and Young; merespons anarki ini dengan spontan meninggalkan arena dan membatalkan penampilannya.

Ribuan penonton terdesak ke bibir panggung | New Yorker
Jagger dituntun menuju panggung | New Yorker

Ketika Rolling Stones sebagai penampil terakhir mendapat giliran beraksi, Altamont bak paceklik positivitas. 3000-4000 orang terdesak ke bibir panggung. Banyak di antaranya yang berusaha naik ke panggung mencoba membebaskan diri dari iklim nan non kondusif tersebut. Mick Jagger, biduan The Rolling Stones, berusaha sedikit meredakan kekacauan, dengan tanpa jeda menyerukan agar penonton tak saling dorong, “Just be cool down in the front there, don’t push around.” Masuk tembang ke-3, “Sympathy for the Devil”, keributan terjadi lagi. Berhenti sebentar, atraksi dilanjutkan kembali. Sampai lagu nomor enam pementasan berjalan lumayan aman. Klimaks huru-hara pecah tatkala “Under My Thumb” baru saja dikumandangkan. Meredith Hunter, pria muda berusia 18 tahun, bergerak mendekati panggung walau—menurut kisah Porter Bibb, produser Gimme Shelter—sang pacar, Patty Bredahoff, merajuk memohon-mohon agar ia tetap tinggal di tempat. Meredith Hunter (tonton video di bawah, Hunter menggunakan jaket hijau) yang notabene sedang “on” berat akibat methamphetamine dan berjalan duhai sempoyongan, terus saja maju ke depan. Tiba-tiba Meredith mengeluarkan revolver dari saku jaketnya. Patty lalu berusaha merampasnya. Khalayak yang berada di dekatnya otomatis ketakutan dan berusaha menjauhi. Alan Passaro, anggota Hells Angels yang kebetulan sedang di sekitar TKP segera melesat menghampiri, mencabut belati, dan menghujamkannya hingga 5 kali ke tubuh Meredith. Meredith langsung meregang nyawa, menghembuskan nafas terakhir (sebagian saksi mengatakan bahwa saat Meredith terjungkal ke tanah, kerabat Hells Angels yang lain beramai-ramai menzaliminya pula). Meredith Hunter konon hendak membidikkan pistol ke Mick Jagger semata gara-gara cemburu karena sepanjang pertunjukan sang pacar terus-terusan bilang naksir Mick Jagger. Akibat perbuatannya Alan Passaro langsung ditangkap dan diinterogasi. Belakangan Alan Passaro dibebaskan setelah sebuah rekaman video mustajab membuktikan bahwa tindakan Alan Passaro sekadar mempertahankan diri.

Kerusuhan yang terjadi tak begitu disadari oleh The Rolling Stones, mereka hanya menonton dari atas panggung, bingung, mencoba menebak-nebak apa yang terjadi. Tak lama kemudian kontingen asal Inggris tersebut melanjutkan penampilannya sampai kelar 15 lagu. Di lain kesempatan Ralph “Sonny” Barger mengklaim bahwa The Rolling Stones bersedia meneruskan karena Sonny menyodorkan pistol ke Keith Richards serta mengancam akan membinasakannya jika sampai berani menyetop pertunjukan.

Video di atas, Jagger dan Watts mendengarkan pembelaan diri Hells Angels tentang insiden Altamont di radio KSAN, San Fransisco.

No thanks to booze, LSD, and methamphetamine!

• Baca juga WOODSTOCK 1969.

__________________

Catatan: Artikel ini sudah sedikit direvisi, pertama kali saya publikasikan di Musikator pada 8 April 2009 dan kembali sedikit dirapikan pada 26 Oktober 2018 lalu dirombak, ditambahi beberapa dokumentasi lagi pada 28 Oktober 2022.
Featured image: Photos Historique.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top