search

Catatan dari Muara Senja II: Musik dan Politik

Sore angin sepoi-sepoi dengan pohon rindang yang melingkari dan danau yang tidak jauh dari sebuah taman tersebut, cukup membuat alasan nangkring sambil bersandar di salah satu pojokan tempat yang serupa ruang melingkar.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Muara Senja II oleh Husni Efendi
Foto: Husni Efendi

Catatan dari Muara Senja II: Musik dan Politik
Rating1 2 3 4 5 (2 votes)
Husni Efendi
Oleh:
Husni Efendi
Catatan dari Muara Senja II: Musik dan Politik
Kredit Foto: Husni Efendi
Sore angin sepoi-sepoi dengan pohon rindang yang melingkari dan danau yang tidak jauh dari sebuah taman tersebut, cukup membuat alasan nangkring sambil bersandar di salah satu pojokan tempat yang serupa ruang melingkar. Tak aneh tempat tadi disebut taman melingkar karena mungkin bentuknya yang demikian, letak persisnya tak jauh dari perpustakaan pusat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Di sekelilingnya beberapa lorong yang menyerupai semi mall berderet dengan pengukuhan Starbucks Coffee sebagai pembuktian, sayang beberapa kali ke tempat itu enggan untuk memasuki lebih kedalam.

Seperti sore ini dengan pengorbanan bolos lebih awal dari tempat biasa nguli menuju tempat tersebut dengan KRL durasi hampir satu jam perjalanan, setelah sebelumnya mendapat kabar seorang kawan lama yang akan mengisi salah satu pembicara diskusi dengan tema “musik dan politik”.

Alasan yang terhimpun menjadi satu ketika sampai tempat ternyata yang dicari tidak jadi datang, mungkin sedang banyak yang tidak bisa ditinggalkan, hibur saya dalam hati. Toh, bukan alasan juga untuk kembali pulang setelah diskusi dimulai beberapa menit dan formasi pembicara dalam ruang teduh itu digantikan Philips Vermonte, founder Jakartabeat.Net, posisi lainnya tetap sama seperti yang tertera di poster acara Rudolfh Dethu, Harlan Boer dengan dimoderatori Taufiq Rahman.

Saya tidak tahu berapa lama tertinggal saat ritme diskusi berjalan, mic dipegang Rudolf Dethu membicarakan bahwa musik protes sosial tentu masih relevan dengan keadaan sekarang, dengan imbuhan pembuktiannya ketika menurutnya di Bali contoh Superman Is Dead dan Navicula terus terlibat aktif dalam kampanye-kampanye sosial yang juga teraplikasi dalam lagu-lagunya.

Tak lama Taufiq Rahman si moderator menimpali tentang ketika di Bali bisa demikan, lantas kenapa di Jakarta susah mendapat pemandangan sama yang sekaligus sebagai sebuah pertanyaan lanjutan terhadap pembicara berikutnya, Harlan Boer.

Harlan kemudian seperti merefleksi kebelakang ketika dirinya muda awal-awal menonton film “Ambisi” dimana Koes Bersaudara menyanyikan “Hidup Di Dalam Bui” dan menurutnya itu adalah titik awal dirinya menyandingkan rumusan protes sosial dengan musik, yang kelak juga menjadi karyanya kemudian semisal lagu “Sakit Generik”.

Harlan menitik beratkan kisah-kisah personal yang menurutnya lebih menarik untuk diangkat dengan modus pesan sosial di dalamnya, adalah contoh dia lebih menikmati “Siang Seberang Istana” cerita anak kecil dekil yang tertidur di seberang istana presiden, dibanding “Surat Untuk Wakil Rakyat” Dua-duanya karya Iwan Fals, tapi yang membedakan adalah pemotretan angle dari lirik itu sendiri. Yang satu tampak personal, satunya lagi tampak faktual.

Dan lagi menurut Harlan Boer lirik-lirik politik atau protes sosial tidak selamanya harus meledak-ledak, dengan perbandingan contoh lagu “Coklat” nya Pure Saturday yang jika dicermati secara seksama kita akan menemukan beberapa kata kunci bahwa lagu tersebut sebenarnya bercerita kritikan kepada salah satu institusi penegak hukum.

Mic berpindah tangan kepada Phipils Vermonte saat responnya tentang relevan atau tidaknya musik-musik protes sosial tersebut sekarang dengan guyonannya yang cukup mencairkan suasana, tetap menurutnya masih relevan, setidaknya agar presiden tidak sembarangan membuat album musik, agar lahan musisi juga tidak diambil oleh sang presiden. Gelak tawa menjadi jeda beberapa detik sebelum dirinya melanjutkan pembahasan.

Masih menurutnya, musik adalah bagian dari gerakan sosial itu sendiri. Dia mencontohkan seperti “Efek Rumah Kaca” yang misal terlibat aktif di beberapa kampanye tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia, semisal penculikan ataupun perihal concern kepada kasus pembunuhan Munir.

Telaahnya berlanjut dengan perbandingan era Orde Baru dan sekarang, saat dulu begitu konkrit memetakan musuh bersama sedangkan saat ini begitu kompleks yang juga kemudian berimbas tentang bagaimana musik terfragmen dengan setiap isu yang didukungnya. Berangkat dari isu-isu daerah yang dihadapi, misal Navicula dan SID yang penyuaraannya lebih getol tentang tolak reklamasi di Bali, yang memang itu adalah hal real yang sedang mereka hadapi disana.

Lagi-lagi moderator cukup asyik memainkan irama diskusi layaknya permainan sepakbola tahu dimana saat mengumpan, ketika melempar pertanyaan tentang misal bagaimana musisi membuat karya protes sosial tetapi hanya pasif dan berhenti dimusik saja. Atau seberapa besar pengaruh dari musiknya tersebut.

Philips kemudian sekilas menceritakan contoh bagaimana Lou Reed dengan Velvet Underground-nya ada pengaruh tersendiri kepada Vaclav Havel dengan gerakan sosial di Ceko-nya. Sekilas saya jadi ingat juga tentang bagaimana keberanaian seorang Munir melawan gurita militerisme itu juga mempunyai kisah tersendiri sebagai pengkoleksi lengkap kaset-kaset Iwan Fals.

Tidak lama setelah beberapa kali sesi tanya jawab dengan peserta di taman itu, moderator memberikan pengumuman bahwa waktu diskusi harus sudah diakhiri, menurutnya walaupaun sedang membicarakan perihal musik dan protes sosial, satu hal yang tidak bisa dilawan hanyalah waktu.

Masih agak betah setelah usai diskusi saat langit semakin gelap gabungan mendung dan sebentar lagi malam, menikmati penampilan Senar Senja yang dilanjutkan Harlan Boer membawakan Sakit Generik-nya.

Gerimis merincik saat alasan yakin segera meninggalkan lokasi menuju stasiun, saat tak lama merogoh HP dan tertera pesan:

“..sory euy Ni teu bisa dateng, keur rariweuh didieu, teu nggeunah oge ka panitia jeung Ka Taufiq..”

Pesan pendek tadi dari Herry Sutresna aka Ucok (Ex-Homicide) salah satu pembicara yang karena beberapa hal batal hadir.

Senja mendekati malam
Taman Melingkar UI Depok – 25 April 2014

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top