COMING UP ROSES: LIES

Just discovered this Singapore's magnificent shoegaze unit, Coming Up Roses. Saw them performing at Hard Rock Cafe Singapore a few nights ago, falling in love instantly. Been listening to this song on repeat. Melancholy and atmospheric yet beautiful. Sad and gorgeous vocal style. Shoegaze at its best.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Rabu kemarin, 6 November, saya kejatuhan kejutan menyenangkan. Terbawa haru ke era jaya wijaya 90an sepanjang jalan kenangan. Saya kebetulan sedang di Singapura dan butuh siraman rohani selepas senja. Saya memutuskan pergi ke Hard Rock Cafe untuk menonton Fur, kuartet berkiblat 60an, psychedelic pop, asal Brighton, Inggris. Daripada berbuat asusila (lokasi menginap: Geylang) atau jejeritan menghina PKS di Facebook, mending cari kesibukan yang positif dan diridhoi Yang Maha Kuasa: nonton band.

Ternyata sebelum Fur—dan ujaran panjang ini memang bukan membahas Fur—ada bonus grup musik pembuka: Coming Up Roses. Genre: shoegaze. Hore.

Sepertinya mereka lumayan punya massa di Singapura. Cukup berlimpah tampak anak muda yang menunggu mereka beraksi. Sejak di lagu pertama empat musisi muda ini disambut meriah. Ada yang malu-malu berseru “I love you!” Nyaris seluruh audiens turut bersenandung di beberapa tembang yang diakrabi. Pula dihadiahi tepuk tangan berkepanjangan di lagu-lagu tertentu. Malah ada yang berteriak “Bubarkan PKS!” (Maaf, ini bohong.)

Untuk urusan musikal, Coming Up Roses sudah pantas diberi predikat laik-shoegaze. Melankolis, indah, atmosferik, gitar galaktika nan distortif dan meraung-raung namun tetap kudus lagi syahdu. Ditimpali biduanita yang kala menyanyi seolah sedang katastrofe patah hati, emosinya buram-pucat. Mungkin juga anak kucing yang baru seminggu dipungutnya tak mampu bertahan hidup, meninggal di dalam selimut kecilnya.

Pendek kata, saya duh-gusti tergila-gila. Dilanda panah asmara. Dua tembangnya, “Lies” serta “Waters”, terus saya geber tiada berkesudahan. A dreamy voyage into phantasmagoric guitar galactica.

Etapi seperti kata Otong Lennon bahwa “tiada yang sempurna di dunia ini kecuali Tuhan” begitu pun dengan Coming Up Roses. Saya sedikit agak menyayangkan aksi panggung mereka. Bagi saya ekspresi mereka terlalu gembira. Kemudian di sebuah kesempatan mereka minta penonton untuk melambaikan kedua tangan ke kiri dan ke kanan. Belum lagi sesekali gitarisnya loncat-loncat dan jejingkrakan seperti hulubalang pop punk. Ekontolyaolo kok band shoegaze gembira sik? Mereka menatap sepatu bukan karena ogah bersirobok pandang dengan kader-kader PKS. Tapi disebabkan tabiat personelnya yang rata-rata introvert, kikuk, kagok berinteraksi dengan penonton. Bawaan lahirnya memang depresif, berkepribadian retak, gestur nestapa dari sononya. Mimik muka dan gerak laga riang ria? For shoegaze’s sake, stop it.

Asal tahu saja ya (awas, mulai pamer neh) saya sudah pernah menonton para muliawan shoegaze/dream pop/sadcore/post-rock My Bloody Valentine, The Jesus & Mary Chain, Slowdive, Beach House, Mogwai, A Place to Bury Strangers, Interpol, dsb. Pun The Jesus and Mary Chain-nya Indonesia, Negative Lovers, saya punya hubungan profesional dan personal erat dengan mereka. Nihil saya lihat di panggung mereka itu berwajah riang, melambaikan kedua tangan ke kiri ke kanan, atau melompat-lompat sok asik bak remaja 17an baru kenal punk rock.

Shoegaze = depresif, duka, masygul, melankolis, merana, muram, murung, pilu, pedih, sedih, jijik dan geli berurusan dengan PKS. Dari situ seharusnya bisa disesuaikan bagaimana presentasi di hadapan pemirsa yang sesuai khittah shoegaze.

Cukup ya? Sudah paham ya? Sorry for being such a complete bitch and a shoegaze nazi. Hihi.

Oh, ada yang tertarik memboyong Coming Up Roses ke Indonesia?

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top