Senin lalu, 16 Des, banjar Gemeh menjadi tempat terakhir, seri penutup dan pamungkas dari roadshow Drinking Responsibly.
Acara berkonsep belajar sambil bersenang-senang tersebut diawali dengan nonton bareng pertandingan sepakbola antara Arema melawan Bali United, diselingi kuis berhadiah dagangan pendukung (merchandise) dari Bali United, serta berlanjut dengan gelar wicara bertajuk Minum Bertanggungjawab yang menghadirkan Dendy Borman (Diageo), Venusia Indah (The Lawn), Putu Vindi (Polda Bali), Marlowe Bandem (STIKOM Bali). Keriaan diakhiri dengan hiburan musik oleh Made Bawa (Lolot solo) juga kolektif musisi setempat Bali Stones.
Drinking Responsibly sendiri adalah kerja bareng antara Rudolf Dethu Showbiz dengan Diageo, merupakan sebuah ajang tukar pikiran tentang pentingnya minum bertanggungjawab. Inisiatif ini muncul merespons pada fenomena minimnya pemahaman masyarakat (terutama anak muda) pada minuman beralkoholâjenisnya apa saja, seberapa banyak kandungan alkohol di masing-masing botol, reaksinya pada tubuh bagaimana, yang aman dikonsumsi itu etanol atau metanol, aturan hukum berkendara saat di bawah pengaruh alkohol bunyinya bagaimana, mengapa opsi taksi/ojol belum jadi prioritas, dsb.
Salah satu masalah yang paling gamblang muncul di permukaan dan cukup mengkhawatirkan adalah tingginya tingkat kecelakaan akibat mengemudi dalam keadaan mabuk. Bergelimpangan manusia meregang nyawa. Barangkali jika tewas sendiri, yang susah diri sendiri ya masih relatif bisa dimaklumi. Repotnya ketika orang lain yang tiada salah ikut jadi korban juga. Dan paling menyebalkan adalah ketika kaum kaya menabrak masyarakat miskin dan si miskin tewas mengenaskan. Kaum kaya, jamak di ujung cerita, melenggang bebas, lolos dari ancaman penjara.
Kisah-kisah memilukan tersebut semestinya bisa dihindari jika kita paham soal minum bertanggungjawab. Contoh paling gampang adalah regulasi di Australia, barangkali bisa dipakai pedoman sederhana. Di Benua Kangguru sana ketika kita telah menenggak 2 botol bir atau 1 tarikan spirit (whisky, vodka, teuila, dsb) adalah kadar maksimal kita masih boleh berkendara. Artinya kita masih mampu mengontrol diri mengemudi. Lebih dari itu maka siap-siap saja tertimpa celaka. Atau ketiban sial: dicegat aparat berwajib, dites breathalyzer (alat pemantau kadar alkohol), lalu didenda gila-gilaan saat ketahuan melebihi dosis yang diperbolehkan.
Dimulai pertama kali lewat uji coba di Jakarta sekitar 2 tahun lalu, hingga Desember 2019 ini Drinking Responsibly telah berlangsung enam kali. Sambutannya? Cukup baik namun, sejujurnya, masih belum optimal. Saya bisa mahfum karena ini adalah kultur baru. Orang-orang yang memilih minum alkohol sebagai rekreasi sebagian masih merasa didikte, seolah digurui oleh pegiat Drinking Responsibly. Padahal tujuannya adalah untuk kebaikan bersama, menekan terjadinya kecelakaan dan binasa sia-sia sampai titik terendah. Takutnya kan karena bejibun kecelakaan akibat drunk driving yang nanti dilarang malah beredarnya minuman beralkohol. Padahal musababnya adalah manusia yang paceklik pemahaman pada konsep minum bertanggungjawab.
Mari buka pikiran dan bertanggungjawab pada publik. Mulai bijak berkendara. Langkah awal saja dulu: hindari mabuk mengemudi.