DRINKING RESPONSIBLY FINAL ROADSHOW

Ajang belajar sambil bersenang-senang tentang Minum Bertanggungjawab, edutainment Drinking Responsibly edisi 2019 resmi berakhir pada Senin, 21 Des 2019 lalu.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Senin lalu, 16 Des, banjar Gemeh menjadi tempat terakhir, seri penutup dan pamungkas dari roadshow Drinking Responsibly.

Acara berkonsep belajar sambil bersenang-senang tersebut diawali dengan nonton bareng pertandingan sepakbola antara Arema melawan Bali United, diselingi kuis berhadiah dagangan pendukung (merchandise) dari Bali United, serta berlanjut dengan gelar wicara bertajuk Minum Bertanggungjawab yang menghadirkan Dendy Borman (Diageo), Venusia Indah (The Lawn), Putu Vindi (Polda Bali), Marlowe Bandem (STIKOM Bali). Keriaan diakhiri dengan hiburan musik oleh Made Bawa (Lolot solo) juga kolektif musisi setempat Bali Stones.

Drinking Responsibly sendiri adalah kerja bareng antara Rudolf Dethu Showbiz dengan Diageo, merupakan sebuah ajang tukar pikiran tentang pentingnya minum bertanggungjawab. Inisiatif ini muncul merespons pada fenomena minimnya pemahaman masyarakat (terutama anak muda) pada minuman beralkohol—jenisnya apa saja, seberapa banyak kandungan alkohol di masing-masing botol, reaksinya pada tubuh bagaimana, yang aman dikonsumsi itu etanol atau metanol, aturan hukum berkendara saat di bawah pengaruh alkohol bunyinya bagaimana, mengapa opsi taksi/ojol belum jadi prioritas, dsb.

Salah satu masalah yang paling gamblang muncul di permukaan dan cukup mengkhawatirkan adalah tingginya tingkat kecelakaan akibat mengemudi dalam keadaan mabuk. Bergelimpangan manusia meregang nyawa. Barangkali jika tewas sendiri, yang susah diri sendiri ya masih relatif bisa dimaklumi. Repotnya ketika orang lain yang tiada salah ikut jadi korban juga. Dan paling menyebalkan adalah ketika kaum kaya menabrak masyarakat miskin dan si miskin tewas mengenaskan. Kaum kaya, jamak di ujung cerita, melenggang bebas, lolos dari ancaman penjara.

Kisah-kisah memilukan tersebut semestinya bisa dihindari jika kita paham soal minum bertanggungjawab. Contoh paling gampang adalah regulasi di Australia, barangkali bisa dipakai pedoman sederhana. Di Benua Kangguru sana ketika kita telah menenggak 2 botol bir atau 1 tarikan spirit (whisky, vodka, teuila, dsb) adalah kadar maksimal kita masih boleh berkendara. Artinya kita masih mampu mengontrol diri mengemudi. Lebih dari itu maka siap-siap saja tertimpa celaka. Atau ketiban sial: dicegat aparat berwajib, dites breathalyzer (alat pemantau kadar alkohol), lalu didenda gila-gilaan saat ketahuan melebihi dosis yang diperbolehkan.

Dimulai pertama kali lewat uji coba di Jakarta sekitar 2 tahun lalu, hingga Desember 2019 ini Drinking Responsibly telah berlangsung enam kali. Sambutannya? Cukup baik namun, sejujurnya, masih belum optimal. Saya bisa mahfum karena ini adalah kultur baru. Orang-orang yang memilih minum alkohol sebagai rekreasi sebagian masih merasa didikte, seolah digurui oleh pegiat Drinking Responsibly. Padahal tujuannya adalah untuk kebaikan bersama, menekan terjadinya kecelakaan dan binasa sia-sia sampai titik terendah. Takutnya kan karena bejibun kecelakaan akibat drunk driving yang nanti dilarang malah beredarnya minuman beralkohol. Padahal musababnya adalah manusia yang paceklik pemahaman pada konsep minum bertanggungjawab.

Mari buka pikiran dan bertanggungjawab pada publik. Mulai bijak berkendara. Langkah awal saja dulu: hindari mabuk mengemudi.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

TBFU SG - Blog cover
The 2nd edition of TBFU, SUICIDE GLAM, depicts the narrative of a clothing line that has shook up not only the fashion scene, but also pop culture in general.
Scroll to Top