search

Fable: Been Caught Recording

Pertama kali muncul pada 1994 kala dimana musik alternatif mulai merebak di Nusantara, Fable mengawali kiprahnya di beragam panggung di Jakarta, mulai dari ajang alternatif, brit pop, hardcore, pensi sampai kafe.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

↓ For English version please scroll down

Pertama kali muncul pada 1994 kala dimana musik alternatif mulai merebak di Nusantara, Fable mengawali kiprahnya di beragam panggung di Jakarta, mulai dari ajang alternatif, brit pop, hardcore, pensi sampai kafe. Sempat populer dengan julukan “Jane’s Addicition-nya Indonesia”, skala atensi publik makin melimpah ketika demo lagunya yang bertajuk “Bintang” gencar diputar di radio Prambors (Jakarta) dan Ardan (Bandung). Namun gebrakan Adi Cumi (biduan), Temy (bas) dan Anton Not (gitar), baru terasa signifikan, makin masif menyedot perhatian anak muda, ketika pada 1998 salah satu tembangnya masuk dalam Indie Ten, sebuah seri album kompilasi terbitan Sony Music Indonesia yang menampilkan artis-artis independen nan potensial. Sejak itu Fable berturut-turut merilis album mini secara swadaya 1/2 di 2001, kemudian Setengah (Spills Records, 2003), berpartisipasi dalam album keroyokan bikinan mahasiswa IKJ Kampus 24 Jam Non-Stop Hits di 2005, tergabung di kompilasi penghormatan Mesin Waktu: Teman-Teman Menyanyikan Lagu Naif (Aksara Records, 2007), serta dimasukkan oleh majalah Rolling Stone Indonesia dalam jajaran grup yang lagunya pantas diberi perhatian, Rare n’ Raw (2011).

Setelah sedemikian lama, penuh peluh, silang argumen, kendala kesibukan para personel (Adi sebagai freelance illustrator, Temy dan Anton bekerja di radio), semangat itu ternyata tak pernah padam: pada 2012 Fable akhirnya berhasil melahirkan album penuh bertitel senada dengan nama kelompoknya, Fable. 10 lagu bernuansa alternative rock yang menghiasi album paling gres mereka ini tak seluruhnya baru. Sebagian adalah materi yang kerap dibawakan di panggung, sejak era Poster Cafe hingga masa sekarang. Terdapat juga sebuah tembang yang menghadirkan salah satu nama besar di skena musik Jakarta, Robin Noxa (almarhum), yang bermain bas di “Ta’ Ada yang Gelap”. Selebihnya bisa anda simak sendiri dengan membeli albumnya langsung pula mengikuti perkembangan terbaru mereka menit demi menit dengan menjadi pengikut @fableofficial di Twitter.

English version

Fable, the Jakarta old cracks from the 90’s alternative era—and once tagged as the “Jane’s Addiction of Indonesia”—apparently are not dead yet. Just a few weeks ago they released their first full-length eponymous album.

Formed in 1994, the trio, Adi Cumi (vocal), Temy (bass) and Anton Not (guitar) first created quite a big buzz with “Bintang” on Prambors radio (Jakarta) and Ardan (Bandung), and then was included in Sony Music Indonesia’s compilation Indie Ten in 1998. After that they went under the radar. They only released mini albums and a few singles. Due to the busy schedule of each of the member (Adi works as a freelance illustrator, Temy and Anton both work in a radio), it took them more than a decade to finally press their “proper” records.

Consisting of 10 alternative rock-fueled songs, some of them are actually the compositions that they often played during their shows from the early days till today. They also have one of the legends of Jakarta music scene, Robin Noxa (R.I.P.), contributing in one song, “Ta’ Ada yang Gelap”.

Go check out the album and keep yourself updated by following them @fableofficial on Twitter.

________________________

*This article was firstly published on The Beat (Jakarta) #60, March 19 – April 01, 2012

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top