Heavy Metal Umlaut

Umlaut adalah sebuah diakritik yang terdiri dari sepasang titik atau garis-garis yang ditempatkan pada sebuah huruf---biasanya huruf hidup. Diakritik? Huh? Ia berupa tanda kecil yang ditempatkan pada sebuah huruf untuk membedakan pengucapan dari huruf sejenis. Umlaut---yang berasal dari Bahasa Jerman---secara bebas bisa diterjemahkan sebagai "perubahan pengucapan", pula "pergantian bunyi". Huruf a, misalnya, dilafalkan sedikit berbeda dengan ä, o tak sama dengan ö, bunyi ü lebih lemah dibanding u. Demikian seterusnya.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Ayo kita berkelana ke ranah bahasa. Hore.

Umlaut adalah sebuah diakritik yang terdiri dari sepasang titik atau garis-garis yang ditempatkan pada sebuah huruf—biasanya huruf hidup.

Diakritik?
Huh?
Ia berupa tanda kecil yang ditempatkan pada sebuah huruf untuk membedakan pengucapan dari huruf sejenis. Umlaut—yang berasal dari Bahasa Jerman—secara bebas bisa diterjemahkan sebagai “perubahan pengucapan”, pula “pergantian bunyi”. Huruf a, misalnya, dilafalkan sedikit berbeda dengan ä, o tak sama dengan ö, bunyi ü lebih lemah dibanding u. Demikian seterusnya.

Dalam jazirah Rock, terdapat beberapa kelompok terhormat yang menyisipkan Umlaut pada namanya. Simak yang berikut:




Lemmy menegaskan bahwa adanya Umlaut di nama kelompoknya, Motöhead, tak merubah pengucapannya menjadi “Motuuuurhead”. Kata dia, Umlaut tersebut diharapkan mampu memberikan efek gahar,

“I only put it there to look mean”

Sementara majalah Spin menjuluki Umlaut sebagai,

“the diacritical mark of the beast”

Memang, di kalangan musik cadas, penyisipan Umlaut—dalam perkembangannya kemudian disebut Heavy Metal Umlaut—baik ke dalam nama grup atau tajuk lagu/album semata untuk meraih kesan kuat dan beringas bak orang-orang Viking. Sebagian menghubungkannya dengan sensasi horor gothik. Artinya Umlaut di sini sama sekali nihil korelasi dengan teori linguistik pada umumnya.

Berdasarkan sejarah, gejala Heavy Metal Umlaut kabarnya telah muncul sejak tahun 1969. Kontingen progressive rock asal Jerman mengusung nama berbau demikian yaitu: Amon Düül II. Namun tampaknya penggunaan Umlaut pada titel band bukanlah demi impresi Viking-esque. Sebab antara Amon dan Düül sebenarnya merupakan penggabungan 2 karakter dari mitos jaman dulu. Sama sekali bukan bermaksud mengkatrol imej liar dan berangasan. Yang terlacak dengan sengaja menyelipkan Umlaut agar terkesan sangar tiada lain kontingen Blue Öyster Cult pada 1970. Juga, di warsa yang sama, Black Sabbath saat merilis single rare version Paranoîd (perhatikan huruf “î”-nya di sampul albumnya).

Berlanjut dengan Hawkwind pada 1971. Dimana pada sampul belakang album In Search of Space tertera tulisan,

TECHNICIÄNS ÖF SPÅCE SHIP EÅRTH THIS IS YÖÜR CÄPTÅIN SPEÄKING YÖÜR ØÅPTÅIN IS DEÄD

Bisa jadi karena kental terinspirasi, Lemmy, yang sempat berkarir di Hawkwind, melanjutkan warisan pemikiran Viking-esque tersebut lalu mendirikan “the ugliest band in the universe/the worst best group in the world/beer drinkers and hellraisers”: Motörhead.

Serem kan?

Konsep sedemikian rupa kemudian terus bergulir dan lahirlah kelompok seperti Hüsker Dü, Mötley Crüe, Queensrÿche, hingga film cult nyeleneh—yang juga band parodi—Spin̈al Tap (di sini Queensryche serta Spinal Tap tak terbaca oleh komputer, tapi coba perhatikan foto di bawah), mereka sudah amat memporakporandakan formula kebahasaan dengan memposisikan Umlaut pada konsonan (pada huruf y dan n).

RÜDÖLF DÊTHÜ FROM GRØÙÑD CÓNTRÒL TO MÅJÔR TØM: ÅRE YÖÜ RÆDY TO RÔÇK?!

____________________________

*Baca juga beberapa komentar tentang tulisan lama saya ini di Musikator

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top