search

JALANAN

Rupanya antara saya dan film JALANAN terbangun hubungan progresif.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
JALANANforRD


Rupanya antara saya dan film JALANAN terbangun hubungan progresif. Tadinya saya adalah sebatas penggemar berat film dokumenter karya Daniel Ziv ini. Pertama kali, pada 2011, saya mengundang Daniel tampil menjadi salah satu pembicara di salah satu program di Bali Creative Festival di mana saya merupakan salah satu penggagas acara. Saat itu ia sedang di tahap akhir mengedit JALANAN dan membagi pengetahuannya ke audiens yang antusias memenuhi ruang diskusi. Berikutnya, pada Oktober 2013, saya berkesempatan menonton film yang diuliknya selama bertahun-tahun tersebut di Ubud Writers & Readers Festival. Saya jatuh cinta setelah menontonnya—dan ternyata bukan cuma saya yang kasmaran, seribuan penonton di Ubud Writers tampaknya terjerat asmara senada. Kami serempak tertawa, sesenggukan, berseru hore, bersungut protes, tersenyum ngikik, meneteskan air mata, tertawa lagi, bolak-balik terseret fluktuasi emosi. Tak aneh ketika akhirnya ketika sang sutradara asal Kanada menyelenggarakan pengumpulan dana sukarela oleh publik (crowdfunding) agar filmnya bisa dibawa dan diadu di festival-festival film bergengsi di luar negeri, ia sanggup melewati target dana yang dikejarnya. Saya lupa nilainya berapa, yang jelas dana yang didapat melimpah, melampaui sasaran. Oh ya, mohon dicamkan, saya juga ikut menyumbang. Hehe.

Beberapa bulan setelah menonton JALANAN saya masih tergejala eforianya. Ke nyaris setiap orang yang saya pikir bisa menghargai sinema, saya berbusa-busa mempromosikannya. Satu hal yang saya tegaskan ke sejawat saya bahwa film ini patut diacungi jempol dan juga jujur. No bullshit. What you see is what you get. Segala drama, humor, keriaan, nestapa, yang terpampang di layar adalah nyata adanya. Bukan “berdasarkan kisah nyata”. Tapi nyata senyata-nyatanya. Sosok di layar itu ya mereka memerankan dirinya sendiri. Jangan lupa, film ini adalah sejatinya dokumenter. Namun karena dikerjakan dengan teliti dan penuh kesabaran (menghabiskan nyaris 5 tahun untuk pengambilan gambar saja), rupa-rupa problematika keseharian terbingkai dengan baik. Keterikatan antara penonton dengan film yang ditonton berujung menjadi saling mengikat sebab roman yang terhampar di depan mata adalah bukan rekayasa, non-fiksi. Oleh karenanya audiens menjadi begitu menghayati kisah film, begitu merasuk ke jiwa dan raga mereka.

Nah, kenapa di permulaan saya istilahkan hubungan saya dengan JALANAN sebagai sebuah progresi, di awal Maret kemarin, saya ditawari oleh manajer tim JALANAN, Lakota Moira, untuk turut bergabung dengan menjadi publicist. Bayangkan, dari tadinya sekadar mengundang sutradara film JALANAN mempertontonkan sebagian kecil hasil mentah filmnya (dan terpesona), lalu menyaksikan hasil final JALANAN (dan kian terpesona), eh, terakhir malah diajak bergabung di tim JALANAN (dan duh-gusti amat terpesona dengan sambutan mereka yang begitu hangat).

Salah satu tugas saya sebagai publicist JALANAN adalah menulis rilis persnya. Seperti di bawah ini.

JALANAN-bannerRD

JALANAN
Sebuah film tentang Indonesia, musik jalanan, asmara, penjara, politik, seks, korupsi, hamparan sawah, globalisasi dan patah hati!

Jika dirangkum dalam sepucuk kalimat ringkas-padat, JALANAN adalah sebuah film dokumenter yang menggunakan musik sebagai penghantar cerita, diangkat dari kisah nyata, dengan cengkok hiburan yang kuat serta alur cerita yang memikat—dipenuhi drama juga humor cerdas, kocak, terkadang nyerempet jorok—sehingga nyaris tak terasa bahwa ini adalah film dokumenter biasa (yang umumnya berat dan cenderung membosankan).

Tayang pertama kali pada Oktober 2013 di festival film terbesar di Asia, Busan International Film Festival di Korea, dan memenangkan ‘Best Documentary’, film ini bertitik pusat pada lika-liku hidup tiga pengamen jalanan Jakarta, Boni, Ho dan Titi. Rasa kesepian, duka kematian, dorongan seksual, meriah perkawinan, kisruh perceraian, nelangsa masuk bui, gemuruh reformasi, gempuran globalisasi; serbaneka pahit-manis-asin-getir-garing keseharian mereka diungkap polos layaknya potret kaum tersisih, fenomena amat khas bernama Indonesia, disuguhkan gamblang telanjang.

Dengan topik yang sedemikian relevan dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat—membedakannya dengan kredo dokumenter yang kerap terkesan terlalu eksklusif—JALANAN akhirnya diberi kehormatan untuk diputar di bioskop-bioskop umum/komersial. Mulai 10 April 2014 JALANAN tayang serentak di cineplex 21 Jakarta, tepatnya XXI Plasa Senayan dan Blok M Square, serta Blitz Megaplex Grand Indonesia. Sementara itu dalam skala internasional, JALANAN sedang dikompetisikan di festival-festival film kelas wahid di Asia, Eropa, Amerika serta Timur Tengah. Film dokumenter bisa masuk bioskop umum? Barangkali JALANAN bukan yang paling pertama, namun pantas ditaburi gempita konfeti karena jarang sekali dalam sejarah persinemaan Nusantara sebuah karya dokumenter mampu menembus layar komersial.

Patut pula dicatat dari JALANAN bagaimana kaum terpinggirkan macam Boni, Ho dan Titi, disuguhi ruang nyaman menjadi dirinya sendiri sekaligus menjadikannya suri tauladan bagi kaum yang lebih beruntung; seberapa patut ditiru trio pengamen itu di sikap pantang menyerahnya terhadap kejamnya ibukota, tiga pengelana yang merangkul ketidakberuntungan dengan tawakal lalu bijak menggandengnya sebagai karib sehari-hari.

Selain itu proses pengambilan gambar JALANAN oleh sang sutradara, Daniel Ziv, menghabiskan waktu hampir 5 tahun (!) lamanya. Bujangan cukup ganteng asal Kanada ini bersikeras terjun ke gorong-gorong bawah jembatan, berlama-lama menongkrongi para tokoh utama, menyusup hingga ke pedesaan Jawa, tanah asal mereka; semata agar dapat menangkap rupa-rupa momen penting (dan gak penting) di kehidupan Boni, Ho dan Titi. Demi menghindari rekayasa peristiwa sebagaimana sering tercuat dari reality show. Agar nihil akrobat wajah dangkal dan gestur duh-gusti lebay khas sinetron.

Cengkok hiburan yang kuat serta alur cerita yang memikat, seperti disebut di awal, terpancar dari padu padan keunikan masing-masing karakter di film, disertai soundtrack musik nan asyik lagi orisinil baik karya Boni, Ho dan Titi pribadi dan disenandungkan sendiri, juga oleh musisi-musisi muda berbakat Indonesia yang sengaja dihadirkan lagu-lagunya di film ini sebagai penguat penyampaian pesan. Dengan iringan musik menarik di hampir sepanjang film digambarkanlah seberapa ogah mereka tunduk pada kenestapaan, senantiasa pasrah sekaligus gigih bercampur lentur menyiasati kezoliman nasib. Gaya nrimo namun di saat yang sama menolak menyerah itu rupanya jitu menghipnotis penonton untuk justru tidak mengasihani mereka tapi malah bersimpati menyemangati—dan bisa jadi tanpa disadari turut termotivasi.

Keterikatan juga penghormatan kepada Boni, Ho dan Titi, oleh audiens, seperti disebut di atas, terekam jelas saat JALANAN diputar di acara Ubud Writers and Readers Festival, salah satu writers festival terbaik di dunia, selang beberapa hari setelah Busan. Di detik film berakhir, tanpa ada yang mengomando, sekitar seribuan penonton serempak memberi standing ovation lalu bertepuk tangan amat lama dan sangat panjang (“Boni, Ho dan Titi, …Kami cinta kamu!!!”). Histeria sedemikian rupa seolah mengamini bahwa sosok-sosok termarjinalkan tersebut memang pantas untuk disorot cahaya kamera yang lebih terang dan layak kisah hidupnya diangkat ke layar lebar plus disuguhi produksi film begitu wah bak film kolosal.

Boni yang walau tak bisa membaca dan menulis adalah figur pejuang jujur sekaligus artistik. Ho memang masih kalah secara ekonomi namun sudah menang secara pengalaman dan intelektual dalam menyiasati ibukota. Titi, bukan cuma senyum lugunya membikin pingsan, ia merupakan wanita Indonesia pemberani: bisa dihitung dengan jari jumlah perempuan yang nekat menjadi pengamen. Boni, Ho dan Titi, lewat JALANAN, lewat kisah nyata hidup mereka yang menawan dan pekat merepresentasikan Indonesia, adalah tiga bintang film baru Nusantara.

Nah, seberapa layak JALANAN untuk ditonton? Biar fakta yang berbicara: di festival film terbesar di Asia sudah menang film dokumentari terbaik, di salah satu writers festival paling adiluhung sejagat telah menghipnotis ribuan penonton. Belum lagi di 15 test screening dan 3 pre-screening beberapa bulan silam, di penghujung film banyak penonton bersungut antara heran dan kagum, “Ini kisah nyata apa film drama sih?”

Silakan saksikan trailer-nya:

Info lebih lanjut: www.jalananmovie.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top