KOIL ~ Blacklight Shines On

Ulasan tentang KOIL ~ Blacklight Shines On ini saya telah tayangkan pertama kali sekitar 3 tahun silam. Barangkali tulisan yang membahas album yang menjadi bonus di majalah Rolling Stone edisi November 2007 ini sudah termasuk usang di masa sekarang. Namun tetap saya tampilkan di situs pribadi saya ini demi mendokumentasikan artikel-artikel yang pernah saya bikin agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Ulasan tentang KOIL ~ Blacklight Shines On ini saya telah tayangkan pertama kali sekitar 3 tahun silam. Barangkali tulisan yang membahas album yang menjadi bonus di majalah Rolling Stone edisi November 2007 ini sudah termasuk usang di masa sekarang. Namun tetap saya tampilkan di situs pribadi saya ini demi mendokumentasikan artikel-artikel yang pernah saya bikin agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.

Kata “gratisan” bagi saya adalah laknat dan tidak glam. Sebuah ujaran duhai ofensif bagi The Beautiful People. Jadi lebih baik kita hindari membahas hal tersebut—walau sejujurnya harus diakui bahwa agresivitas membagikan album secara cuma-cuma adalah ultra radikal untuk skena musik Nusantara. Sensasi jitu, bikin publik haru-biru kelojotan kaget. Tapi, hey, jangan buru-buru memberondongkan puja-puji wangi seraya menyebut manuver KOIL cerdas lah, tepatguna lah, Hermawan Kartajaya-esque lah. Karena—ok, be my guest, let’s bitch about this, sucka—kalau dibilang gratis juga tidak sepenuhnya benar: Anda kudu rela menyisihkan beberapa lembar sepuluh ribuan, harus membeli majalah Rolling Stone dulu, sebelum bisa memiliki album ini.

Tepat guna? Ah, Anda tahu kan lapisan masyarakat mana yang akrab dengan Rolling Stone? Jelas, kalangan bukan “rawan pangan” yang tidak terlalu terpengaruh dengan tetek bengek pra-sejahtera bertitel “gratisan”. Plus mereka jugalah tipe orang yang sejak dulu/dari sononya/selalu bertangan terbuka menyodorkan sokongan kolosal terhadap KOIL pada khususnya, serta musik Indonesia “rasa baru” pada umumnya.

Pun ketika lagu-lagunya dipersilakan untuk riang ria bebas-bea diunduh di jagat maya. Well, kalangan tajir Jack Daniels-friendly rata-rata terfasilitasi dengan kualitas koneksi internet faster-than-thou. Mentransfer Depeche Mode-cum-Industrial Semoga Kau Sembuh part 2 sepanjang 7:39 ke i-Pod cuma butuh kurang dari 5 menit.
Bagaimana dengan fakir miskin dan anak-anak terlantar? Yang pertama si ekonomi morat-marit akan terhambat oleh pengumuman yang jamak terpampang di tembok warnet: “Mohon Tidak Melakukan Aktivitas Download Pada Jam-Jam Sibuk”. Artinya obsesi menghiasi perangkat MP3 murahan miliknya dengan tembang so-White Zombie-it-hurts, Kenyataan Dalam Dunia Fantasi, musti menunggu lewat tengah malam, saat bukan hari sekolah, dengan kecepatan (kelambatan?) yang duh gusti sungguh dusta pada asas “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Belum lagi kendala dana yang cekak. Pake acara ngimpi ngoleksi seisi The Blacklight Shines On… Mat Solar, ente butuh satu kwartal dus rahmat Tuhan Yang Maha Esa!

Memang, strategi bonus “buy 1 get 1” (not at all “gratisan”, jerk) ini tidak berarti “menggarami air laut”, bukan sebuah langkah percuma. Tentu tetap efektif akibat penetrasi masif ke segala strata serta penyebaran yang begitu menggurita. Tapi—paling tidak di kacamata saya—tidaklah seefektif, selancar-jaya yang banyak orang prediksikan. Sebab perkara krusial di sini bukan gratisan. Yang maha penting di sini adalah KOIL. Baik eksistensinya maupun karya seninya. Yang lain cuma gimmick tidak (begitu) penting. Benar, daya gegarnya adalah K.O.I.L., entitas itu sendiri.

Mungkin iya, KOIL bukanlah pencetus gaya busana Gothic sedemikian rupa. Tapi konsistensinya serta taste-nya memang adiluhung. Banyak band lokal mencontek arah dandan Koil (dan, horeee…, seluruhnya gagal). Bahkan yang menggelikan, seolah beredar anggapan, untuk mendongkrak citra Rock/Metal/Gahar terhadap sebuah band, itu para fashion stylist nan metroseksual bak berlomba mendandani band tsb agar mirip KOIL. Rock = (dandanan a la) KOIL. Weird. Tidak percaya? Buka lebar mata Anda lalu lihat sekitar. Atau, paling gampang, perhatikan band pelajar peserta festival Rock: KOIL Bangeettss banyak bangeettss.

Pula didukung oleh attitude personel KOIL yang tersimak nihilistik, muram, ditunjang dengan lirik cerdas-lugas-sinis. Fuck-you attitude at its best.

Jika bicara musik, penetapan pilihan pada Industrial secara jiwa dan raga (walk like it, talk like it, smell like it) juga sangat tepat. Tercatat sangat sedikit band yang bergelut di jalur ini. Niscaya KOIL bisa lebih bebas melenggang menuju bintang. Makin fenomenal ketika eksekusi KOIL pada Industrial diselesaikan dengan baik-benar-bijak bestari (smoke like it, drink like it, fuck like it).

Not to mention the hard-working KOIL Killer management, the super effective Department of Public Relation. Keberadaan institusi ini punya peran signifikan terutama dengan kelincahannya menjalin hubungan vertikal & horizontal.

Nah, bagi saya, kombinasi sadar busana + attitude + totalitas x departemen humas yang kuat, sinergi tersebut sudah cukup untuk mengukuhkan eksistensi KOIL agar menjulang. Sudah cukup buat saya untuk memberikan respek gigantik kepada KOIL. I kid you not, sampai reinkarnasi ke berikutnya pun saya pikir saya tidak akan pernah bisa fair dalam menilai KOIL. Persis seperti penghormatan yang saya berikan kepada Leonard Cohen & Lloyd Cole. Leonard & Lloyd can do no wrong.

KOIL, as well, are always right. Persetan gratisan.

*Foto KOIL adalah milik Budi dan dipinjam dari sini

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top