search

MANJA: GAMES WE PLAY

Seolah ogah kehilangan momentum, Manja kembali menyentak lewat komposisi “Games We Play” Setelah sebelumnya meluncurkan single pertama “Rise” belum lama ini dan disambut amat baik oleh publik.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Setelah peluncuran single pertama “Rise” belum lama ini dan disambut amat baik oleh publik, seolah ogah kehilangan momentum, Manja kembali menyentak lewat komposisi gres lanjutan: “Games We Play”.

Masih setia dengan gaya art pop/indie rock khas mereka, “Games We Play” bersenandung tentang hal-hal menyenangkan yang enggan kita lepas dari lubuk hati paling dalam, soal rentetan memori manis yang rapi kita simpan di ingatan. Mark, Nick, dan James di tembang ini hendak menyorot seberapa penting makna nostalgia dalam kehidupan, bagaimana kenangan di masa silam—semisal saat bermain bersama sobat dan kerabat—kita peluk erat karena perasaan tersebut sangatlah kita kenal yang kemudian menumbuhkan rasa nyaman. Situasi hati nan positif macam ini secara tidak langsung bakal membantu kita menjaga kewarasan—sebuah kondisi yang signifikan dibutuhkan di masa pagebluk seperti sekarang.

Sudah begitu, terbitnya single perdana dan kedua yang susul menyusul, dalam waktu berdekatan, memang disengaja. Tiga sekawan Pulau Dewata ini mau menunjukkan bahwa di masa super sulit dan serba kekurangan sekali pun Manja konsisten melahirkan karya. Band yang berdiri pada pertengahan-akhir 2017 ini ingin menghembuskan nafas optimisme, bahwa salah satu peran penting musisi adalah menumbuhkan asa, memupuk dan merawat harapan.

“Games We Play” sendiri sejatinya bukanlah lagu yang sama sekali baru. Sudah tercipta sejak 2018 serta kerap didendangkan saat Manja tampil di konser-konser. Hanya saja, versi yang digelontorkan ke khalayak sekarang agak berbeda dengan yang biasa dipertunjukkan sebelumnya.Tempo sedikit melambat, musik lebih kompleks, dan terkesan lebih matang, sophisticated.

Games we play, nostalgia please stay.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top