search

Mano Cornuta

Di skena musik Nusantara, bentukan jari-jari macem begitu lebih dikenal dengan istilah "Salam Metal" (komplet diiringi dengan gaya nyengir seraya menggeram: "Aaaargh...!!!"). Nah, bahasa ilmiahnya adalah "Mano Cornuta" yang lalu di-Bahasa Inggriskan menjadi "The Devil Horns".
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Mano Cornuta?

Huh, sahibul hikayat apalagi ini? Tenang, brothermen. Coba, anda familiar tidak dengan gestur tangan seperti di foto ini?

Di skena musik Nusantara, bentukan jari-jari macem begitu lebih dikenal dengan istilah “Salam Metal” (komplet diiringi dengan gaya nyengir seraya menggeram: “Aaaargh…!!!”). Nah, bahasa ilmiahnya adalah “Mano Cornuta” yang lalu di-Bahasa Inggriskan menjadi “The Devil Horns”.

Jika dikilas balik, kebiasaan membentuk jari tangan seperti itu bahkan telah dimulai sejak jaman Yunani Kuno dimana di wilayah Mediterania memunculkan telunjuk dan kelingking disertai melipat 2 jari tengah dan menimpanya dengan ibu jari adalah simbol kutukan atau hal-hal vulgar lainnya.

Simbol ini mulai dirangkul oleh kalangan musisi konon sudah dimulai sejak era The Beatles. Terutama pada karikatur John Lennon di sampul orisinil piringan hitam Yellow Submarine. Blackie Lawless (W.A.S.P.), Gene Simmons (Kiss), Frank Zappa, juga pernah terdeteksi ber-Mano Cornuta. Namun eksistensinya menjadi penting, branding-nya jadi amat kuat saat Ronnie James Dio kerap mengusung simbol tersebut ke publik. Pria buruk rupa bernama asli Ronald James Padavona yang merupakan biduan di kelompoknya sendiri, Dio, serta sempat menjadi garda depan di Rainbow pula Black Sabbath, intens menggegarkan paham bahwa bentukan jari tangan khas tersebut adalah pekat setan, satanik, the devil horns. Duh, keruan saja publik muda penggemar musik cadas langsung beramai-ramai menyembah “berhala” baru ini. Hail Satan!


Ronnie James Dio

Mano Cornuta belakangan menjadi identik dengan musik Metal itu sendiri. Sama pentingnya dengan identitas Metal macam angka keramat “666” serta lagak “headbanging”. Malah di era terkini dalam aktivitas bersurat elektronik serta SMS pun simbol ini diadopsi menjadi “m/”.

Bagaimana dengan yang ini?

Well, gambar di atas jelas tidak ada hubungannya dengan Dio dan segala memedi di musik cadas. Gestur tangan yang sungguh mirip itu lazim digunakan oleh mahasiwa The University of Texas at Austin yang menyuarakan slogan “Hook ’em”. Oleh mereka salam khas itu divisualisasikan lewat simbol tangan yang dinamai “Hook ‘Em Horns”. Namun popularitas Hook ‘Em Horns tampaknya terjembab gara-gara disaingi The Devil Horns.

“Put your horns up in the air
And wave like you just don’t care…”

____________________

*Artikel ini telah sedikit direvisi, sebelumnya—versi aslinya—pernah dimuat di Musikator pada 27 Desember 2008

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top