Prison Of Blues & Masa Depan Psychobilly Di Negeri Ini

Kedigdayaan Temanggung Danse Macabre di festival Bedlam Breakout, Inggris; sanggupkah mendongkrak kepercayaan diri dan geliat kancah psychobilly Nusantara?
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Kedigdayaan Temanggung Danse Macabre di festival Bedlam Breakout, Inggris; sanggupkah mendongkrak kepercayaan diri dan geliat kancah psychobilly Nusantara?

Bowo girang bukan main ketika datang undangan untuk tampil di acara Bedlam Breakout. Bagaimana tidak, ini sungguh sebuah kebanggaan besar bagi sang biduan Prison of Blues. Kuartet asal Temanggung, Jawa Tengah, itu memecahkan rekor sebagai grup paling pertama di Indonesia−barangkali juga di Asia Tenggara−tampil di festival psychobilly terhormat di Inggris tersebut.

Makin menggembirakan adalah saat−18 September 2016−Prison of Blues beraksi di Northampton, kabupaten tempat diselenggarakannya Bedlam Breakout. Kota berpopulasi 200-an ribu orang tersebut menjadi saksi suksesnya Bowo dan kawan-kawan. Kelompok bentukan 2007 itu mampu membius ratusan penonton yang hadir. Sekitar 200-an audiens (kapasitas lebih kurang 300-an orang) yang datang bukan cuma dari Inggris dan negara-negara Eropa sekitarnya bahkan juga dari Amerika Serikat.

Mereka benar-benar tercengang dengan Prison of Blues. Baik oleh kostum punakawan Jawa bertanduk merah yang dikenakan, pula dengan asal muasal mereka antah berantah Indonesia nun jauh di sana. Sepertinya sulit bagi mereka membayangkan negeri yang didominasi Muslim bisa ada band psychobilly (berkualitas baik pula!). Pantas saja Prison of Blues yang walau tampil di sore hari tetap dinanti-nantikan, saking “aneh”-nya.

Prison of Blues saat tampil di festival Bedlam Breakout di Northampton, Inggris. | Foto: Erick EST.

Bedlam Breakout sendiri merupakan salah satu dari festival khusus psychobilly (mencakup gothabilly, punkabilly, trashabilly, surfabilly, horror punk) cukup besar dan terhitung konsisten. 2016 adalah penyelenggaraan yang ke-22 kalinya (diselenggarakan setahun dua kali alias telah berlangsung selama 11 tahun lamanya). Pergelaran pyschobilly paling masif dan malar adalah Psychobilly Meeting di Pineda del Mar, Spanyol. Tahun ini merupakan pertunjukan yang ke-24.

Tahun depan parade di distrik tepi pantai di provinsi Barcelona itu bakal digelar pada Juli mendatang serta akan mencapai dirgahayu perak alias ke-25 tahun! Bisa disebut juga antara lain Psychobilly Earthquake di Bremen, Jerman (September 2017 masuk tahun ke-7), dan Psychout Circus di Arnhem, Belanda (tahun ini ke-6). Sementara di Amerika Serikat terdapat Long Beach Psyclone di California (kini memasuki tahun ke-6).

Bagaimana dengan di Indonesia? Musik rockabilly dengan nafas punk yang dominan ini baru menggeliat sejak 2003. Semuanya bermula dari Bali. Saat itu saya dikenalkan oleh seorang kawan dengan S.O.S. (Soul of Speed). Empat sekawan yang tadinya giat menyanyikan ulang tembang-tembang Helloween itu memutuskan untuk ganti haluan. Dari heavy metal ke apa yang mereka tajuki sebagai “rockabilly nu skool” (lebih gampangnya, bayangkan musik dan gaya dandan Living End).

Saya merasa kurang sreg dengan nama S.O.S. Saya rasa kurang pas dengan citra rockabilly nu skool. Saya usulkan identitas baru: Suicidal Sinatra. Bayangkan Frank Sinatra yang bersuara merdu, elegan, klimis, dengan watak badass lagi punk rock. Para personel S.O.S. mengangguk setuju pada masukan saya.

Maka sejak album berikutnya di tahun berikutnya, Love Songs & Stinkin’ Cheese, nama Suicidal Sinatra resmi digunakan. Genre rockabilly nu skool mulai kian keras unsur punknya. Penampilan pun makin garang, rajahan tambah banyak menghiasi tubuh masing-masing personel. Reverend Horton Heat, Tiger Army, dan−sesekali−Mad Sin mulai dirangkul dan kerap dinyanyikan saat manggung. Musik Suicidal Sinatra mengarah agak gelap. Sampai akhirnya pada 2008 kuartet asal Denpasar ini mengukuhkan predikat sebagai pionir psychobilly di Nusantara dengan meluncurkan album mini Boogie Woogie Psychobilly.

Suicidal Sinatra

Pun di era tersebut saya bersama teman-teman lumayan rajin menyelenggarakan pertunjukan musik di Denpasar, Sanur, Kuta, dan Seminyak. Suicidal Sinatra kerap dilibatkan di acara-acara yang saya buat karena merupakan salah satu kelompok yang menonjol dengan kemampuan musikal mumpuni. Memang rangkaian konser tersebut tak mengkhusus pada psychobilly karena yang eksis baru cuma satu band psychobilly di Bali−bahkan Indonesia. Biasanya Suicidal Sinatra dipasangkan dengan The Hydrant yang memainkan rockabilly agar muncul benang merahnya.

Di daerah lain di Indonesia barangkali Prison of Blues bisa didaulat sebagai grup psychobilly kedua di Indonesia. Kolektif asal Temanggung yang mulai dengan formasi tetap pada 2007 ini malah memilih lebih gelap, lebih mengarah ke Nekromantik, Mad Sin, dan sebangsanya. Lengkap dengan rambut vamp ramp serta nuansa horor yang pekat. Serbuan beberapa single Bowo & co. macam “Who Killed Your Friend”, “Jealousy”, dan “Bloody Valentine” pada 2009 menegaskan keberadaan mereka di kancah psychobilly lokal.

Band-band lain yang layak pula disebut di sini dan masih aktif adalah Kereta Susana (Bandung) dan Rebel of Law (Klaten). Gokilbillies (Jakarta) yang sempat membubarkan diri kabarnya hidup lagi. Sementara Bloody Hollow (Yogyakarta) telah menghilang tiada kabar lagi.

Di tahun baru nanti sepertinya psychobilly bakal tetap ada, masih eksis, belum mati. Harapan tertumpu terutama terhadap Prison of Blues. Januari 2017 mereka dijadwalkan merilis album penuhnya yang kedua, Graveyard Party. Di album ini Prison of Blues mengajak berduet dua nama besar di kancah psychobilly yaitu Daniel De Leon (Rezurex – Amerika Serikat) serta Titch (Klingonz – Ingrris). Menurut informasi, ada kemungkinan kontingen Temanggung Danse Macabre ini bakal berangkat ke Eropa lagi pada Juli mendatang. Ke mana? Barcelona, menjajal wrecking pit bersama ghoul greasers lainnya!

_____________

Psychobilly secara cepat-tepat bisa didefinisikan sebagai rockabilly dengan bumbu punk rock yang kental. Sebagian memilih hanya mempercepat serta lebih pekak nadanya saja seraya mempertahankan lirik-lirik khas rockabilly. Yang memilih gaya ini misalnya Reverend Horton Heat. Atau Supersuckers dan Nashville Pussy. Namun sebagian orang bilang bahwa Supersuckers dan Nashville lebih pas dijuluki memainkan punkabilly−punk rock dengan sedikit percikan rockabilly di sana-sini. Di Indonesia Suicidal Sinatra bisa dimasukkan di kelompok ini.

Sebagian lagi menyeretnya ke nuansa lebih gelap, berbau horor. Contoh pengusungnya di antaranya Tiger Army, Nekromantix, dan Mad Sin. Dua yang disebut belakangan malah lebih suram/goth dari Tiger Army. Bumbu horornya lebih menusuk sehingga kerap juga dipredikati sebagai grup gothabilly. Dalam konteks lokal Prison of Blues boleh dijajarkan di lingkup ini.

About.com menyebut The Meteors dari London, Inggris, sebagai pionir psychobilly sejagat: the first true psychobilly band. Campursari antara horor, punk, dan rockabilly, kombinasi ketiganya itu mereka gamblang sebut sebagai psychobilly. Kolektif asal California, Amerika Serikat, yang sedikit banyak telah lebih dulu mengusung gaya serupa, The Cramps, sering dicap sebagai band psychobilly. Namun mereka menolak dikategorikan sebagai psychobilly. Walau demikian, tak bisa dipungkiri bahwa The Cramps-lah yang menciptakan prototipe psychobilly.

• Artikel ini pertama kali tayang di Rolling Stone online.
• Foto slide dari Prison of Blues adalah milik Erick EST.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top