SlumMonkey Millionaire

Kecintaan besar pada grup musik macam Weezer, Nirvana, serta kontingen Alternative Rock 90anlah yang menyatukan mereka bertiga lalu bersepakat membentuk Lucca. Bosan membawakan tembang-tembang milik artis lain, pada Januari 2004, trio asal Jakarta ini memproklamirkan nama baru: Monkey to Millionaire. Perubahan identitas ini sekaligus juga sebagai tonggak peringatan bahwa Wisnu Brahmana (gitar, vokal), Agan Sudrajat (bas, vokal latar), Emir Karshadi (drum), lebih memilih mengusung lagu-lagu sendiri.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Kecintaan besar pada grup musik macam Weezer, Nirvana, serta kontingen Alternative Rock 90anlah yang menyatukan mereka bertiga lalu bersepakat membentuk Lucca. Bosan membawakan tembang-tembang milik artis lain, pada Januari 2004, trio asal Jakarta ini memproklamirkan nama baru: Monkey to Millionaire. Perubahan identitas ini sekaligus juga sebagai tonggak peringatan bahwa Wisnu Brahmana (gitar, vokal), Agan Sudrajat (bas, vokal latar), Emir Karshadi (drum), lebih memilih mengusung lagu-lagu sendiri.

Sejenak setelahnya, pada 2005 dirilislah album mini berisikan 5 lagu serta digandakan dalam kuantitas amat terbatas. Ajaib, album—well, sebenarnya lebih sah disebut sebagai demo EP—yang direkam di Sinjitos Studio ini nyatanya efektif menggegar skena sub kultur lokal, utamanya di Jakarta. Respons yang kian hari kian membaik makin meyakinkan mereka untuk memberanikan diri mengirimkan salah satu karya dari demo EP, Rules and Policy, untuk dilombakan dalam LA Lights Indie Fest pada 2007. Kejutan kembali muncul, tembang tersebut terpilih sebagai single pertama dalam kompilasi LA Lights Indiefest II.

Lalu Merah dirilis pada 2008. Lagu yang merupakan teaser dari album penuh perdana Lantai Merah dan didistribusikan secara gratis via dunia maya itu meraih sambutan nan gempita: diunduh hingga 8.000 kali dalam 3 bulan. Dan ketika Lantai Merah benar-benar dirilis pada Mei 2009, rasa penasaran publik spontan terjawab. Penantian lumayan lama yang sungguh tak percuma. Album keluaran Sinjitos Records tersebut dinobatkan sebagai salah satu album terbaik 2009. Dua tembang utamanya, Replika dan Strange is the Song in Our Conversation, menduduki peringkat bergengsi di banyak radio-radio di Nusantara di antaranya 99ers (Bandung & Jakarta), Istara (Surabaya), Cassanova (Bali), dll.

Beberapa hari silam mereka baru saja sukses menyelesaikan konser di beberapa kota besar di Jawa. Dan hari Kamis, 8 April 2010, mendatang mereka akan tampil di The Beat Rock Fest # 2, di Eastern Promise, Kemang; bersama Morfem dan Sajama Cut.

SEE ALSO
Between Us & Lala
Roman Foot Soldiers: Waterfront
Bayu Risa: Rise and Shine and Start Again

__________________

• Artikel ini pertama kali dipublikasikan di majalah The Beat Jakarta edisi April 2010

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

RUDOLF DETHU

Scroll to Top