EVOLUSI ROCKABALI: VEGAS DULU, UBUD KEMUDIAN

Dari Rockabilly, lalu Rockabali, dan berujung pada budaya baru.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Dua awak The Hydrant, Marshello dan Magda, berdandan macam Rockabali | Kresna Peker

Rockabali merupakan lakuran (portmanteau) yang bersumber dari penggabungan dua kata yaitu “rockabilly” dan “Bali”. Tadinya bermakna semata tentang skena musik rockabilly di Bali, cenderung agak teknis, namun kini telah berkembang luas.

Istilah Rockabali pertama kali terlacak tersiar ke khalayak pada tahun 2006. Saat itu majalah (almarhum) Playboy Indonesia mengulas tentang rockabilly yang sedang menggejala di Indonesia dan justru paling mewabah di Bali. Walau baru lahir pada 2004, pamor The Hydrant di masa itu sedang moncer sekali.

Genre musik yang disodorkan relatif berbeda, mengajak audiens berdandan parlente, rambut klimis tersisir rapi, irama riang mendorong orang berdansa, serta di saat yang sama memainkan musik macam rockabilly dibutuhkan kemampuan musikal mumpuni, di atas rata-rata. Majalah Playboy lalu memunculkan terminologi baru berupa lakuran Rockabali yang secara liberal bisa dimaknai skena nan khas di Bali dengan fondasi utama rockabilly.

Majalah Playboy Indonesia terbitan 2006, paling pertama melahirkan istilah Rockabali

Sejak itu Rockabali mulai erat dirangkul oleh—utamanya—pegiat dan penggiat rockabilly di Bali. Muncul kemudian Facebook page Rockabali Forum yang misinya adalah mewadahi aktivis—ya musisi ya penggemar ya pemerhati—rockabilly yang ada di Bali. Tempat ini menjadi ajang diskusi serta lalu lintas informasi gono-gini rockabilly lokal, regional, dan sesekali internasional. Beberapa personel The Hydrant, Suicidal Sinatra, Lucky Cats, Bobcat, serta beberapa lainnya aktif berinteraksi di Rockabali Forum.

Facebook page Rockabali Forum yang kini sudah tidak terlalu aktif.

Identitas Rockabali yang tadinya sekadar berkutat di isu musikal dan dinamika skenanya di Bali, maknanya mulai meluas ketika Pompadour Four alias The Hydrant diundang tampil di festival Viva Las Vegas Rockabilly Weekend di Amerika Serikat pada 2016. Marshello, Chris, Adi, dan Vincent merasa bahwa kesempatan ke Viva Las Vegas bukan semata tentang gemilangnya prestasi nge-band The Hydrant karena bisa unjuk aksi di pagelaran rockabilly berusia terpanjang sepanjang sejarah serta terbesar sejagat tapi juga bahwa The Hydrant merupakan perwakilan dari pulau Bali, negara Republik Indonesia.

Untuk itu dibutuhkan sesuatu hal yang bisa menunjukkan ke-Bali-an yang kuat. Yang paling mudah, gamblang lagi efektif adalah lewat pemilihan busana. Busana khas Bali, tentu saja. Sebelumnya, 2009 silam, The Hydrant pernah mempraktikkan hal macam begini, memakai kostum tradisional Bali kala tampil di Pohoda, festival skala masif di Slovakia dan menyuguhkan serbaneka jenis musik. Namun kali ini situasinya sedikit berbeda. Viva Las Vegas ini temanya melulu rockabilly serta telah memiliki kaidah-kaidah dandan tertentu. Artinya ide mengenakan pakaian tradisional Bali (kamen/sarung, udeng/penghias kepala, bertelanjang dada atau rompi bermotif Bali) bukanlah pilihan elok. Terlalu memaksa. Bakal dicap salah kostum. Tapi Pompadour Four tetap bersikeras hendak menunjukkan kalau mereka adalah bumiputera Bali. Syukurnya, setelah cukup lama bertukar sudut pandang akhirnya tiba juga di sebuah kesepakatan membanggakan: Rockabali Warriors.

Para personel, kecuali sang biduan, memakai atasan berupa kemeja yang ditambahkan rompi dengan ornamen di pundak, di lengan bawah, dan di sana-sini, mengadopsi kostum penari pria Bali. Bawahannya celana pantalon serta sepatu model creepers. Hanya Marshello, sang vokalis, yang agak berbeda. Ia mengenakan pakaian serba kulit: jaket yang diberi ornamen khas penari pria Bali serta celana kulit dan sepatu engineer boots. Ketika akhirnya tampil di Bienville Room, Orleans Hotel, Viva Las Vegas, sungguh melegakan, busana Rockabali Warriors memperoleh sambutan positif, banjir pujian. Memang, banyak yang awalnya mengira bahwa The Hydrant adalah grup asal Mexico pengusung genre Mariachi. Bukan masalah, justru mereka makin tercengang ketika The Hydrant bilang bahwa mereka berasal dari Bali dan kostum yang dikenakan bertajuk Rockabali Warriors. Dari kegemparan-kegemparan kecil itu saja sudah bisa ditebak, obrolan akan berujung panjang.

The Hydrant tampil di Pohoda Festival, Slovakia, 2017, memakai kostum Rockabali Warriors | Erick Est
Rockabali Warriors banyak mengadopsi kostum tari Baris, simbol ketangguhan prajurit Bali | Erick Est

Di penghujung 2020 nama Rockabali terangkat kembali ke permukaan saat musisi-musisi rockabilly/psychobilly/hillbilly garis depan di Bali berkolaborasi serta tampil bersama di satu panggung. Identitas kolektif yang dipakai: RockaBali Marauders.

Para garis depan rockabilly di Bali bergabung di kolektif RockaBali Marauders.

Yang paling mutakhir, istilah Rockabali makin melebar gara-gara ajang budaya berupa gerakan komunitas untuk mengakrabi kembali bahasa Bali kepada anak muda Milenial lokal yang digagas oleh Puri Kauhan Ubud: Mai Mabasa Bali. Para musisi yang sedang digemari—Navicula, The Hydrant, Alien Child, dan James Manja—diajak menjadi semacam duta Mai Mabasa Bali dengan menciptakan lagu-lagu berbahasa Bali.

Hebatnya, ini adalah kali pertama bagi mereka menulis lagu berbahasa Bali. Hasilnya? Menjadi menarik sebab semuanya membebaskan diri dari pakem-pakem usang yang selama ini seolah menjadi “regulasi resmi” jika hendak melantunkan tembang bahasa Bali: Navicula menggelontorkannya lewat gaya folk-grunge, The Hydrant dengan rockabilly, Alien Child memunculkan R&B, James Manja via indie rock. Sungguh baru bagi belantika musik berbahasa Bali. Hari ini Rockabali telah berevolusi menjadi rupa-rupa fenomena rock ’n’ roll di Bali, tentang skena musik anak muda di Pulau Dewata.

Fenomena Rockabali di Mai Mabasa Bali: lagu berlirik Bali dengan sentuhan rockabilly.
Alien Child mengusung Rockabali dengan sentuhan R&B.

Rockabali bukan harga mati karena rajin berevolusi!

Artikel ini pertama kali tayang di Superlive pada bulan Agustus tahun lalu. Berikut tautannya EVOLUSI ROCKABALI: VEGAS DULU, UBUD KEMUDIAN.

• Baca juga THE HYDRANT: HEPCAT, GREASER, ATAU ROCKABALI?

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top