Indonesia: Down with Maiden & Up the Irons

Artikel ini ditulis oleh sejawat logam berat, Samack, pula telah tayang di Jakartabeat.net sejak beberapa hari silam & bertajuk asli "Jejak Iron Maiden di Indonesia". Isinya membahas tentang pengaruh, rekam jejak grup legendaris ini di Nusantara plus sisipan wawancara dengan beberapa sosok yang dianggap mahfum lagi memiliki keterkaitan batin kuat dengan Steve Harris & co. Di antaranya, ya, saya. Agar lebih mudah mengidentifikasi yang mana jawaban dari wawancara terhadap saya, warnanya saya bikin khusus, beda dengan yang lain. Kebetulan juga saya ditempatkan sebagai pihak paling terakhir dalam menjawab pertanyaan, jadi gampang mengenalinya. ...So, can you play with madness?
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Artikel ini ditulis oleh sejawat logam berat, Samack, pula telah tayang di Jakartabeat.net sejak beberapa hari silam & bertajuk asli “Jejak Iron Maiden di Indonesia”. Isinya membahas tentang pengaruh, rekam jejak grup legendaris ini di Nusantara plus sisipan wawancara dengan beberapa sosok yang dianggap mahfum lagi memiliki keterkaitan batin kuat dengan Steve Harris & co. Di antaranya, ya, saya.
Agar lebih mudah mengidentifikasi yang mana jawaban dari wawancara terhadap saya, warnanya saya bikin khusus, beda dengan yang lain. Kebetulan juga saya ditempatkan sebagai pihak paling terakhir dalam menjawab pertanyaan, jadi gampang mengenalinya. …So, can you play with madness?

Pada suatu akhir pekan, di pertengahan tahun 1989, saya berjongkok di depan sebuah lapak kecil di seberang alun-alun kota Malang, Jawa Timur. Saya menatap serius pada jajaran kaset bajakan yang digelar di sana. Stoknya ada sekitar 50-70 kaset.

Hampir semuanya album barat yang bergenre rock/metal. Satu buah kaset rata-rata dijual seharga tiga ribu rupiah, dengan kualitas rekaman yang sangat sederhana. Sampulnya berupa reproan foto seukuran 3R yang hanya memuat gambar kover depan plus judul lagu, tanpa sleeve-cover apalagi lyric-sheet.

Malam itu, mata saya tiba-tiba terhenti pada sebuah sampul kaset yang berilustrasikan piramid, patung Sphinx dan detil nuansa Mesir kuno. Nama band-nya Iron Maiden, judul albumnya Powerslave, rilisan tahun 1984. Karena penasaran, suka sama kovernya dan hanya sempat mendengar nama band-nya, langsung saja saya beli kaset itu. Yah, itulah perkenalan pertama saya dengan Iron Maiden. Lewat kaset bajakan, tiga ribu saja!

Dari situ kemudian berlanjut pada album-album lawas mereka yang lain, seperti No Prayer For The Dying, Killers, dan Piece of Mind. Namun semuanya tetap dalam versi bajakan karena keterbatasan dana, akses dan stok di toko kaset lokal pada waktu itu. Meskipun bukan termasuk penggemar fanatik Maiden, tapi saya tetap menyukai band ini. Baik musiknya, liriknya, apalagi grafis artistiknya yang selalu keren itu.

Ya, mengingat kembali memori perkenalan dengan sebuah band, serta tumbuh bersama karya-karyanya adalah hal yang menyenangkan bagi sebagian orang. Romantik. Konyol, juga penuh perjuangan. Memang tidak serta-merta atau harus menjadi die-hard fans, tapi setidaknya tetap memiliki nilai cerita dan pengalaman yang seru.

Untuk itu, melalui fasilitas Facebook Message dan Email, saya coba mewawancarai beberapa orang yang saya duga juga mempunyai pengalaman menarik seputar Iron Maiden. Mereka terdiri dari beragam usia dan multi-profesi yang tinggal di berbagai daerah. Mulai dari pimpinan fans club, kolektor yang taat, anak band, aktifis netlabel, fotografer perempuan, penyiar radio, hingga bekas pekerja kapal pesiar rela menuangkan cerita unik mereka tentang Iron Maiden.

Mereka adalah Syam Iman [Indonesian Troopers, Jakarta], Michel Kartaadiredja [fans/kolektor, Jakarta], Nino Aspiranta [vokalis Trauma, Jakarta], Wok The Rock [aktifis YesNoWaveMusic, Jogja], Irfan Ramone [drummer Gigantor, Jakarta], Ebenz [frontman Burgerkill, Bandung], Dinda Advena [fans/fotografer, Tangerang], Jimi Multhazam [vokalis The Upstairs & Morfem, Jakarta], dan Rudolf Dethu [propagandis, Bali]. Sedikit banyak, hidup mereka sudah [pernah] ter-Maiden-kan!…

Sejak kapan anda mengenal Iron Maiden?

Syam ; Pertama kali gue kenal Iron Maiden itu sekitar tahun 1987.

Michel ; Gua pertama kali tahu Iron Maiden itu pas liat video klip “Can I Play With Madness” di tivi dekoder swasta tahun 1989. Di video itu yang gua inget terus adalah ada scene Eddie lagi ngeluarin bayi dalam perut di dalam lemari es, sesuai dengan tema kover albumnya, Seventh Son of a Seventh Son.

Nino ; Dari jaman SMP, tahun 80-an…

Wok ; Lupa. Udah lama banget. Mungkin sekitar tahun ’84, saat kelas 5 SD. Soalnya seingatku pas kelas 6 SD aku udah mulai ‘meninggalkan’ heavy metal karena Kill ‘Em All-nya Metallica.

Irfan ; Saya kenal Iron Maiden itu pas pertengahan Sekolah Dasar, sekitar tahun 97-98.

Ebenz ; Mungkin sekitar tahun 82-83, kebetulan dulu saya satu kamar dengan om saya yang seorang hardrocker. Dari situ saya mulai mendengar lagu “Wratchild” di album Killers yang langsung memicut hati.

Dinda ; Lupa tepatnya kapan. Yang jelas saya tahu mereka itu sejak kecil waktu lihat koleksi CD Om saya, termasuk di antaranya ada Iron Maiden, Guns N’ Roses, Helloween sampai Michael Jackson. Tapi waktu itu belum tahu Iron Maiden ini band apa, yang jelas ngeliat cover CD-nya jadi terlintas buku-buku Goosebumps jaman dulu.

Jimi ; Sejak SD, pas mereka merilis Somewhere In Time.

Dethu ; Sejak 1975, sejak mereka baru berdiri. Not! Bokis bener! Bohong belaka! Hahaha… [biar dibilang paling old school, hiks]. Saya pertama kali kenal Iron Maiden via “The Trooper”. Waktu itu ada album kompilasi berseri bertajuk Heavy Metal keluaran Contessa/Team/Perina, entah yang mana, saya lupa. Kalau gak salah itu tahun 1985 atau 1986. Dari titik itu saya lalu memulai pengembaraan menyusuri jazirah Iron Maiden.

Apa album Iron Maiden yang pertama kali anda dengarkan atau beli?

Syam ; Album yang pertama kali gue denger saat itu adalah Piece of Mind dan lagu “Where Eagles Dare”. Gue tertarik karena denger intro drum-nya Nicko McBrain.

Michel ; Seventh Son of a Seventh Son, dalam format kaset tape.

Nino ; Somewhere in Time.

Wok ; Yang pertama didengerin sih Somewhere in Time. Kalo pertama beli kayanya sih Seventh Son of a Seventh Son.

Irfan ; Somewhere In Time, tertarik karena cover albumnya yang menurut saya sangat keren. Dua lagu pertama, “Aces High” dan “Two Minutes To Midnight”, yang membuat saya gak pernah bisa ngelupain Maiden. Kualitas liriknya sangat seru dan terkonsep. Sadis.

Ebenz ; The Number of The Beast, album yang pertama saya beli. Dan Killers yang mengenalkan saya dengan Maiden.

Dinda ; Pertama kali dengar di album The Number of The Beast, dulu langsung punya persepsi kalau ini band satanik.

Jimi ; Somewhere In Time, kovernya yang bikin gue tertarik.

Dethu ; Tembang perjumpaan perdana, ya yang disebut tadi, “The Trooper”. Karena kepincut, saya kemudian bergegas membeli albumnya, Piece of Mind. Terus mundur ke belakang, The Number of the Beast, Killers, hingga Iron Maiden. Saya khusyuk mengikuti Maiden hingga Seventh Son of a Seventh Son. Untuk No Prayer for the Dying dan Fear of the Dark konsentrasi saya mulai terbelah antara heavy metal dengan rap serta musik alternatif. Album selebihnya sekadar membaca di majalah saja. Minat merosot anjlok. Dan makin males—bahkan hingga hari ini—adalah ketika Bruce Dickinson memotong rambutnya dan tampil bak Pak Guru bagian Bimbingan dan Penyuluhan. Sebagai penggemar tempo doeloe susah bagi saya menyambut Bruce layaknya Maiden era 80 dan 90-an awal. [ini berlaku juga buat Metallica]. Namun semakin ke sini, penolakan saya makin tergerus menipis. Masih males, tapi hati sudah lebih terbuka. Kenangannya kelewat kuat, barangkali. Khusus untuk Maiden saya mulai lagi mencoba mendengarkan album-albumnya. A Matter of Life and Death pernah saya pantau sebentar. Namun intensitasnya sudah berbeda saat saya remaja. [FYI usia saya sekarang 29, sedikit lebih muda dari Habib Rizieq]. Metallica? Thank you but no. Eh, kalau nonton konsernya gak nolak sih…

Selain album rekaman Iron Maiden, merchandise apa yang anda koleksi?

Syam ; Selain album CD, masih ada DVD konser, kaos, sepatu, poster, bendera, dan box rokok.

Michel ; Gua juga ngumpulin DVD, laser disc, Kaos, poster, flag, boxset, serta action figure Iron Maiden.

Nino ; Kaosnya, sejak jaman SMP gua juga punya, tapi bukan yang original, hehe.

Wok ; Kaos Piece of Mind. Dibeliin kakak pas kelas 6 SD. Aku pake sampe kuliah meski udah robek-robek. Sempet dibilang loser pas aku pake di atas panggung bawain musik street-punk.

Irfan ; Kaos dan sepatu. Cuma punya dikit sih, hehe.

Ebenz ; Anything about Maiden!!!

Dinda ; Palingan kaos aja sih…

Jimi ; Dulu gue sempet punya t-shirt Killers dan Seventh Son of a Seventh Son.

Dethu ; Sejak perut saya terus membuncit [efek Jim Beam Black dan bir dingin bukan Balihai] saya sudah stop membeli kaos. Takut disebut murtad oleh para kolega sadar busana. Sebelum bunting, saat saya masih bekerja di kapal pesiar, saya membeli apa saja. Mulai dari Maiden, Kiss, Morrissey, KMFDM, Sonic Youth, hingga Trainspotting. Tapi, sejujurnya, saya bukan kolektor apik. Yang saya kumpulkan secara [cukup] baik adalah album-album Morrissey, serta beragam buku bertajuk 1000 Albums You Must Hear Before You Die, The Trouser Press Record Guide, dan sebangsanya. Gono-gini Maiden sih mulai Killers hingga Seventh Son gagal saya koleksi. Namun, Eddie Maha Esa, sebagian besar sudah nyangkut dengan takzim di dalam kepala alias telah menjadi memori abadi. Tiada dalam jajaran koleksi sekali pun tak apa-apa. Wong udah nancep di otak kok, hehe…

Berapa nominal terbesar yang pernah anda keluarkan untuk membeli sebuah merchandise Iron Maiden?!

Syam ;  Yang terbesar nilainya Rp.650.000,- untuk sepatu dengan gambar Trooper.

Michel ; Boxset limited topeng Iron Maiden yang isi 16 CD. Gua beli tahun 2002. Harganya waktu itu masih 1,8 juta, sekarang udah sekitar 3,5 – 5 juta, itu juga kalo dapet di Ebay, hehe.

Nino ; Palingan cuma kaos import-nya aja. Tahun 1992 saya baru kenal baju import soalnya. Beli kaos-kaos import di Pasaraya Blok M waktu itu kalo gak salah masih Rp.42.500, sedang yang lokalan cuma 15 ribu kalau gak salah, haha.

Wok ; Gak ada. Cuma beli kaset aja. Kaos itu kan dibeliin. Aku gak terlalu hobi beli merchandise musik. Lebih suka beli robot-robotan dan miras, hehe.

Irfan ; 700 ribu. Waktu itu saya beli sepatu Vans Iron Maiden yang album Killers.

Ebenz ; Mungkin sekitar 1,5 juta untuk sebuah boxset CD Eddie Head.

Jimi ; Wah lupa tuh, berapa ya??…

Dethu ; Jika diakumulasikan, pengumpulan kaset-kaset Killers hingga Seventh Son adalah pengeluaran terbesar saya untuk Maiden. Kok iso? Iya, itu jika dikonversikan ke masa sekarang. Plus waktu itu saya masih SMA, butuh perjuangan hidup/mati/pingsan/berdarah/berkeringat bahkan sekadar untuk membeli kaset. Makin bikin miris adalah saat semuanya hilang tanpa bekas. Itu sudah tak ternilai jika hendak dinominalkan…

***

Di negeri ini sebenarnya sudah ada wadah atau komunitas khusus penggemar grup musik Iron Maiden. Nama resminya adalah Indonesian Iron Maiden Troopers, atau sering disebut juga dengan Indonesian Troopers. Eksistensi mereka bisa ditemui pada situs www.ironmaiden-indonesia.com dan halaman fanpage di Facebook. Mengenai profil dan kiprah dari komunitas ini, saya juga sempat mewawancarai Syam Iman selaku founder dan dedengkot dari Indonesian Troopers…

Tolong ceritakan sedikit bagaimana sejarah terbentuknya Indonesian Troopers?!

Awalnya gue hanya mau mendapatkan teman untuk diskusi tentang Iron Maiden, juga agar lebih mudah mendapatkan merchandises mereka. Melalui Facebook akhirnya gue bertemu dengan teman-teman se-Indonesia sampai dengan sekarang. Dari facebook juga tim admin meyakinkan promotor bahwa Iron Maiden layak didatangkan ke Indonesia. Selain tentunya menguntungkan dari segi bisnis, juga menguntungkan dari sisi idealis, yakni memberikan edukasi kepada masyarakat kita khususnya industri musiK. Karena selama 35 tahun mereka bukan hanya sekedar band, melainkan mereka sudah menjadi sebuah brand dan gaya hidup, yang positif tentunya.

Oya, Berapa banyak sih anggota komunitas ini?

Anggota Indonesian Troopers melalui petisi yang mendukung kehadiran Iron Maiden di Indonesia hampir sudah mencapai 14.000. Tetapi kami punya fanpage sendiri di Facebook yang hingga saat ini sekitar 2.000 orang di Indonesia. Di Jakarta sendiri kami sering melakukan kopi darat guna mengakrabkan satu dengan yang lainnya. Komunitas ini tidak mengenal perbedaan apapun, yang kami lihat hanya satu perbedaan, yakni suka atau tidak suka dengan Iron Maiden!…

Apa saja program atau kegiatan Indonesian Troopers yang pernah lakukan selama ini?

Selama ini kami melakukan kegiatan dengan mengadakan beberapa kali acara tribute. Selain itu kami sedang mendata anggota yang akan hadir di Jakarta nanti. Kami pun membuat merchandise komunitas untuk member yang akan digunakan saat konser nanti, karena kami ingin saling kenal, bertatap muka dengan seluruh member yang mudah dikenali dengan menggunakan t-shirt Indonesian Troopers.

Lalu apa saja yang kalian lakukan menjelang konser Iron Maiden di Indonesia?

Yang kami lakukan selain menjadi official ticket box, kami sedang mengumpulkan dana, baik itu dari hasil penjualan merchandise atau apapun yang bisa kami peroleh. Hasil tersebut akan kami dedikasikan bagi member kami khususnya dari daerah agar saat nanti di Jakarta member kami paling tidak bisa minum kopi atau makan snack sekedarnya bersama-sama tim admin. Kami ingin asas Bloodbrothers [sesuai dengan salah satu judul lagu iron Maiden] benar-benar dapat kami rasakan semuanya. Tim admin berharap komunitas tidak akan berhenti setelah konser Iron Maiden saja. Kami ingin memberikan yang lebih baik lagi bagi anggota komunitas, masyarakat serta negara.

***

Di awal era 90-an, ketika masih berseragam SMP, saya mulai berani mendatangi berbagai pertunjukan musik lokal di kota Malang. Saat itu musik heavy metal, speed metal dan thrash metal sedang gencar-gencarnya. Saya juga sudah mulai berteman dengan banyak penggemar musik yang sealiran. Kami biasa berbincang dan berbagi apapun tentang Metallica, Sepultura, Kreator, Anthrax, dan tentunya juga Iron Maiden!

Jaman itu, band-band lokal seperti Epitaph atau Megatrue sering mengkover lagu-lagu Iron Maiden dalam pentas musik di kota Malang. Beberapa nama yang tertera dalam daftar band finalis Festival Rock garapan Log Zhelebour juga banyak mengandung kadar musikal ala Iron Maiden. Bahkan grup band Power Metal sudah [terpaksa] kami anggap seperti ‘saudara jauh’ Maiden yang lahir di Jawa Timur.

Sebagai salah satu band heavy metal yang paling sukses di muka bumi, Iron Maiden memang sangat berpotensi untuk menjadi role-model. Reputasi mereka terbukti sanggup menginspirasi sektor personal, musikal, bahkan kultural di kalangan penggemarnya. Mengenai pengaruh Maiden di bumi nusantara ini juga sempat saya perbincangkan dengan mereka…

Seberapa besar pengaruh Iron Maiden terhadap band, fans dan scene metal di Indonesia?

Syam ; Pengaruh Iron Maiden sangat besar, bukan hanya di scene metal Indonesia, tapi juga dijadikan sumber bisnis oleh metalheads di Indonesia.

Michel ; Besar banget. Di DVD Flight 666 aja kita bisa liat Lars Ulrich [Metallica], Kerry King [Slayer], Scott Ian [Anthrax], Tom Morello [RATM], atau bahkan almarhum vokalis legendaris Ronnie James Dio sampe bela-belain nonton di backstage pas mereka konser di LA. Pengaruhnya untuk fans, bisa nambahin wawasan bermusik karena musiknya yang bener-bener brilian dan jenius. Liriknya juga bagus. Ini band yang patut dicontoh karena gak pernah vakum dan produktif dengan album-album yang berkualitas.

Nino ; Besar banget. Mbahnya Metal! Kalo gak kenal Iron Maiden jangan ngaku Rocker atau Metalhead deh, haha!…

Wok ; Sangat besar. Musik Iron Maiden kan cukup melodius, cocok sama telinga orang melayu.

Irfan ; Wah, menurut saya gede banget ya. Karena mereka salah satu pelopor musik metal di bumi. Untuk band, pasti ada beberapa pola Iron Maiden yang nyangkut di otak mereka. Sampai era sekarang pun masih begitu, ini dari pengalaman saya ya, hehe.

Ebenz ; Secara musikal saya kurang tahu banyak, karena memang tidak banyak band lokal yang saya dengar secara langsung terpengaruh oleh mereka. Tapi yang jelas secara spirit, Maiden sudah menjadi Legacy di scene Indo.

Dinda ; Wah besar banget! Mengingat Indonesia itu komunitas metal terbesar di Asia, tentunya band sekelas Iron Maiden bawa pengaruh besar banget di sini. Iron Maiden sudah menjadi semacam ‘agama’ bagi penggemar heavy metal.

Jimi ; Lagi trend metal seperti apapun kita pasti menyebut Iron Maiden. Waktu gue SMA, musik thrash metal lagi naik daun, tetep kita mendengarkan Iron Maiden. Sampai jaman Screamo, tetep pada nulis terinspirasi oleh Maiden. Kalo mau dicap metal secara sekilas, tinggal pake T-shirt Iron Maiden aja, haha.

Dethu ; Pengaruh Maiden itu besar, kuat dan global. Saya pikir penetrasi Maiden di nusantara tereksekusi dengan baik. Hampir mustahil rasanya peminat musik cadas lalai pada eksistensi Maiden. Katakanlah sekarang dangkal peduli tapi di masa depan pasti Maiden masuk menyusupi. Pasti. Maka itu saya ultra yakin penonton tua-muda akan berbondong-bondong menonton Maiden baik di Bali maupun Jakarta. Respeknya bakal tergambar nyata. Sejajarlah dengan Metallica.

Eh siapa saja band lokal di daerah anda yang pernah mengkover lagu Iron Maiden?

Syam ; Kebetulan tim komunitas punya official band bernama Seventh Son dari Tangerang. Band ini sangat copy-paste dengan aslinya. Selain itu ada band 686, Phantom of The Opera, Thrash Metal United [tribute to Maiden], Oracle, dll. Di scene metal Indonesia sangat banyak, karena umumnya band-band underground/metal kita itu ter-influence oleh Maiden.

Michel ; Seventh Son, 686, Oracle, dll.

Nino ; Jaman 90-an banyak kayaknya, tapi sekarang lebih sedikit. Terakhir tahun lalu pas main di Bla-Bla-Bla Fest 2010, sebelum Trauma main, ada band cover Iron Maiden tuh yang main. Duh maap, lupa namanya…

Wok ; Sangkakala.

Irfan ; Valiant, band-band power metal Jakarta, dan Seventh Son pastinya.

Ebenz ; Gak banyak sih, mungkin Ballerina dan band saya juga salah satunya.

Dinda ; Sempat ada acara tribut untuk Iron Maiden ya tempo lalu, tapi saya lupa siapa aja yang main, hehe.

Jimi ; Waduh kurang tau nih gue. Gue sempet melihat beberapa kawan bikin band tribut Maiden.

Dethu ; Di Bali, di tahun 80-an dan 90-an awal, semua band yang vokalisnya mampu mendaki nada tinggi pasti mengkover Maiden [dan AC/DC, Purple, Led Zep, serta Priest]. Yang menonjol di urusan bersenandung Maiden saat itu adalah Full of Shit dan Roger. Di era 90-an awal ada Reckless yang gitarisnya adalah Balawan. Dekade berikutnya, saya ndak tau. Kayaknya nihil.

Oya, anda punya pengalaman atau kisah menarik seputar Iron Maiden yang perlu pembaca ketahui?

Syam ; Kalau pengalaman langsung belum ada, tapi kisah menarik tentang Iron Maiden adalah personil mereka tidak merokok satu pun. Bahkan saat gue liat rider/itinerary mereka yang masuk ke tim Original Production untuk konser di sini, mereka tidak minta liquor. Yang ada mereka malah minta sparkling mineral water, fresh juice, dan fresh milk. Level alkohol yang mereka minta hanya local draft beer. Hal ini bikin gue semakin respek ama mereka. Maiden tahu jika melakukan, katakanlah alcohol party, mereka akan berisiko terhadap rencana konser tur dunia dan kesehatan pribadi mereka.

Michel ; Waktu pertama kali beli boxset Maiden, gua bela-belain berangkat jam tiga pagi dari Kampung Rambutan ke Bandung pulang pergi cuma buat beli tuh boxset. Nekat banget ya gua waktu itu, hehe.

Nino ; Jaman sekolah masih pake seragam putih dan celana pendek biru, bangga banget pas pulang sekolah trus ngider-ngider naik sepeda muterin komplek rumah pake kaos Iron Maiden, haha.

Wok ; Sebenernya gak ada yang terlalu spesial. Saya kalo suka banget sama band tertentu malah bikin hati ini biasa aja. Saya pernah sangat terkesima saat di gudang rumah nemu poster Iron Maiden formasi awal dari majalah musik lawas terbitan akhir 70-an. Tapi yang paling seneng saat pertama kali beli kaset bajakan album Iron Maiden yang pertama. Karena kover dan musiknya lebih cocok di telinga saya. gak terlalu melayu.

Irfan ; Haha, Saya pernah berantem dengan mantan pacar karena dia gak suka kalo saya beli sepatu Iron Maiden. Waktu itu HP-nya ilang dan saya janji mau ikut nambahin biaya buat beli yang baru. Tapi saya malah beli sepatu Iron Maiden dan doi marah-marah gak jelas, what the f**k?! Ini Maiden maaannn!…

Ebenz ; Saya inget kaos putih Killers adalah kaos Maiden yang pertama saya beli sendiri, dan langsung disita oleh bapak saya karena beliau tidak suka grafisnya yang seram, hehehe…

Dinda ; Haha, tiba-tiba saya ingat temen saya, Rio Rottrevore, yang beberapa tahun lalu sempat bohongin saya kalau Iron Maiden mau datang. Saya lalu bilang, “Kalau sampai Iron Maiden dateng beneran, gua sembah mereka deh!” Berlebihan memang, tapi eh ternyata mereka datang beneran. Gak nyangka…

Jimi ; Waktu itu gue udah masuk SMP, dan sering diajak temen-temen ke DiscoSkate siang-siang, Happy Day, di daerah Aldiron Blok M. Setiap ke Happy Day, gue pasti mampir di toko kaset deket lift. Sekedar lihat-lihat, jarang membeli. Tiba-tiba suatu hari Aquarius me-reissue album-album lawas Maiden, dan mata gue gak bisa lepas dari jejeran album Maiden tersebut. Akhirnya gue memutuskan membeli album Piece of Mind dan mengurungkan niat untuk ke Happy Day. Saat itu juga gue bertekad untuk jadi anak ‘Metal’. Gue bersyukur. Karena album Piece of Mind, gue jadi terbebas dari jeratan lembah hedonism, haha…

Dethu ; Bagi saya pribadi adalah album Live After Death. Saya mengenal Amerika lebih dekat lewat album ini. Utamanya Long Beach, California. Ketika saya pertama kali memperoleh kesempatan pergi ke Amerika Serikat pada 1988, teriakan paling pertama yang keluar nyaring adalah: “Scrrreamm for me, Long Beaach! Scrreaam for me Long Beach!” Hal tadi mungkin terlalu personal dan kurang penting untuk dibagi ke publik. Tapi bagi saya pribadi justru signifikan sebab ; Pertama, saya jadi berminat dan amat baik di pelajaran geografi [pamer, biarin]. Kedua, minat pada geografi secara tidak langsung menumbuhkan ketertarikan mengenali dunia. Saya di kemudian hari berkeliling dunia dengan bekerja di kapal pesiar. Saat para sejawat disibukkan dengan Seattle Sound, saya ketika itu sedang di Seattle. Suicidal Tendencies berasal dari Venice, California, saya berkesempatan minum bir di pantai Venice. Subhumans tumbuh di Vancouver dan saya membeli album kompilasi Faster & Louder berisikan Subhumans ya di Vancouver juga. So… Scrrreaamm for me, Long Beaach!

Iseng-iseng, coba deksripsikan sebuah desain atau imej Eddie yang bernuansa lokal dan khas Indonesia menurut bayangan anda!…

Syam ; Sebenarnya kami dari tim admin pernah mempunyai imej Eddie menggunakan batik dengan meng-edit bendera Union Jack yang diganti bendera Indonesia. Akhirnya kami berdiskusi bahwa kami lebih menyukai Eddie versi asli hanya dengan perubahan pada bendera. Gambar itu sudah kami print dan kami jadikan kaos untuk digunakan saat konser di sini. Beberapa member juga sudah membeli untuk dipakai di saat konsernya nanti.

Michel ; Ide gua, maskot Iron Maiden dari album baru yang berbentuk alien. Gambar desainnya ada pesawat UFO dan alien itu nangkring di atas Monas, seperti film Indepedence Day. Trus alien Maiden-nya ada di samping Monas seakan-akan mau ngancurin tuh tugu. Desain ini bakal gua kasih judul “Invasion Jakarta”, haha.

Nino ; Eddie dipakein blangkon! Hehe.

Wok ; Eddie dengan tubuh bayi merangkak keluar dari kuburan lengkap dengan nisan dan pohon kamboja putih. Soalnya saya suka film bayi ajaib sih, hehe.

Irfan ; Eddie pake setelan tentara gerilya, topi caping, dan bawa bamboo runcing keren tuh. Trus berdiri di atas tank Inggris yang udah diberantakin…

Ebenz ; Eddie pake kostum kuda lumping, hehe.

Dinda ; Entah kenapa bayangan Eddie itu auranya mistis di mata saya. Jadi sekarang ini tiba-tiba saya membayangkan Eddie menari Kecak di GWK Bali, kalau main di Jawa mungkin Goyang Pantura kali ya…

Jimi ; Eddie di-mixed ama Reog Ponorogo pasti ngeri!…

Dethu ; Eddie selain nihil kemampuan berbahasa Indonesia plus, sejatinya, pantang untuk di-Indonesia-kan. Tapi jika dipaksakan mungkin, umm, Eddie mengambil mic dan berpidato bariton ;

…Woe to You Oh Earth and Sea
for the Devil sends the beast with wrath
because he knows the time is short
let him who have understanding
reckon the number of the Blackberry beast
for it is a human number
it’s PIN number is six hundred and sixty six…

___________________

*Tulisan aslinya silakan klik di sini

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

RUDOLF DETHU

Scroll to Top