Kami Tidak Takut. Huh?

Saya perhatikan belakangan ini berbondong-bondong orang di sekitar saya---kebanyakan anak muda---menggabungkan dirinya di Indonesia Unite, sebuah komunitas yang dibentuk untuk merespons peristiwa bom Ritz-Marriot 17 Juli 2009 sekaligus menyebarkan semangat anti terorisme. Saat tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 170 ribu orang menjadi anggota Indonesia Unite di Facebook. Komplet dengan limpah ucapan-ucapan berbau nasionalisme di Wall-nya. Sungguh mencengangkan lagi membanggakan bagaimana sejawat se-Nusantara membusungkan dada menunjukkan kecintaannya pada negara bernama Indonesia, bahu membahu melawan penjahat HAM berkedok agama bersenjatakan bom, seraya penuh patriotisme berteriak: Kami Tidak Takut! Kami tidak takut. Huh? Ini masalahnya. Saya kurang paham apa sejawat, sobat, kerabat, saya itu benar-benar tidak takut dengan bom yang mematikan tersebut. Saya pribadi mah masih sedikit menggigil merinding dan agak trauma dengan peristiwa mengerikan itu (ketika Bom Bali I saya berada hanya lusinan meter dari lokasi ledakan bom dan menyaksikan sendiri semburan api nan masif & merasakan gelegarnya yang gigantik). Hanya saja mungkin karena ledakan bom di negara ini sudah jadi makanan sehari-hari, makanya saya, dan mungkin juga rekan-rekan di Indonesia Unite, merasa bahwa peristiwa bom adalah semacam "same shit different day" alias sudah terbiasa.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Kerabat Puspawarna,

Saya perhatikan belakangan ini berbondong-bondong orang di sekitar saya—kebanyakan anak muda—menggabungkan dirinya di Indonesia Unite, sebuah komunitas yang dibentuk untuk merespons peristiwa bom Ritz-Marriot 17 Juli 2009 sekaligus menyebarkan semangat anti terorisme. Saat tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 170 ribu orang menjadi anggota Indonesia Unite di Facebook. Komplet dengan limpah ucapan-ucapan berbau nasionalisme di Wall-nya. Sungguh mencengangkan lagi membanggakan bagaimana sejawat se-Nusantara membusungkan dada menunjukkan kecintaannya pada negara bernama Indonesia, bahu membahu melawan penjahat HAM berkedok agama bersenjatakan bom, seraya penuh patriotisme berteriak: Kami Tidak Takut!

Kami tidak takut. Huh? Ini masalahnya. Saya kurang paham apa sejawat, sobat, kerabat, saya itu benar-benar tidak takut dengan bom yang mematikan tersebut. Saya pribadi mah masih sedikit menggigil merinding dan agak trauma dengan peristiwa mengerikan itu (ketika Bom Bali I saya berada hanya lusinan meter dari lokasi ledakan bom dan menyaksikan sendiri semburan api nan masif & merasakan gelegarnya yang gigantik). Hanya saja mungkin karena ledakan bom di negara ini sudah jadi makanan sehari-hari, makanya saya, dan mungkin juga rekan-rekan di Indonesia Unite, merasa bahwa peristiwa bom adalah semacam “same shit different day” alias sudah terbiasa.

Nah, salahnya di situ: ledakan bom di negara ini sudah jadi makanan sehari-hari. Artinya, pemerintah belum melaksanakan tugasnya memberi rasa aman kepada publik. Aparat masih mandul dalam menunaikan kewajibannya melindungi rakyatnya dari ancaman teror. Bagi saya yang justru signifikan adalah mendesak pemerintah serta jajarannya untuk lebih serius membereskan carut marut terorisme di negeri ini. Jangan spontan grasa grusu reaktif pas habis kejadian aja—lalu tak lama kemudian adem ayem lagi. Tanpa kenal lelah kita desak terus aparat untuk melakukan penyelidikan yang lebih serius dan komperehensif—agar tak selalu muncul dengan teori “Noor Din M. Top ada di balik kejadian ini”. Atau Pak Polisi Yang Terhormat, eh, malah fokus ngurusin yang remeh temeh semisal nangkepin anak kecil gara-gara dicurigai main judi.

Teroris itu apa?

Sementara kita semua jangan mau terus-terusan disuruh untuk lebih mengaktifkan lagi siskamling, membentuk Pam Swakarsa, apalagi berinisiatif sendiri melawan para teroris itu (bermodalkan kaos bersablonkan Indonesia Unite – Kami Tidak Takut). Enak aja. Emang pemerintah ngapain aja? Wong kita ini hidup aja masih susah. Mosok pas hari kerja harus jaga siskamling lagi?

Kita harus pantang capek mengingatkan aparatur negara—dimulai dari Ketua RT—agar displin menjalankan tugasnya. Jangan sampai orang mau bikin KTP ganda bisa segampang itu. Jangan terus-terusan kita lagi kita lagi kita lagi yang jadi martir, diminta menggiatkan lebih intensif keamanan kampunglah, disarankan bergiliran berkeliling desalah, setiap minggu rapat untuk meningkatkan keamananlah. Belum lagi kemudian swasembada beramai-ramai membentuk paguyuban untuk melawan kemungkaran tersebut sambil gagah berani berdeklarasi: Kami Tidak Takut! Jangan mau. Jangan mau berkorban dikoyak bom (lagi). Enak aja. Emang pemerintah ngapain aja?

Jika anda pikir anda adalah tipe nasionalis, yang harus dilakukan lebih utama, menurut saya, yang lebih tepat—dalam skala kecil—sekali lagi, adalah mengingatkan jajaran eksekutif, legislatif, yudikatif, siapa pun “di atas” sana, agar fokus menjalankan strategi yang lebih lancip, lebih runcing, lebih tajam, hingga aktivitas terorisme licin tandas hingga ke akar-akarnya. Jika sampeyan sempat mengeluh, “Kok orang Malaysia ngebomnya di Indonesia, bukannya di negaranya banyak juga orang-orang asing? Kenapa gak ngebom di negaranya sendiri aja?”. Tanpa harus menjadi Einstein, jawabannya ultra gampang, “Karena di Negeri Jiran itu pemerintah beserta aparat keamanan berfungsi maksimal. Sejentik kegiatan berpotensi instabilitas keamanan, langsung dibabat habis”. Sementara di negeri yang anda cintai ini, Abu Bakar Ba’asyir yang jelas-jelas berkoar hendak menegakkan Syariat Islam di Republik Indonesia (baca: re-pu-blik), dibiarkan saja bebas berkeliaran. Padahal niat tersebut terang benderang melanggar hukum, tindakan itu masuk kategori subversif. Dengan ruang gerak yang sebebas itu + law enforcement yang kurang optimal, Noor Din M Top—jika memang benar dia aktor intelektualnya—tentu lebih girang melaksanakan kegiatan bom sana bom sini di negeri yang anda banggakan ini…

Sementara dalam skala besar saya pikir lebih nasionalis jika kita bahu membahu berkontribusi di bidang pendidikan, menggalakkan program “ayo belajar”, menyumbang untuk pembangunan gedung-gedung sekolah, membikin orang-orang sekitar lebih pintar. Indonesia Unite meminta pemerintah membenahi sektor pendidikan. Jika orang Indonesia sudah pintar maka mereka tak akan gampang dikibuli oleh sosok semacam Imam Samudra—rekan-rekan kita di pedalaman sekali pun tak akan mudah lagi dirayu untuk menjadi “pengantin” demi menuju firdaus. Syekh Puji tak gampang lagi mengibuli orang-orang melarat. Jusuf Kalla + Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera gak semudah itu merajuk kita agar ikhlas mengakui Soeharto sebagai pahlawan. Pendeknya, ketika bangsa ini sudah pintar maka kita akan lebih pintar menyiasati isu kemiskinan. Saat bangsa ini telah relatif lebih sejahtera, logika lebih jalan, maka bangsa ini tak gampang lagi dimanipulasi sudut pandangnya.

Syekh Puji

Benar, bagi saya tindakan seperti itu justru lebih menunjukkan tingkat nasionalisme yang tinggi. Peduli pada bangsa sendiri, bertekad kuat mendongkrak harkat dan martabat bangsa sendiri adalah ekspresi Aku Cinta Indonesia yang paling nyata. Urusan menyerang Ambalat, demo di kedubes asing, menghasut anak-anak muda mengagresi “Malingsia”, biar aja dilakukan oleh ormas-ormas sayap kanan. Biar aja mereka yang jumpalitan “membela negara”—dan mokat sia-sia. Kita yang berkeinginan menjadi pintar ini lebih memprioritaskan konsolidasi ke dalam: banyak membaca buku, terus menggiatkan program “ayo belajar”, menyumbang dana membangun gedung-gedung sekolah, berpartisipasi menciptakan intelektual-intelektual baru, segar, dan nihil kooptasi dari kumpulan cecunguk Orde Baru.

Hargai Kami

Well, barangkali saya memaknai “Kami Tidak Takut” terlalu literal. Bisa jadi “Kami Tidak Takut” punya arti lebih lebar. Jika memang begitu, saya mohon maaf. Hanya saja, jika boleh saya mengingatkan kembali: Bom itu bukan mercon. Bom bukan sekadar kompor mleduk. Bom adalah sebuah isu fatal & mengerikan. Jangan sembarangan berikrar “Kami Tidak Takut” sebab itu para teroris telah membuktikan bahwa mereka BENAR-BENAR tidak takut. Wong terbukti kok.

…Apalagi ketika waktu bertempur dengan teroris tiba, bukannya meraih bambu runcing—warisan jaman perang kemerdekaan yang dibekali oleh Babinsa untuk anda—lalu pasang kuda-kuda menghadapi musuh, yang anda lakukan terlebih dahulu justru memencet tombol Blackberry anda dan bergegas menulis di Twitter/Facebook:

“sedang perang dengan noordin m top! #indonesiaunite”
atau
“teroris ada di depan mata, kami tidak takut #indonesiaunite”
atau
“musuh datang doakan kami menang #indonesiaunite”

Sementara butir peluru musuh sedang melesat tepat menuju jidat anda, lemparan granat sudah tinggal beberapa sentimeter dari Blackberry anda…

Oh, COME ON!

This is a serious matter. Anda sebaiknya takut.

_____________________


*Karikatur semuanya karya Wahyu Kokkang
*
Ragam komentar terhadap tulisan ini bisa disimak di blog sejawat minum bir saya, Arian 13, juga di note Facebook milik Adib serta saya di sini

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top