Dear Beautiful People i.e. Ethnic Food Enthusiasts,
Di bawah ini adalah tulisan tentang Men Tempeh yang tadinya hendak saya sertakan di Bali A to Z part 3*. Cuman karena projek tulisan itu (sudah mulai ditulis sejak pertengahan 2007) masih tertunda hingga detik ini, biar gak basi, salah satu topik bahasannya, Men Tempeh, tak share aja dah. Mind you, saat tulisan ini dibuat, Men Tempeh sedang dalam transisi dari sekadar “warung makan” (pretty much uncivilized) naik pangkat menjadi “restoran” (civilized, most likely). Sekarang sih Men Tempeh sudah lumayan flashy (should I say, tackily flashy? Ada gak bahasa Inggris seperti itu? Hiks).
Yeah, it’s still a bit tacky. Tapi persetanlah, yang penting makanannya—meniru gaya Enny Arrow—enaakhsss…
MEN TEMPEH
Lokasi: sebelum Pelabuhan Gilimanuk, Jembrana, 3 hours drive from Denpasar
Are you considered yourself as Conan the Barbarian? Don’t mind to be tagged as Hannibal the Cannibal? Ogah dicekoki ewuh pakewuh etiket John Robert Powers? Jarang tertarik membaca ulasan food testing di The Beat? Baik, Tuan Sumanto, demi kesinambungan tabiat barbar kanibal anda, silakan kunjungi kedai ayam betutu milik Men Tempeh, rival bayangan William Wongso sang pakar kuliner…
Duh, attitude kuliner almarhumah Men Tempeh sungguh non-kompromistis, agresif mencederai bibit-bobot-bebet ilmu pemasaran mutakhir macam Blue Ocean Strategy, mendustai pendekatan emo-sosiologis ESQ-nya Ary Ginandjar. Gak peduli si calon pembeli doyan pedes atau kagak. Entah berapa belas cabe yang disiramkan ke satu ekor ayam betutunya. Pokoknya hajar habis! Anda silakan langsung bungkam ribut komentar itu para penulis Lonely Planet yang selalu memberi kesan ke publik luas bahwa mereka adalah kumpulan penggemar makanan khas lokal (ethnic food, they call it). Juga anggota Sepultura, yang di salah satu artikel di majalah pernah sok gahar bilang bahwa mereka demen makanan pedas. Kasih mereka nyobain ethnic food made in Men Tempeh, lalu ketawain mereka sekeji-kejinya karena 100% guaranteed mereka ternyata tidak seavonturir yang mereka kira (you’re f**kin’ lame, dudes!)
Iya, ayam betutunya oh-Tuhan-ampunilah-dosa dosa-Men Tempeh pedasnya sangaaaar…
Interior? (Men Tempeh: “What the shit does that mean???”) Penggarapan interior di sini sangat ndeso. Beberapa meja kayu murahan satunya ditutupi plastik berwarna pink dangdut, satunya lagi diplastikin ijo bangsat, satunya lagi kuning mencret (excuse my French); ditimpali kursi-kursi plastik warna-warni norak hasil perburuan di toko kelontong di sekitar Gilimanuk. Di dindingnya yang kusam ditempelin guntingan ngawur foto Men Tempeh dengan latar belakang foto konvensi Golkar daerah (what do you have in mind, what’s your message, Mbok?). Pelayanannya juga miskin basa-basi. Ini ayam betutunya, ini sayurnya, ini kacang gorengnya, ini teh botolnya, silakan makan, udah. Makin radikal lagi kamar mandinya (tadinya gak ada kamar mandinya, mungkin karena pelanggannya pada protes, bingung harus pipis dimana, akhirnya dibangun juga);
Questions: Toiletnya bersih higienis? Penerangan eksotik a la Ritz Carlton? Wastafel & showernya sensual keluaran Ace Hardware?
Answers: Jorok. Gelap. WC jongkok nyiramnya pake gayung. Gak pake shower-showeran. Fuck you.
Wickedly weird, multi rupa ketidaknyamanan itu (jauh, jorok, interiornya jelek, pedesnya jancuk) ternyata sama sekali tidak mengendorkan minat calon penikmat. Predator barbar macam Sumanto, Conan, Hannibal, Freddy Krueger, Kusni Kasdut, Boris Karloff, Bela Lugosi, myself, …gazillion of people like us keep coming back and ask for more…
Apa iya para penulis Lonely Planet bisa kompromi dengan “ethnic food” se-barbar ini?
__________________
⢠Bali A to Z adalah kumpulan catatan yang saya tulis tentang Bali dari A hingga Z, meliputi berbagai topik, mulai dari resto, toko penyedia pendongkrak syahwat sampai fenomena Rockabilly di Bali. Suatu hari nanti akan saya upload ke website ini
⢠Featured image: baliexpressnews.com