search

MODJORIDO: REVOLT IN PARADISE

Grup cadas MODJORIDO baru saja merilis single perdana di bawah Pohon Tua Creatorium bertajuk "Revolt". Single ini, menurut sang biduan Rico Mahesi, bisa dimaknai sebagai evolusi, pertanda kebangkitan, kembali menggairahkan musik rock, juga, selayaknya spirit musik rock yang dekat dengan pemberontakan.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Datang, bertanding, dan mencekam!

Sebagai grup musik pendatang baru barangkali MODJORIDO belum butuh Veni, Vidi, lalu Veci—menang, menaklukkan, jaya wijaya. Kelewat ambisius dan ngoyo. Cukup mencekam, mencengangkan, menggugah atensi khalayak saja dulu. Sebab down and dirty rock ‘n’ roll—adicita bermusik MODJORIDO—adalah tentang bersenang-senang, menyalakan api gairah, menjadi muda dan memberontak. Seperti energi yang terpancar di tembang perdananya: “Revolt”.

“Revolt bisa dimaknai sebagai evolusi, pertanda kebangkitan, kembali menggairahkan musik rock, juga, selayaknya spirit musik rock yang dekat dengan pemberontakan,” ungkap Rico Mahesi, biduan sekaligus gitar pengiring di Modjorido.

MODJORIDO sendiri merupakan penggalan dari nama tiap-tiap personel. MO dari Momo Wawengkang, si pencabik gitar. JO dari Joshua Putra, sang hulubalang beduk Inggris. RI dari Rico Mahesi, opsir departemen vokal. DO dari Doni Sura, bertugas menjaga marwah bas.

Predikat “anak bawang” disematkan pada MODJORIDO, well, sejatinya kurang tepat. Sebab masing-masing anggotanya tergolong veteran di kancah music bars di Bali Selatan. Kelompoknya mungkin baru. Tapi pengalamannya duh-gusti lama, jika diumpamakan buah, mereka sudah matang. Siap disuguhkan, good to go.

Dengan didukung jam terbang tinggi tersebut, tak heran jika kemudian MODJORIDO pamornya lekas melesat. Bisa dibilang kuartet ini adalah salah satu yang paling populer di belantika musik Kuta-Seminyak-Canggu.

Kala ditanyai komentarnya kini bergabung dengan label rekaman seberwibawa Pohon Tua Creatorium, mereka mericau dengan berbinar, “Dulu itu mengerjakan sesuatu kurang teratur, kalang kabut, tiada deadline. Beda ketika diproduseri PTC, serba profesional, makin menemukan formula, benang merah dan fondasi jelas, mata seperti terbuka, mengerti maunya apa, arahnya kemana.”

“Revolt” dulu lalu album penuh kemudian, menyusul segera. Datang, bertanding, mencekam, dan menang.

RUDOLF DETHU

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

165670080_271861871187817_927233681033995251_n
A topnotch new music by sludge sonic architects named Gergasi Api. Majestic, magnificent, and atmospherically gothgeous post-rock. An abrasive wall of sound juggernaut conducted by a petite, beautiful black-dressed lady from Batcave’s early days. Or picture this: Siouxsie Sioux sharing a bottle of Islay whisky with a doomgaze scientist named E.
Rivaba-Balkan
Fenomena campur sari indie x Top 40 sedang riuh terjadi di Bali belakangan ini. Walau sejatinya sudah ada sejak cukup lama, jajaran pegiat indie mulai dari Zat Kimia, Aray Daulay (alM.), hingga bahkan Navicula, pernah cukup aktif “ngamen” di bar-bar di Bali selatan. Namun “serbuan” para aktivis indie di masa pagebluk ini mengalami peningkatan signifikan. Musisi seperti Manja, Modjorido, Soulfood, Truedy, dsb. silih berganti meramaikan panggung-panggung pertunjukan bar dan restoran di Canggu, Seminyak, Nusa Dua, sampai Uluwatu. Bergantian dengan paguyuban dendang Top 40 veteran seperti, sebut saja misalnya, Ika & the Soul Brothers serta Djampiro. Apakah merupakan aksi terlarang ketika sebuah band indie menyanyikan lagu orang lain? Bisakah dikategorikan dalam perbuatan tidak menyenangkan kala sekelompok grup musik yang mengaku indie namun faktanya kerap tampil menyanyikan tembang-tembang populer/Top 40?

RUDOLF DETHU

Scroll to Top