Never Say Die, Jakarta Rock Parade

Tulisan---lebih tepatnya curhat---yang bermaksud menyemangati Jakarta Rock Parade ini sejatinya adalah materi lawas (tayang di Musikator pertama kali pada Juli 2009), walau pamali untuk dibilang usang. Memang, di kala itu belum ada konser rock lokal berskala gigantik. Belum ada yang nekat-berani mati menyelenggarakannya. Dan saya tidak rela jika Jakarta Rock Parade layu sebelum berkembang. Saya memimpikan Indonesia memiliki festival musik rock sekaliber Ozzfest. Syukurnya tidak lama berselang muncul kemudian Java Rockin'Land, yang bukan cuma bermutu tinggi, tapi juga termegah se-Asia Tenggara. Artinya spirit Jakarta Rock Parade menolak dimatikan. Yay. Ya, artikel ini sengaja tetap saya tampilkan di situs pribadi saya ini demi mendokumentasikan perspektif yang pernah saya tuangkan agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Tulisan—lebih tepatnya curhat—yang bermaksud menyemangati Jakarta Rock Parade ini sejatinya adalah materi lawas (tayang di Musikator pertama kali pada Juli 2009), walau pamali untuk dibilang usang. Memang, di kala itu belum ada konser rock lokal berskala gigantik. Belum ada yang nekat-berani mati menyelenggarakannya. Dan saya tidak rela jika Jakarta Rock Parade layu sebelum berkembang. Saya memimpikan Indonesia memiliki festival musik rock sekaliber Ozzfest. Syukurnya tidak lama berselang muncul kemudian Java Rockin’Land, yang bukan cuma bermutu tinggi, tapi juga termegah se-Asia Tenggara. Artinya spirit Jakarta Rock Parade menolak dimatikan. Yay.

Ya, artikel ini sengaja tetap saya tampilkan di situs pribadi saya ini demi mendokumentasikan perspektif yang pernah saya tuangkan agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.

Dalam konteks saya sebagai “putra daerah”, sebagai orang Bali, terang saya merasa beruntung bisa datang langsung terlibat dalam acara sekolosal Jakarta Rock Parade (JRP). Suicidal Sinatra dan Discotion Pill, 2 band yang saya “luangkan waktu khusus”, kebetulan mendapatkan kesempatan tampil di acara gede tersebut—belakangan saya ketahui, kontingen berbakat dari Bali lainnya, Nymphea, ternyata diundang main juga. Word up.

Secara pribadi, saya punya ekspektasi masif terhadap JRP. Saya sudah bosan—beberapa jengkal dari muak—dengan format beberapa acara konser yang, memang gede nan megah sih, tapi bandnya itu lagi, itu lage, itu lageeee. Belum lagi pilihan artisnya yang frontal menggambarkan “selera pasar” banget. Iya, memang, acara “patuh pada kemauan pasar” tersebut hampir selalu sukses, sanggup mendatangkan banyak orang, cuman ya gitu, jangan terus-terusan pilih penampil yang “full-selingkuh” melulu dong. Bagi musik Indonesia kebiasaan “main aman” kayak gini pelan tapi pasti akan menciptakan Indonesia nan homogen, penyeragaman selera secara masif, miskin identitas, kurang sehat, kembali ke Orde Baru. Saya makanya susah percaya dengan ujaran klasik “50,000 screaming-fans can’t be wrong”. Sang pencipta frase tersebut mungkin belum pernah mampir ke Indonesia dan pergi menonton pertunjukan musik paling akbar di negeri ini. Coba juga iseng tanya Indonesianis macam Jeffrey Winters, dia bisa jadi akan menambahkan, “50,000 people can’t be wrong? …Well, you’ve never been to Indonesia, fella…” lalu menyebutkan ratusan juta penduduk Nusantara yang hingga puluhan tahun ditindas oleh 2 diktator berbeda. 50,000 people can’t be wrong? Think again.

Sampai dimana tadi, iya, saya sebenarnya memiliki harapan ultra besar kepada JRP. Sebab Indonesia amat butuh alternatif. Skena musik Indonesia butuh bebas dari uniformitas. Publik muda Indonesia perlu acara macam Woodstock, Lollapalooza, Ozzfest, Vans Warped Tour, Hard Rock Hell, dsb, yang cukup cutting-edge, relatif lepas dari tekanan kapital besar, tak terlalu tergantung pada so-called “selera pasar”—malah sebaliknya, mendidik pasar, membangun “niche” baru.

Di banyak aspek JRP memenuhi spesifikasi tersebut:

1. Berani Berbeda
Perhatikan saja barisan artisnya, dari 100+ penampil, yang bisa dikategorikan gigantik dan ramah-televisi palingan Nidji, Naif, dan The Changcuters. Selebihnya, itu para “50,000 screaming-fans can’t be wrong” saat ditanya kenal apa tidak dengan band-band JRP lainnya, 100% garansi akan kompak menjawab: “Wallahuallam bisawab!”. Artinya manuver JRP ini adalah sebuah langkah bagus & berani, i.e. menolak penyeragaman.

2. Edukatif
Simak sisipan band lawasnya serta varian formasi reuninya. Dari kalangan veteran direncanakan untuk hadir antara lain Sharkmove, Gipsy & Gank Pegangsaan, Noor Bersaudara; generasi berikutnya ada El Pamas, Powerslaves, Voodoo, Roxx, hingga kontingen huh-say-that-again?, tenar-di-ibukota-saja-tapi-pengaruhnya-vital-dus-cakupannya-regional macam Rumah Sakit. Pula reuni Pas Band, Netral, dan sebagainya. Ini inisiatif adiluhung plus sungguh signifikan bagi kemaslahatan musik Indonesia. Dari sinilah generasi berikutnya bisa belajar mengenai sejarah perjalanan musik (Rock) Indonesia. Wih, asli tak gampang untuk mengumpulkan muka-muka lama. Saya yakin, sumpah bukan perkara mudah untuk membujuk, katakanlah, Richard Mutter, berbagi panggung lagi dengan sejawat seperjuangannya jaman dulu. Artinya, JRP secara tidak langsung adalah juga ajang pendidikan, crucial crash-course. Kepingan-kepingan penting yang membentuk musik Indonesia dikumpulkan jadi satu, publik bisa “pelajari”, “kursus kilat” cuma 3 hari. Dude, perlu bergalon Viagra untuk kerjaan sekolosal itu.

3. Aku Cinta Indonesia
Dengan menghadirkan sosok seperti Andy Tielman yang—bersama kelompoknya Tielman Brothers—merupakan band Indonesia pertama yang mampu go-international (dalam arti sebenarnya, sebab, ahem, tampil di depan TKI belumlah layak disebut go-international) pula partisipasi Young & Restless, kuintet dengan mastermind dua bersaudara asal Indonesia, Karina & Nugie Utomo, yang bermukim di Australia serta keberadaannya lumayan mahsyur utamanya di Canberra; diajaksertanya sosok-sosok tadi seyogianya bisa membuka mata orang lokal lalu menumbuhkan kepercayaan diri kolektif bahwa Indonesia juga bisa. Setuju, kita mampu kalau kita mau. Jika memang cinta Indonesia, cukup sudah berteori dan sok menjadi pengamat. Lakukan tindakan nyata. Segera dorong perubahan. JRP (maunya) membuktikan itu: mendorong perubahan sekaligus menumbuhkembangkan nasionalisme via musik.

Bersama sejawat di JRP. Superglad tampak di latar belakang sedang beraksi

Sayangnya segala elemen ideal tersebut berujung kontraproduktif, berakhir jadi fantasi semata. Duhai paceklik penonton—bahkan, ketika klimaks, kurang dari 10% kapasitas venue (Suicidal Sinatra hanya dipelototi oleh tak lebih dari 30 orang—sudah termasuk crew. Discotion Pill sedikit lebih beruntung, penikmatnya agak lebih banyak). Belum lagi, dari sisi internal, kepanitiaannya kacau balau. Selain saya mendapat bocoran dari orang dalam sendiri tentang riuh friksi horizontal, juga tampak lewat pengorganisasian jalannya acara. Band ini belum dibayar, artis itu baru dibayar setengah, liason officer yang menjalankan tugasnya dengan setengah hati. Pendeknya, mega-berantakan.

Sejak tiba di venue yang maha luas di Senayan, spirit saya spontan anjlok ke titik terendah saat disuguhi lanskap, orang Bali bilang, sepi dingkling. Padahal setting-an venuenya sudah keren. 4 panggung megah, soundsystem gahar, booth dengan pilihan makanan beragam (eh, tapi kok gak jual bir seeeh?), pokoknya, infrastrukturnya relatif memuaskanlah. Namun, ya percuma saja jika sepi pengunjung. Semangat semua pihak instan ambrol. Atmosfer lunglai, patah arang, lemah syahwat, telah mencemari udara sejak senja hari pertama itu. Pergantian dari satu band ke band lain, dari satu panggung ke panggung lain, berjalan datar-datar saja. Saya yang notabene masif minat menonton band yang reguler ditulis di majalah Gadis saat Bens Leo masih berkarir di situ, Acid Speed, Rolling Stones-nya Indonesia; terlanjur disfungsi ereksi terhadap JRP. Gairah Rock sudah hampir sirna. Atraksi Acid Speed di depan mata sekali pun tak sanggup mengacengkan lagi penis Rock ‘N’ Roll saya (pardon me, Mr. Rico Jagger, we’ll catch up next time—if I’m lucky enough). Hanya 4 pertunjukan di penghujung saja, The Upstairs, Pas Band, KOIL, dan terutama Shaggydog; yang agak sanggup menghidupkan nyala api Rock di JRP hari pertama. JRP hari ke-2 saya, well, ke Senayan sih tapi, um, batal datang ke JRP lalu memutuskan membelokkan kendaraan ke Jakarta Un-Rock Parade a.k.a. diskotek X2 di Plaza Senayan. JRP hari ke-3? Another Jakarta Un-Rock Parade: nonton orang main “prosotan setan” di Mal FX, masih di bilangan Senayan. Sorry, I had lost my appetite, could not help it.

Jakarta Un-Rock Parade day 2 – berpelesir ke X2

Jakarta Un-Rock Parade day 3 – main prosotan di Mal FX

Menurut saya, faktor terbesar dari kegagalan JRP adalah harga tiket yang terlalu tinggi. Bandingkan saja dengan, katakanlah, Soundrenaline. Lepas dari masalah selera, simak deretan bintang-bintang yang ditampilkan. Slank, Padi, Dewa19, Sheila On 7, Peterpan, Samson, dkk. Dengan pilihan band-band seperti itu, tanpa perlu otak sekelas Einstein di atas kertas band-band tersebut akan mendatangkan massa berjumlah besar. Pasti acaranya jadi ramai, penuh penonton. Tapi apa iya, jika harga karcis dinaikin jadi Rp 200 ribu, akan tetap bisa menciptakan tumpah ruah manusia? Belum tentu kan? Biar kata dia Slankers, Sobat Padi, atau Baladewa nan militan, menghabiskan uang sejumlah Rp 200 ribu ya musti menyesuaikan dengan Upah Minimum Regional pribadi, atau membujuk ortu dengan histeris, atau berantem gede-gedean dulu dengan bini. Di negeri miskin-kacrut bernama Indonesia, Rp 200 ribu itu nilainya hampir setengah bulan gaji. Pilih kasih makan anak istri atau berdendang mengikuti Ariel Peterpan? Kecuali anda penganut Habibienomics (baca: skala prioritas di luar logika), maka dengan mudah anda menjatuhkan pilihan, tahu mana yang harus didahulukan. Dengan sorot perspektif sesederhana dan sebegitu banal, maka gampang diprediksi ketika JRP menetapkan harga tanda masuk semenjulang itu, Rp 200 ribu, maka JRP niscaya akan melarat di kuantitas penonton. Saya berani menyimpulkan demikian sebab, dalam skala kecil, saya juga lumayan reguler menyelenggarakan pertunjukan musik, utamanya Rock (meaning: tough, difficult, very small money, vertigo-guaranteed). Saya selalu lebih memilih menawarkan harga tanda masuk semurah mungkin, sebab saya amat sadar bahwa komunitas Rock ini sangat price-sensitive. Jika ternyata dari hasil kalkulasi dan negosiasi ternyata pertunjukan yang hendak saya buat, misalnya harga tanda masuk menurut saya over price maka saya lebih memilih untuk membatalkan niat bikin acara. Daripada acara saya sepi dingkling, mending nonton aja sambil beer-drinking. Dan itu pun dari sebegitu rutin bikin acara—dengan format berpikir murah-meriah tadi—tak juga menjadi jaminan bahwa pertunjukan yang saya bikin akan berujung sukses, selalu banjir pengunjung, apalagi untung. Trus, bagaimana dengan konser seperti My Chemical Romance, kan harga tiketnya anjing banget tuh, sampe setengah juta lebih, kok tetep rame aja? Itu jenis penontonnya sedikit berbeda (dan tak mengenal Suckerhead atau Fable, pastinya), DAN konsepnya mengikuti selera pasar. Hanya saja levelnya di high-end. Dipahami?

Oh well, walau bisa disebut gagal, saya pribadi masih berharap akan diadakan lagi Jakarta Rock Parade seri 2. Sebab konsepnya sudah amat bagus: pelesir campur pendidikan, simultan berjalan berbarengan. That’s totally awesome.

Terakhir, semoga sudut pandang ini bisa jadi salah satu bahan pertimbangan seandainya ada yang nekat menyelenggarakan Jakarta Rock Parade seri 2 atau pertunjukan “berbahaya” sejenis. Jangan dulu putus asa, maju terus musik Indonesia!

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

RUDOLF DETHU

Scroll to Top