search

PADA PAGEBLUK INI, SKENA BALI PALING BERNYALI

Great art comes from great pain. Mungkin inilah fenomena yang sedang terjadi di skena musik Pulau Bali. Para seniman malah menjadi kian kreatif kala digencet nestapa. Musisi, terutama beberapa bulan belakangan ini, kembali meramaikan belantika. Entah merilis karya, entah konser virtual dan di jagat nyata. Faktor signifikan lain yang membuat kancah musik di Bali tetap tegar tentu saja karena ekosistem musik di Bali yang kokoh dan terbilang komprehensif, semua syarat telah komplet. Hantaman Covid-19 cuma menggoyahkan fondasi sementara. Cuma gegar sebentar, bukan ambruk.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
The Hydrant tampil di acara Halloween di Wishing Well, sentra kesenian baru di Uluwatu. | Foto. Ucok Olok.

PADA PAGEBLUK INI, SKENA BALI PALING BERNYALI
[KALEIDOSKOP BELANTIKA DEWATA 2020]

Menuju Mati Akibat Pandemi

Salah satu sektor paling sempoyongan akibat diterjang pagebluk adalah pariwisata. Tak aneh jika ekonomi Bali yang amat dominan tergantung pada turisme berujung oleng lalu terjungkal. Kemudian melebar pada nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan di Pulau Dewata, juga rebah terjengkang. Termasuk musik.

Skena musik terseok, pingsan, dan sekarat. Mati? Menariknya … tidak. Jika mengacu pada pepatah lama yang bilang “great art comes from great pain” mungkin inilah fenomena yang sedang terjadi. Para seniman malah menjadi kian kreatif kala digencet nestapa. Musisi, terutama beberapa bulan belakangan ini, kembali meramaikan belantika. Entah merilis karya, entah konser virtual dan di jagat nyata. Yang jelas: bangkit dari semaput.

Faktor signifikan lain yang membuat kancah musik di Bali hanya hingga dalam keadaan koma, belum sampai wafat, tentu saja karena ekosistem musik di Bali yang kokoh dan terbilang komprehensif, semua syarat telah komplet. Hantaman Covid-19 cuma menggoyahkan fondasi sementara. Cuma gegar sebentar, bukan ambruk.

Malah, setelah sebelumnya bungah menyeruak menjadi kekuatan baru nan unik di Indonesia—menyusul dan nyaris sepantaran denyutnya dengan dinamika musik di Jakarta, Bandung, dan Yogya—kini di masa pandemi ini, barangkali Bali merupakan daerah yang skena musiknya paling bergairah di seluruh Indonesia. Utamanya tiga bulan belakangan ini, aktivitas berdendang di jagat maya mulai dikurangi dan tampil secara fisik menjulang banyak. Khususnya di seantero Bali Selatan. Hampir selalu pada Jumat, Sabtu, dan Minggu terselenggara konser di sana-sini. Ketika daerah lain di Indonesia baru pelan-pelan mulai beraksi di konser luring (offline), Pulau Dewata telah tancap gas jauh duluan.

Ekosistem Musik Komplet Komprehensif
Sekali lagi, ini bisa terjadi karena ekosistem musik di Bali telah solid dan lengkap di segala aspek:

1. Berlimpah Band, Biduan, dan Biduanita.
Setelah grup-grup musik pendahulu berhasil menggebrak kancah musik nasional (dan internasional) seperti Superman Is Dead, Navicula, The Hydrant, Nosstress, Scared of Bums, Parau, Trojan, dsb, di tahun 2020 ini muncul menyembul nama-nama baru yang langsung menyentak atensi publik akibat mutu musikal mereka yang mengagumkan semisal Manja, Truedy Duality, Soulfood, Soul & Kith, dan Modjorido. Skena musik di Bali bergerak menuju kutub positif. Ramai, meriah, heboh.

Manja, salah satu grup musik paling menonjol di Bali hari ini. | Foto: Manja.

2. Label Rekaman nan Produktif.
Lahirnya label rekaman Pohon Tua Creatorium yang begitu aktif menggaet talenta-talenta muda “berbahaya” serta ultra produktif merilis karya-karya berkualitas baik terbukti membuat skena kian riuh dan menarik.

Para musisi, petinggi, serta kolega dekat label rekaman Pohon Tua Creatorium. | Foto: PTC.

3. Ruang Berekspresi & Pertunjukan Berserakan.
Tempat-tempat untuk unjuk gigi ada banyak bertebaran di Bali serta cenderung mudah diajak bekerjasama. Di sekitar Sanur ada Rumah Sanur dan Bhineka Muda, Taman Baca Kesiman, serta yang baru saja selesai direnovasi: Antida Sound Garden. Di seputaran Denpasar ada Kopi Djoglo, Two Fat Monks, dan yang paling baru: Bákkhos Bar. Jauh di Selatan, Uluwatu, Wishing Well menjadi tempat kongkow-kongkow anak skena paling mutakhir.. Di Kuta ada Twice Bar dan Hard Rock Cafe. Di Canggu terdapat Gimme Shelter, Deus Ex Machina, Old Man’s, juga yang paling aktif selama pagebluk: X-Bar. Setiap tempat yang disebut barusan semuanya amat terbuka dan nyaris tanpa birokrasi ribet kalau mau menggunakan tempat tersebut untuk, misalnya, pesta peluncuran album. Tinggal kontak dan cocokkan jadwal serta urusan penjualan tiket, bagaimana pola pembagian keuntungan. Gampang, ringan, lancar.

4. Intensitas Konser yang Frekuentif
Kala di masa Covid-19 sekali pun pertunjukan musik hidup rutin berjalan (dengan tetap patuh pada protokol kesehatan, pastinya). Apalagi di saat sebelum pandemi, wah, hampir pasti ada konser di setiap akhir pekan. Entah di jantung kota Denpasar, di Sanur, Nusa Dua, Ubud, Kuta, di banyak penjuru di Bali. Ada terus. Sampai sering bingung memutuskan bagusnya pergi ke pertunjukan yang mana.

5. Grammy Awards Versi Lokal
Jangan kaget jika Bali punya versinya sendiri: Anugerah Musik Bali. Sepertinya belum ada wilayah lain di Indonesia yang berani melakukan hal senada. Baru Bali yang bernyali. Artinya Bali punya rasa percaya diri besar bahwa sudah pantas dilaksanakan. Karena memang secara de facto belantika musiknya dinamis, produknya berlimpah beredar, infrastruktur mendukung, pun prestasinya terbilang menjulang. Memang, belakangan di Pulau Seribu Pura aktivitas yang berkaitan dengan musik hidup kembali hidup. Di luar pertunjukan musik Top 40 yang bertebaran di seluruh penjuru Bali dan berlangsung tujuh kali seminggu, juga skena indienya ijo royo-royo. Tahun depan pun Anugerah Musik Bali sudah dicanangkan jadwal tentatifnya: di pertengahan tahun atau setelahnya.

Panitia Anugerah Musik Bali 2020, Februari, tahun kedua, dengan latar belakang para pegiat dan penggiat musik Bali. | Foto: AMB.

6. Atmosfer Berkesenian nan Adem.
Yang terjadi di Bali, di antara musisi, terjadi harmoni yang begitu asri. Dari situ, kerap berujung pada kolaborasi. Kompetisi bukan dijauhi, pasti saja ada. Tapi cenderung rendah penerapannya. Satu sama lain seniman lebih menyukai keseharian yang guyub tanpa gejolak sosial berarti, tidak dalam akselerasi kencang dengan oktan tinggi layaknya iklim kompetisi. Situasi macam begini sangatlah membantu menguatnya skena musik di Bali sebab para anak band saling membantu, baku dukung, Semua riang dan bahagia. Atmosfer macam beginilah yang kemudian berujung pada kancah musik yang gemah ripah loh jinawi.

Tolong minggir sebentar. Bali mau maju, beri posisi terdepan. Selamat Tahun Baru, anak skena!

RUDOLF DETHU

_________

Artikel ini pertama kali tayang di Supermusic ID pada Jumat, 22 Januari 2021.

• Baca juga GELIAT MUSIK BALI: KECIL, KUAT, BERBAHAYA.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top