Rebel Radio Indonesia: Persetan Dogma Usang!

Semuanya berawal dari kegusaran soal seberapa seragamnya siaran radio yang ada di Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
RRI-Logo

Semuanya berawal dari kegusaran soal seberapa seragamnya siaran radio yang ada di Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Coba saja perhatikan dari sisi yang paling sederhana: rangkaian tembang yang diputar ke pendengar, antara satu radio dengan lainnya rata-rata pilihannya sama atau mirip. Hampir nihil dan/atau sangat sedikit yang menawarkan sesuatu yang segar karena berbeda. Jika pun ada biasanya persembahan lagu-lagu yang lain dari biasanya tersebut cuma dijatah seminggu sekali serta kerap ditempatkan pada jam-jam “maling beroperasi”. Belum lagi variasi acaranya yang cenderung miskin peduli terhadap situasi-kondisi Bali (apalagi Nusantara) yang faktanya sedang nelangsa baik dalam konteks sosial, ekologi maupun ekonomi. Kebanyakan membahas tentang remeh temeh siapa galau siapa jomblo, dramatisasi ramalan bintang, kirim mengirim salam yang mengesankan aktivitas komunal walau sejatinya sering terpeleset ke fenomena “my friends are better than your friends”; lalu kedangkalan itu dilengkapi pula dengan padu paksa penggunaan istilah lu-gue yang paceklik lokalitas serta pekat sikap rendah diri pada Bali sebagai, katakanlah, nusa dan bangsa. Memang tak semua radio macam demikian. Ada beberapa—tepatnya sedikit—yang mencoba keluar dari stereotip tersebut. Namun tetap saja susah bagi mereka untuk ultra liar berimprovisasi akibat tekanan pemilik modal yang umumnya ingin bermain aman, harus bertahan dengan pola mainstream, alias setia pada status quo.

DiscoRebel-logo
HelloWhereAreYou-logo
Progrebsive-logo
ViveLeRock-banner

Dan gusar saja tidak cukup. Dan tiada gunanya saling menyalahkan. Tindakan nyata harus segera diambil, aksi mesti direalisasi: mendirikan institusi radio sendiri. Begitu keputusan bulat kami—saya, Marlowe, Ayip, Dodix, Ridwan dan JRX. Sang punk rock prince charming, JRX, muncul dengan ide brilyan dalam pemilihan identitas: Radio Rebel Indonesia (yang kemudian berevolusi menjadi Rebel Radio Indonesia). Nama tersebut memang serupa tapi tak sama dengan radio milik pemerintah Radio Republik Indonesia yang jika disingkat keduanya menjadi RRI. Skenarionya memang sengaja dirancang demikian: RRI baru menggugat RRI lama yang kaku, kuno, lamban dan membosankan. RRI baru memberontak dari pola stabilisasi semu warisan Orde Baru yang tampaknya (tanpa disadari) masih patuh diamini oleh RRI lama. Maka slogan Rebel Radio Indonesia pun benderang menjelaskan fondasi pergerakannya: Dekonstruksi. Rekonstruksi | Kami meruntuhkan segala dogma usang serta mereka ulang kebuntuan sudut pandang.



Memang, Rebel Radio Indonesia masih bayi, baru mulai mengudara (lewat jagat maya) sejak 12/12/12. Namun gebrakan yang kecil ini bukan mustahil agresif membesar dan menguat dalam waktu singkat sebab telah terkonsep dengan cermat. Semisal pilihan lagu-lagunya, sangat lain dengan yang diperdengarkan di radio-radio pada umumnya. Bukan cuma musik modern/alternatif yang tayang hampir tiap hari (jam 6-10 malam), tapi juga akan memainkan simfoni klasik (Orchestra Pit, saban Minggu, 6-8 malam), bahkan alunan musik Bali kontemporer pun akan ditayangkan (Balungan, saban Selasa, 8-9 malam). Serta, selain yang disebutkan barusan, yang sejauh ini telah matang digodok adalah acara khusus mingguan dari para pendiri RRI yaitu SoundBwoy Dodix tiap Jumat pukul 4.20-5.20 sore dengan Disco Rebel (khusus memutar tembang-tembang ska, reggae, dub, dancehall dan sejenisnya), Marlowe Bandem tiap Sabtu pukul 8-10 malam dengan Manic Metronomes (penjelajahan rupa-rupa musik electronica dan per-DJ-an), Ayip tiap Rabu pukul 6-8 malam dengan Progrebsive (fokus pada kawasan prog, art rock, monumental, dan senandung intelektual lawas), Ridwan Rudianto tiap Senin pukul 7-9 malam dengan Hello: Where Are You (berkonsentrasi pada nada-nada sendu, sepi menerawang, glamour-galau, floating in space), Lecir tiap Sabtu pukul 7-9 malam dengan Bowmore Pioneers (menyoroti skena melodic punk serta punk rock 90an pada umumnya), dan saya sendiri tiap Kamis pukul 7-9 malam dengan Vive le Rock (mengulik musik dari sudut pandang sejarah, evolusi, kepustakaan, serta pecicilan mengurusi nitty gritty). Di kemudian hari rencananya bakal disediakan juga jam khusus untuk diskusi-diskusi progresif dengan melibatkan komunitas-komunitas yang selama ini aktif menyuarakan perubahan.

Ayo dekonstruksi. Lalu rekonstruksi.

________________

*Silakan kunjungi situs resmi Rebel Radio Indonesia: http://rebelradioindonesia.org
*Artikel yang saya tulis ini pertama kali tayang di majalah Bog Bog edisi Januari 2013

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top