search

Roman Foot Soldiers: Waterfront

Label yang belakangan sedang naik daun akibat deretan artisnya yang terseleksi dengan baik, Sinjitos Records, kembali menampilkan muka relatif baru: Roman Foot Soldiers.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

↓ For English version please scroll down

Label yang belakangan sedang naik daun akibat deretan artisnya yang terseleksi dengan baik, Sinjitos Records, kembali menampilkan muka relatif baru: Roman Foot Soldiers.

Sekitar sebulan lalu kelompok pengusung pop/electronic ini baru saja merilis videoklip untuk lagu “Waterfront” yang notabene adalah juga single utama untuk mini album bebas unduh mereka, Kitsilano. “Waterfront” berkisah tentang sebuah kondisi dimana seorang yang ingin mencari keselamatan justru berujung dipaksa menjadi si penyelamat. Suatu keadaan yang tidak diharapkan akan terjadi. Di sisi lain tembang ini pula berusaha merefleksikan perasaan saat sedang berlayar di laut lepas.

Videoklip “Waterfront” merupakan hasil kolaborasi antara duo dedengkot fashion ibukota, Nicoline Patricia Malina dengan Anindita Saryuf. Sementara Joseph Saryuf, suami Dita, bertindak sebagai produser lagu “Waterfront”. Disebutkan bahwa Joseph sukses mematangkan arahan musikal Roman Foot Soldiers. Eksplorasi bebunyian, tata suara, pola dan aransemen lagu tergambar dengan jelas dari berbagai “perjalanan” yang terdapat di lagu ini, dengan tujuan mengilustrasikan berbagai macam perasaan tersebut. Bergerak dari sebuah verse yang menggambarkan perasaan bimbang dan mengawang tanpa arah, lagu ini kemudian menuju ke bagian chorus yang ceria, mengilustrasikan perasaan terlepas dari kondisi yang kurang menyenangkan.

Roman Foot Soldiers sendiri sejatinya telah berdiri sejak 2005. Dibentuk di Vancouver, Kanada, oleh 6 mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di sana. Nama Roman Foot Soldiers dipilih sebagai bendera akibat kesukaan Tim Matindas (biduan), Gogor Yudo (gitar), Prianka Bukit (gitar), Reza Adhitama (bas), Josh Hartana (keyboard & synth), dan Luky Ginting (drum), terhadap epos film perang serta kesetiakawanan. Keseriusan mereka nge-band makin bertambah ketika masuk 3 besar festival di negara bagian British Columbia, UBC Battle of the Bands, yang kala itu diikuti oleh lebih dari 50 kontestan. Pada musim panas 2010 sextet ini akhirnya pulang ke Nusantara setelah menyelesaikan kuliah masing-masing.

Silakan berselancar ke YouTube demi menyimak “Waterfront” serta kunjungi secara berkala halaman Facebook page Roman Foot Soldiers untuk memperoleh kabar termutakhir dari mereka.

English version

Sinjitos Records, an established Indonesian record label, has signed a new band: Roman Foot Soldiers.

Around a month ago this pop/electronic collective released a videoclip for “Waterfront”, the main single for their free download EP, Kitsilano. The video clip is directed by a collaborative duo of Nicoline Patricia Malian and Anindita Saryuf, both are know as key people in fashion. Anindita’s husband, Joseph Saryuf, acted as the producer of the song.

The Roman Foot Soldiers themselves actually came together in 2005 as a six Indonesian university students while they studied in Vancouver, Canada. They became more confident doing their act after they got into the big three of University of British Columbia’s Battle of the Bands. In summer 2010, after finishing college, they all decided to go back to Indonesia and worked together with Sinjitos Records in Jakarta.

Keep yourself updated by joining the Roman Foot Soldiers Facebook page.

[youtube]http://www.youtube.com/watch?v=fITnVm0zAHo[/youtube]

*This article was firstly published on The Beat (Jakarta) #56, Jan 23 – Feb 05, 2012
*Photos by Andre Wiredja

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top