search

The Flowers Kembali Datang, Berdendang & Menang

Adalah kisah jamak ketika sebuah grup musik---dalam konteks ini musik cadas---yang dulu pernah besar, sempat mencicipi segepok fame & fortune, kangen untuk kembali tampil di depan publik seraya berharap semoga ketenaran dan kesejahteraan bermurah hati menghampiri kembali. Namun dalam prakteknya, sebagian penggemar di masa lalu sudah beranjak uzur serta lebih memilih menjalani hidup "normal", menjauh dari segala gemah ripah Rock-n-Roll. Sementara generasi yang lebih muda justru gersang rasa kedekatan dengan band baheula tersebut. Adalah kisah jamak pula ketika pada akhirnya mimpi menggapai bintang untuk kali kedua berakhir menjadi sekadar ilusi.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Adalah kisah jamak ketika sebuah grup musik—dalam konteks ini musik cadas—yang dulu pernah besar, sempat mencicipi segepok fame & fortune, kangen untuk kembali tampil di depan publik seraya berharap semoga ketenaran dan kesejahteraan bermurah hati menghampiri kembali. Namun dalam prakteknya, sebagian penggemar di masa lalu sudah beranjak uzur serta lebih memilih menjalani hidup “normal”, menjauh dari segala gemah ripah Rock-n-Roll. Sementara generasi yang lebih muda justru gersang rasa kedekatan dengan band baheula tersebut. Adalah kisah jamak pula ketika pada akhirnya mimpi menggapai bintang untuk kali kedua berakhir menjadi sekadar ilusi.

Agak berbeda dengan fenomena come back yang coba dilakoni The Flowers. Paling tidak jika menyimak sambutan hangat publik terhadap album kedua mereka bertajuk Still Alive and Well serta konser yang sukses besar pada pertengahan April lalu di Score!. Sepertinya Dewi Fortuna konstan bersikap cukup ramah kepada ‘Njet (biduan), Boris (gitar), Leo (bas), Eugen (sax), dan Dado (drum). Benar, bahkan sejak sebelum album ke-2 dirilis, hype telah solid terbangun. Orang-orang ternyata tawakal menunggu hingga 10 tahun sejak album perdana, Tujuh Belas Tahun Ke Atas, diluncurkan. Pun penonton di Score! yang notabene merupakan gabungan antara penggemar lama (baca: lanjut usia) dan penggemar baru riang ria bahu membahu bersahut-sahutan turut mendendangkan Tolong Bu Dokter, tembang yang pernah membawa kelompok yang dulu hanya bernama Flowers saja ini ke puncak popularitas. Rajawali & Rajawati—sebutan khusus untuk loyalis The Flowers—yang lama ternyata masih setia, sementara yang baru perlahan tumbuhkembang muncul mengeras ke permukaan.

Rajawali—lagu andalan pertama mereka—pula lah yang belakangan giat diperkenalkan ke banyak orang baik lewat radio mau pun rentetan pertunjukan musik hidup. Silakan saksikan sendiri penampilan mereka yang sungguh energetik—Rock ‘n’ Roll, down, and dirty—pada 1 Mei di Fame Station, Bandung, serta 7 Mei di Rolling Stone Live Venue, Jakarta.

True, The Flowers are still alive and well worth waiting for!

____________________

*Artikel ini pertama kali tayang di The Beat Jakarta edisi April 2010
*Photo courtesy of Ardi

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top