search

Urban Jazz Crossover: Memudahkan, Meringankan, Menggembirakan

Jazz kerap divonis oleh sebagian kalangan sebagai musik sulit, susah dicerna, kurang membumi, dan beragam stigma sejenis. Di Indonesia sendiri perkembangan Jazz di masa-masa awal menemui kendala gigantik. Selain masyarakat umumnya belum siap dengan “kerumitan” musikal khas Jazz serta masih lebih memilih menyimak yang gampang dikonsumsi kuping, isu sumber daya manusia juga menjadi masalah signifikan: Nusantara kekurangan musisi handal lagi mampu meramu musik bikinan kaum kulit hitam ini. Namun, berkat usaha pantang menyerah dari segelintir penggiat Jazz lokal, eksistensi musik ini menunjukkan performa cukup baik, baik kualitas maupun kuantitas---pelan tapi pasti, lambat namun selamat---grafiknya terus menaik.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Maylaffayza
Jazz kerap divonis oleh sebagian kalangan sebagai musik sulit, susah dicerna, kurang membumi, dan beragam stigma sejenis. Di Indonesia sendiri perkembangan Jazz di masa-masa awal menemui kendala gigantik. Selain masyarakat umumnya belum siap dengan “kerumitan” musikal khas Jazz serta masih lebih memilih menyimak yang gampang dikonsumsi kuping, isu sumber daya manusia juga menjadi masalah signifikan: Nusantara kekurangan musisi handal lagi mampu meramu musik bikinan kaum kulit hitam ini. Namun, berkat usaha pantang menyerah dari segelintir penggiat Jazz lokal, eksistensi musik ini menunjukkan performa cukup baik, baik kualitas maupun kuantitas—pelan tapi pasti, lambat namun selamat—grafiknya terus menaik.

Dan hari ini publik penggemar musik sudah lebih dimudahkan dalam memahami Jazz dengan adanya Dji Sam Soe Urban Jazz Crossover dimana konsep globalnya adalah dengan meracik ulang lagu-lagu populer dengan diperciki sentuhan Jazz secukupnya—kadang di beberapa kesempatan agak eksperimental dengan memasukkan unsur etnik di sana-sini. Makin unik lagi ketika jajaran artis yang disuguhkan bukan melulu dari skena Jazz semata. Biduan dan biduanita dari wilayah Pop bahkan Rock pun diajak berperan serta di bawah arahan seorang music director yang tentunya paham betul seluk beluk Jazz.

Melanjutkan gilang gemilang setahun silam, di tahun 2010 Urban Jazz Crossover diselenggarakan kembali, menyebar ke beberapa metropolitan. Setelah di pagelaran sebelumnya menghadirkan sosok macam Andy /RIF, Candil, Ari Lasso, Glenn Fredly, dsb; maka di kesempatan ke-3 ini figur yang dimunculkan di antaranya ada Indra Lesmana, Achmad Albar, Ello, Sandhy Sondoro, Dewi Sandra, Kikan Cokelat, Ipang BIP, Maylaffayza, serta beberapa nama tenar lainnya. Selain mempersembahkan varian penampil dari beragam genre dan generasi, pertunjukan ini juga didukung tata visual serta suara nan atraktif semisal panggung berukuran 17 x 14,5 meter dengan Moveable Projected Backdrop 5 x 7 M di atasnya. Belum lagi lighting berkekuatan 150.000 watt pula sound bertenaga 30.000 watt.

Ello & Glenn
Ello – photo: Sony Music | Glenn Fredly – photo: Jakarta Weekend

Berikut jadwal masing-masing kota: Medan – JW Marriot (30 April), Bandung – Hilton (7 Mei), Semarang – Gemaya Tower (21 Mei), Jakarta – The Ritz-Carlton Pacific Place (11 Juni), Surabaya – Grand City Convention Center (18 Juni).

“Ada sekitar 20an lagu yang digarap. Dan tantangannya kali ini juga luar biasa karena lagu-lagu itu adalah anthem dan sudah sangat popular dan coba kita crossover-kan,” ujar EQ Puradiredja, sang music director, memberi sekeping bocoran tentang Urban Jazz Crossover termutakhir ini.

Yes, it’s about time to Jazz yourself up!

SEE ALSO
Domestic Groove: MAYLAFFAYZA
Domestic Groove: SANDHY SONDORO

__________________

• Artikel ini pertama kali tayang di majalah The Beat Jakarta edisi Mei 2010

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top