search

BHINNEKA, BINEKA, DAN PECEL LELE

Ketika mengaku nasionalis, seyogianya piawai membedakan serta kapan menggunakan "bhinneka" atau "bineka".
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Seandainya saja saya menjadi Penasihat Utama DPP Badan Bahasa PDI-Perjuangan maka saya bakal lekas mengambil langkah strategis. Segera saya hubungi fungsionaris DPP Departemen Agitprop, Politburo, Baliho, dan Reklame serta gugus tugas Tindak Preventif Penggunaan Spanduk Bekas pada Angkringan Pecel Lele, Burung Dara Goreng, dan Sari Laut, saya tegas perintahkan:

“Tit tit tolelot” (Dering girang dan nyaring Nokia pisang, sebersemangat Tung Desem Waringin.)

“Selamat pagi, saya bisa bicara dengan mas Wirabayu?”

“Pagi. Bisa. Saya sendiri Wirabayu Potekstengki Prawinegara S.H. Saya bicara dengan siapa? Oh, kang Rudolep ya! Gimana, kang, ada yang bisa dibantu?”

“Langsung saja ya, mas Yuk Potek (panggilan akrabnya). Menurut mas, ‘Bhinneka’ b-h-i-n-n-e-k-a itu bahasa Sansekerta atau Indonesia?”

“Sansekerta dong, kang.”

“Kalau bahasa Indonesianya?”

“Bukannya sama ya, kang Rudolep?!”

“Tidak sama, mas Yuk Potek. ‘Bhinneka’ itu sudah diserap menjadi bahasa Indonesia, disesuaikan dengan kaidah basantara kita, ejaan bakunya menjadi b-i-n-e-k-a. Alias, itu semua baliho segede Kongzilla ‘Kepak Sayap Kebhinnekaan’ adalah kurang tepat. ‘Bhinneka’ bakal tertulis demikian hanya saat menyebut ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Jika komunikasi verbalnya bahasa Indonesia ya gunakan ‘bineka’ dan segala variannya. Jadi, yang benar: Kepak Sayap Kebinekaan.”

“Waduh, terus gimana, kang??!”

“Ini perintah resmi DPP Badan Bahasa: sebagai organisasi dengan semangat berbangsa, bernegara, berbahasa—bangga menjadi Indonesia—maka secepatnya turunkan itu baliho dan spanduk sejumlah 791.482* di seluruh Nusantara. Ganti dengan kaidah kebahasaan baku. Pastikan juga spanduk-spanduk bekas tersebut tak bermuara di angkringan pecel lele!”

*berdasarkan rekapitulasi hitung cepat berjenjang, lewat padu padan teknik probability sampling, gaya sentrifugal, dan Hukum Bejana Berhubungan dikalikan dengan jumlah DPW dan DPD yang ada di 416 kabupaten dan 98 kota, margin kesalahan: 97,01%.

• Baca juga TANDA PETIK, TEGAK, ATAU MIRING.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top