BLITZKRIEG 3-CHORDS GABBA GABBA HEY | Punk, Propaganda, Pelopor, Predecessor, Progenitor
Ngomongin genre musik Punk, ingatan kita instan segera riang gembira tertuju pada Green Day, Blink 182, Sum 41, Rancid, atau Superman Is Dead juga Rocket Rockers—untuk menyebut musisi anak negri. Aliran yang pada awalnya dikenal sebagai Punk Rock—namun kini disebut “Punk” saja—sebenarnya punya sejarah lebar luas panjang. Ayo sekarang kita bahas singkat padat apa-gimana-kenapa kok bisa-nya Punk.
Semua bermula di klub CBGB, New York, tanah Paman Sam alias Amrik. Saat itu, sekitar 1974, band sebangsa Ramones, Talking Heads, Television serta penulis puisi merangkap penyanyi bernama Patti Smith, telah ofensif menggugah pemerhati musik Rock dengan konsep bermusik “marah, murah, meriah”nya (komplet dengan lirik bersahaja namun jujur bin “nendang”). Jaman itu, formula minimalis sedemikian rupa bukan hal lazim.
Kebanyakan band menjatuhkan pilihan pada racikan yang cenderung ribet, multi improvisasi, lirik-lirik puitis tipikal “rock star”. Sebaliknya, Ramones, sekadar menyebut contoh, kelompok yang terinspirasi oleh The Stooges, MC5 dan New York Dolls ini menolak kompleksitas berkesenian macem demikian. Hampir gak ada yang rumit di jazirah estetika Ramones. Musiknya cuman menjelajah chord-chord sederhana (beken divonis “3-chords” alias “3 jurus”). Liriknya tanpa basa-basi, bertema keseharian nan nyeleneh oh-vulgar, keras, skizofrenik, cepat—berdurasi paling hebat 3 menit—seringkali hanya 2 atau malah kurang. Jika Led Zeppelin—dalam konteks penamaan lagu—mencoba syahdu mendayu dengan Stairway To Heaven, Ramones justru hiper cuek bikin judul frontal plus pekat ritual obat bius picisan: I Wanna Sniff Some Glue (ha!). Pun wilayah pakaian. Jaket kulit, t-shirt, jeans komprang, sneakers, rambut poni jarang disisir a la “Beatles dari neraka”, adalah resep klasik dandanan Ramones. Pendeknya, tiap jengkal tampilan Punk, ya musik, ya lirik, ya busana, ya attitude, seluruhnya agresif mencuatkan nafas pemberontakan terhadap nilai-nilai konservatif yang dianggap terlalu mengekang kebebasan berekspresi kaum muda. Dari situlah terinspirasi muncul terminologi “Punk Rock” untuk merefleksikan gejala sub-budaya nan garang tadi. Di saat hampir bersamaan lahir pula fanzine berideologi sejenis (baca: anti kemapanan) bertitel Punk, yang digagas oleh duo Legs McNeil serta John Holmstrom.
Popularitas Punk mencapai titik kulminasi saat “Profesor Provokasilogi♣” Malcolm McLaren—setelah kecewa terhadap jebloknya derajat ketenaran New York Dolls yang dimanajerinya—kembali ke London dan menginovasi konsep radikal anti-establishment menuju level yang lebih ekstrem. Lewat butik kontroversial milik doi dan istrinya yang (juga) eksentrik bernama Vivienne Westwood, Malcolm berbenah mengumpulkan spesies-spesies yang dianggapnya bakal ultra efektif merepresentasikan ide gila yang ada di kepala. Dengan mencomot nama butiknya sendiri, Sex, Malcolm—yang telah menemukan profil-profil “idaman”nya—lalu mengarsiteki kemunculan sepucuk band paling sensasional sepanjang sejarah: Sex Pistols! Malcolm bertindak sebagai konseptor sekaligus manajer… um, tepatnya “propagandis”, dari Johnny Rotten cs. Desember 1976, Sex Pistols, diimbuhi deras propaganda kontra-monarkinya, supersonik memborbardir blantika jagat raya via single Anarchy In The U.K. (yang cuma dalam hitungan bulan mampu meraih tingkat penjualan duhai dahsyat). Sukses mengegelegar mahsyur tak cuma di Britania Raya, bahkan riuh gempita di berlusin mancanegara. Legiun remaja—dan para dewasa yang bertabiat remaja—berbagai penjuru dunia seketika serentak jadi penggila Sex Pistols + “agama” baru bertajuk Punk Rock. Diikuti dengan prestasi fantastis musisi asal Inggris lain kayak The Clash & Buzzcocks. Fenomena inilah yang bikin publik kerap pangling, hingga selanjutnya prematur beranggapan bahwa Punk lahir di Inggris dan Sex Pistols dinobatkan sohor sebagai pelopor. Bukan, Sex Pistols hanya salah satu dari pendahulu alias predecessor. Iya, Ramones yang paling pas disebut nenek moyang alias progenitor. Hey Ho Let’s Go!
♣ Provokasilogi = Disiplin ilmu yang membahas rupa-rupa manuver provokasi, efektivitas dan efisiensi penghasutan/agitasi, optimalisasi sensasi, serta serbaneka agresivitas yang menyebabkan gegar logika pada publik
(buka kamus “Kecian Deh Lu, Kagak Funkeeeh”, susunan Rudolf Dethu dan Malcom McLaren YME)
_____________________
*Tulisan di atas adalah gubahan saya tahun, um, 2003—atau 2004?—lupa, maaf. Saya sengaja tayangkan lagi karena saya pikir masih nyambung dengan situasi sekarang. Tulisan ini pernah juga muncul di majalah Poster (almarhum). Semoga ada gunanya.