Industri Vs Komunitas: Permintaan Pasar atau Loyalitas

Dari sebegitu panjang lebar kiat yang telah saya paparkan, baik internal maupun eksternal, selain merapikan urusan dalam negeri juga membangun imej serta kepercayaan pihak luar, perjalanan merintis karir di skena musik tampaknya tinggal menentukan keputusan nan menentukan alias paling final: melebur ke industri atau mendekat ke komunitas. Adalah memang, benar sekali, harus diakui bahwa menetapkan tujuan, membidik sasaran, mematok incaran, bukanlah bak memainkan dua sisi dari keping uang logam, atau semudah membalik telapak tangan. Sebab ini soal hidup mati, tentang masa depan. Jadi penggarisan takdir bagi diri sendiri jangan sampai salah, kudu super diseriusi. Untuk itu, mari saya beri perbandingan kelebihan dan kekurangan atara industri dengan komunitas.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Dari sebegitu panjang lebar kiat yang telah saya paparkan, baik internal maupun eksternal, selain merapikan urusan dalam negeri juga membangun imej serta kepercayaan pihak luar, perjalanan merintis karir di skena musik tampaknya tinggal menentukan keputusan nan menentukan alias paling final: melebur ke industri atau mendekat ke komunitas.

Adalah memang, benar sekali, harus diakui bahwa menetapkan tujuan, membidik sasaran, mematok incaran, bukanlah bak memainkan dua sisi dari keping uang logam, atau semudah membalik telapak tangan. Sebab ini soal hidup mati, tentang masa depan. Jadi penggarisan takdir bagi diri sendiri jangan sampai salah, kudu super diseriusi. Untuk itu, mari saya beri perbandingan kelebihan dan kekurangan antara industri dengan komunitas.

Industri
Memilih masuk ke wilayah ini berarti harus ikhlas membuka lebar-lebar pintu kompromi. Sebab yang namanya industri itu biasanya skalanya luas. Alias pangsa pasar yang hendak dicapai demografinya duhai lebar, mencakup bermacam kalangan, dari kelas rakyat hingga priyayi, relatif tanpa batas. Dan industri paralel dengan bisnis, berdasar pada fondasi komersial, kental dengan orientasi profit. Makin banyak orang yang bisa dipuaskan, makin banyak uang yang dihasilkan. Selera pasar adalah panglima. Begitu kira-kira ilustrasi gampangnya.

Yang disebut industri di lingkup musik Nusantara salah satunya adalah perusahaan rekaman besar (major label) macam Sony Music, Warner, Musica, dsb. Nah, seandainya Trio Kiamat Raya berminat mencemplungkan diri di sini maka mereka harus paling pertama bersiap soal mau tidaknya karya seni mereka diotak-atik. Jamak diketahui bahwa major label punya kebiasaan ikut campur mengurusi lagu sampai sebegitu rinci—dan kerap kali sebuah tembang akibat dirombak sebegitu radikal bahkan sang pengarang jadi tak mengenalinya lagi (!). Belum lagi lain-lain bentuk intervensi yang menyentuh hampir segala lini.

Bagi musisi idealis, bentuk “partisipasi” tanpa diundang ini tentu dianggap mengganggu—bahkan dikategorikan sebagai “kejahatan”. Namun, jika bicara skala dan tingkat kesejahteraan jika sukses menundukkan industri maka fame and fortune bakal menjulang. Ketika telah tiba di titik ini, istilahnya, tinggal mendulang uang, menjaga ketenaran doang. Sudah tak lagi perlu (terlalu) bersusah-susah.

Komunitas
Bicara komunitas sama dengan bicara akar rumput, mulut ke mulut, pendekatan intens serta kerja keras terus menerus. Skalanya pun lebih sempit, lingkup terbatas, dan menyasar kalangan tertentu. Jika industri formasi hubungannya mengarah vertikal, atas-bawah, maka komunitas pendekatannya horizontal, menjangkau ke samping.

Konstruksi hubungan antara musisi dengan komunitas mirip dengan jaringan perkawanan. Skalanya lebih sempit, lebih mementingakan kualitas dibanding kuantitas. Kita datang sebagai teman, mengakrabkan diri terlebih dahulu sampai tumbuh rasa percaya. Baru kemudian mengabarkan bahwa kita mempunyai sebuah ide unik, membawa sepucuk musik menyegarkan, seraya menerangkan alasan kenapa hasil karya kita itu baik dan seyogianya didengarkan.

Saat Trio Kiamat Raya masuk bergaul ke komunitas pecinta motor chopper—sekadar menyebut contoh—lewat komunikasi hangat dan intens mestinya bisa agresif diyakinkan bahwa album paling gres berjudul Bising, Cepat, dan Berisik berkaitan erat dengan keseharian para anak motor. Begitu pula paguyuban penggila boots Doc Martens, harusnya memiliki simpati berlebih ketika disampaikan fakta bahwa biduan Trio Kiamat Raya berprilaku fanatik sejenis.

Yang kita sasar adalah terbangunnya rasa percaya—yang berujung pada loyalitas. Tabiat Trio Kiamat Raya yang berangasan di panggung, bersenandung setengah berteriak, mengecat rambut berwarna shocking pink sekali pun sudah bukan masalah lagi. Ketika komunitas kukuh percaya, maka mereka teguh setia. Mereka akan menunjukkan dukungan entah dengan membeli karya atau membeli karcis untuk menonton konser Trio Kiamat Raya.

Pendeknya, Trio Kiamat Raya bisa bebas menjadi diri sendiri, terbebas dari tuntutan manggut-manggut pada selera pasar. Belum lagi biasanya yang terjadi di komunitas adalah penyebaran berita dari mulut ke mulut yang efektif, pesat mendongkrak popularitas dan loyalitas sebab didasari oleh rasa percaya, apresiasi tulus yang muncul langsung dari hati.

Sisi tengik dari praktek pendekatan ke komunitas adalah intensitasnya yang melelahkan. Tidak bisa grasa-grusu, harus dengan kecepatan terjaga, sejak awal harus memberi kesan baik (dan tentu harus juga didasari itikad baik). Datang bergaul pun tak bisa cuma sekali, sering harus berkali-kali demi meyakinkan komunitas bahwa kalian memang klop jiwa dan raga dengan mereka.

Begitu komunitas chopper berhasil “dijinakkan”, berlanjut lagi dengan paguyuban penggila Doc Martens. Ngulang lagi dari awal. Strategi pendekatannya bakal beda lagi. Begitu terus menerus. Itu pun kita harus rajin mengawal kedekatan tersebut dengan tekun menjaga hubungan baik, komunikasi terus terbina hangat.

Tak seperti di industri, palingan kirim demo ke major label, menunggu berita, jika dianggap memenuhi syarat langsung dipanggil, bertemu, diminta berkompromi, mencapai kata sepakat, tandatangan kontrak, rekaman album perdana, disiapkan gono-gini promosi, seandainya album meledak ya sudah, fame and fortune tercapai sudah. Perjuangan di industri lebih ke menunggu apa demo diterima, dianggap memenuhi syarat atau tidak. Kalau tak diterima ya coba lagi, rombak demo lagi, kirim lagi. Cuma antara band dengan petinggi major label. Sementara di komunitas hubungannya antara band dengan kumpulan individu, agak lebih ribet.

Walau pun keadaan seperti di atas tak berlaku mutlak, ada perbedaan di sana-sini, tapi kira-kira situasinya macem demikianlah:
1. Mengikuti selera pasar
2. Atau terus percaya memainkan karya sesuai kata hati.

Atau…

(3) Mengikuti selera pasar dulu, ketika pasar sudah percaya, baru kemudian mulai pelan-pelan memasukkan karya sendiri yang sesuai kata hati?

You tell me.

_______________

*Artikel ini pertama kali tayang di Langit Musik
*Tulisan ini adalah seri ke-6 dari rangkaian tulisan saya yaitu [1] Tak Ada Gunanya Punya Akun Bejibun, [2] Propaganda Sederhana Tepat Guna, [3] Pemuja dan Pemuji: Kelola dan Mobilisasi, [4] Turun Gunung, Bung, dan Esprit de Corps: Padu Bersatu Menuju Top
*Foto di halaman depan dipinjampakai dari lordofthebottlespot.com dan foto di halaman dalam dipinjampakai dari clickdagger.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top