search

LOLONG ANJING WAHAB

Sebuah puisi memikat untuk merayakan Hari Literasi Internasional.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Kemarin, 8 September, adalah Hari Literasi Internasional. Bagi saya, literasi—membaca, menulis, kebahasaan, kemampuan mengolah informasi—adalah panglima peradaban, kunci utama bagi kemajuan sebuah bangsa. Literasi mesti dikonstruksi secara baik sejak kanak-kanak. Seperti kata eksekutif tenar dan filantropis James L. Barksdale: “If you want to work on the core problem, it’s early school literacy.”

Sementara itu, mengacu pada hasil survei yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development pada 2019, tingkat literasi di negeri ini tergolong sangat rendah. Minat baca masyarakat Indonesia menempati urutan ke 62 dari 70 negara, alias berada di 10 negara terbawah.

Fenomena menyedihkan (istilah lebih beradab dari “memalukan”) itu tergambar gamblang kala virus Corona menerjang. Mulai dari pemerintah dengan kebijakan yang selalu reaktif lalu ditimpali strategi ngawur bak slonong boy, tak pernah punya kiblat jelas bagaimana menanggulangi katastrofe dengan efisien dan efektif; juga warga negara yang kerap terjebak hoaks, khas kacamata kuda nan malas berpikir yang berdampak pada begitu mudah membengongi teori konspirasi. Jadi tak perlu heran hingga hari ini pun negeri ini belum muncul titik terlalu terang di ujung terowongan, kapan pandemi bisa disudahi.

Puisi yang saya tulis ulang ini sekadar mencoba berpikir positif, dan tidak saling menyalahkan (lagi). Bahwa NKRI masih ada peracik kata-kata yang mengagumkan, literasinya saya tebak pasti memikat. Pula, walau pilihan diksinya pelik-canggih, rimanya tetap terjaga.

Jaya wijaya literasi Indonesia!

NB: Saya bukan pakar puisi. Kebetulan melihat ini di koran Tempo akhir pekan lalu dan terkesima.

Judul puisi: Lolong Anjing Wahab.
Penulis: Yohan Fikri.

Baca juga ALBERT CAMUS: L’ÉTRANGER.

________

Featured image: The Mind Blossom.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top