Q: Are They Not Manimals? A: They Are Sajama Cut!

Dari sedemikian padat populasi penggiat Indie, yang berhak mendapat atensi gigantik, menurut saya, cuma sejumput. Satu di antara yang sedikit itu adalah Sajama Cut. Selain menonjolkan karakter lirik non-konvensional dan bernuansa abstrak---via Bahasa Inggris yang sempurna---pula menggunakan pendekatan musikal berbeda: Indie Rock nan dinamis, terus berevolusi, tanpa limitasi, kerap memasukkan unsur-unsur musik baru, suatu masa bernafas Country & Folk, suatu saat bernuansa Chamber Pop, suatu ketika ada warna Electronica.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Dari sedemikian padat populasi penggiat Indie, yang berhak mendapat atensi gigantik, menurut saya, cuma sejumput. Satu di antara yang sedikit itu adalah Sajama Cut. Selain menonjolkan karakter lirik non-konvensional dan bernuansa abstrak—via Bahasa Inggris yang sempurna—pula menggunakan pendekatan musikal berbeda: Indie Rock nan dinamis, terus berevolusi, tanpa limitasi, kerap memasukkan unsur-unsur musik baru, suatu masa bernafas Country & Folk, suatu saat bernuansa Chamber Pop, suatu ketika ada warna Electronica.

Pertama kali merilis album penuh, Apologia, secara swadaya pada 2002, secara mengejutkan memperoleh respons cukup baik: terjual 1000 kopi dengan promosi amat minim. Berlanjut dengan keterlibatan mereka di beragam album kompilasi macam Total Feedback, Crackin’ d Egg, OST JKT:SKRG, OST Janji Joni, dari 2003 – 2005; hingga kemudian menerbitkan album penuh kedua, The Osaka Journals, pada September 2005. Sambutan yang diterima kembali gempita. Paling tidak tergambar lewat single pertama, Less Afraid, selain frekuentif diputar juga merenggut posisi adiluhung di beragam radio di seantero Indonesia mulai dari Jakarta; Bandung, Yogya, sampai wilayah Sumatera. Belum lagi profil mereka yang rajin menghiasi hampir tiap media pop di ibukota. Dan yang paling mengesankan: The Osaka Journals, oleh sebuah koran berbahasa Inggris terhormat lokal disebut sebagai 1 dari 5 album terbaik dekade 2000.

Grup asal Jakarta dengan konseptor utama Marcel Thee ini kini didukung oleh Dion Panlima Reza, Randy Apriza Akbar, Hans Citra, Andreas Humala, dan Banu Satrio serta baru saja merilis single terbarunya beberapa pekan silam, Paintings/Pantings. Tembang menawan berwatak Baroque Pop ini mengedepankan harmonisasi vokal ala Beach Boys serta padu padan antara Van Dyke Parks dengan Lee Hazlewood, komplet dengan penggunaan instrumen-instrumen “ajaib” yang notabene jarang dipakai oleh musisi-musisi Nusantara macam Terompet Perancis, string quartet, perkusi-perkusi unik, dll. Rencananya di bulan April akan menyusul album penuh ketiga mereka yang dijuduli Manimal, di bawah label The Bronze Medal Recording Company dan berisikan beberapa lagu baru di antaranya Untitled #4, Whores of The Orient, Paintings/Pantings, Twice (Rung the Ladder), Hunted Lights, Street Haunts, dsb.

Demi merajam rasa penasaran, datang dan saksikan sendiri penampilan mereka di The Beat Rock Fest # 2, di hari Kamis, 8 April 2010, di kafe Eastern Promise, Kemang.

SEE ALSO
Melepaskan Progresi Mental Secara Digital dan Gratis
Five Men, Pop-Manoeuvres & Manimal

________________________

• Artikel ini pertama kali tayang di majalah The Beat Jakarta edisi April 2010

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top