Sejawat Penyuka Bahasa Indonesia,
Ini ada tulisan menggelitik dari Qaris Tajudin yang saya pinjam-pakai dari rubrik “Bahasa!” majalah Tempo, edisi 18 Agustus 2008. Qaris, sang Redaktur Halaman Nasional Koran Tempo, amat jeli mengamati—sekaligus menguliti—gejala sosial kecil nan signifikan yang sedang terjadi di keseharian kita. Pria tamatan universitas di Kairo ini ultra cermat membaca dinamika di sekelilingnya. Coba saja baca.
Aku, Chairil Anwar, dan Cinta Laura
Enam puluh lima tahun lalu Chairil Anwar menulis puisi yang kemudian dikenang sepanjang masa: Aku. Ada keangkuhan pada kalimat “Aku ini binatang jalang”. “Aku” dan bukannya “saya” yang dia pilih untuk kata ganti orang pertama, karena Chairil memang ingin menegaskan keangkuhan itu. “Saya” tidak dapat menjalankan tugas menepuk dada, seperti yang “aku” lakukan. “Aku” adalah “saya” dengan ego yang meluber.
Kata ganti orang pertama yang beragam ini memang keunikan bahasa Indonesia (atau Melayu) yang tidak dimiliki sebagian besar bahasa lain. Bahasa daerah yang bertingkat, seperti Jawa dan Sunda, memiliki beberapa kata ganti orang pertama. Bedanya, pemilihan kata tersebut tidak berdiri sendiri, tapi satu paket dengan pemilihan tingkat bahasa, seperti ngoko atau kromo inggil. Yang ada bukan perbedaan makna, melainkan perbedaan tingkat kehalusan bahasa.
Dalam bahasa Indonesia, selain “saya” yang netral dan “aku” yang angkuh, ada “hamba” yang dipakai untuk merendahkan diri. “Hamba” untuk menunjuk orang pertama sudah tak lagi digunakan seiring dengan hilangnya kerajaan dan pengaruh keraton. Tapi, di Kerajaan Malaysia, saat berbicara dengan Yang Dipertuan Agong, masih ada orang yang memakai kata “hamba” untuk menunjuk dirinya.
Di Indonesia, “hamba” memang tidak dipakai lagi untuk kata ganti orang pertama. Maknanya kembali menyempit menjadi budak. Sedangkan “aku” dan “saya” tetap bertahan. Masalahnya, meski masih bertahan, ada perubahan makna yang luar biasa. Terutama untuk “aku”. “Aku” Chairil Anwar 65 tahun lalu jauh berbeda, bahkan benar-benar bertolak belakang, dengan “aku” milik generasi Cinta Laura.
Saat Chairil memilih “aku” untuk mewakili dirinya, kita tahu ada keangkuhan, ketegaran, dan ketidakinginan untuk dikalahkan di sana. Tapi, saat Cinta Laura mengatakan “aku” (Cinta memang selalu memakai “aku”, bukan “saya”), yang tertangkap adalah kemanjaan remaja belasan tahun. Bukan keliaran, tapi kegemasan. Kesan ini tidak hanya dapat kita tangkap saat Cinta yang mengatakannya, tapi juga saat remaja perempuan lain mengatakan hal yang sama.