Ed Eddy & Residivis: Perdana, Pertama, Prima

Berita pers tentang album (penuh) perdana dari Ed Eddy & Residivis Lagu Kita Orang Indonesia ini saya telah buat lalu publikasikan pertama kali pada April 2008. Barangkali tulisan ini sudah terbilang agak usang di masa sekarang. Namun tetap saya tampilkan di situs pribadi saya ini demi mendokumentasikan perspektif yang pernah saya tuangkan agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Berita pers tentang album (penuh) perdana dari Ed Eddy & Residivis Lagu Kita Orang Indonesia ini saya telah buat lalu publikasikan pertama kali pada April 2008. Barangkali tulisan ini sudah terbilang agak usang di masa sekarang. Namun tetap saya tampilkan di situs pribadi saya ini demi mendokumentasikan perspektif yang pernah saya tuangkan agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.

Anjing!!!
Kukira preman…
Anjing!!!
Ternyata polisi…

Penggalan lirik lagu tersebut duh-ternyata berujung kelam dan gulita. Bukan hanya bagi karir Ed Eddy & Residivis. Tapi juga—dalam skala yang lebih luas—keji mereduksi kebebasan berekspresi.

Refrain tembang bertajuk Anjing itu dianggap tendensius, dinyatakan sah dan terbukti menghina aparat kepolisian. Ed Eddy & Igo, sang arsitek utama, telah secara bersama-sama melakukan perbuatan tercela. Oleh karenanya pantas dijatuhi vonis 6 bulan kurungan dengan masa percobaan 1 tahun, pula larangan menyanyikannya. Lintang pukang sungsang sumbal protes keras paguyuban seniman tak mempan melawan. Ketok palu hakim adalah final, pantang diganggu-gugat. Jagat berkesenian Bali sontak tertunduk sedih, kelu, berduka.

Tanpa terasa setahun sudah berlalu. Masa hukuman usai. Selamat datang kembali kebebasan. Tahun 2008 semoga berpihak dan menjadi masa penuh harapan.
Berusaha terus teguh optimistik, kontingen veteran pub rock yang kini diperkuat pula dengan kehadiran Goegoek, Chalie, dan Dean, enggan larut dalam situasi carut marut. Ada mimpi besar yang terlalu lama terlunta-lunta. Ada obsesi gigantik yang harus segera diwujudkan: merilis album perdana.

Karena materi memang sudah matang tersedia sejak dulu kala, tinggal poles kiri-kanan sedikit, gosok kencang-pelan di sana-sini, sudah, Lagu Kita Orang Indonesia siap dirilis. Terdiri dari 8 tembang pilihan, album yang digarap di dsm>studio ini kebanyakan berkisah tentang fenomena sosial yang dikemas secara jenaka—tanpa harus kehilangan esensi kritis-tajamnya. Contoh paling gampang bisa disimak dari single unggulan Kronologi Pistol & Amunisi. Kusut masai kepemilikan ilegal senpi (senjata api) disenandungkan vokal elegan Ed Eddy dibalut dengan lirik khas humor satir. Lucu sekaligus serius. Kharismatik juga slenge’an. Serta yang paling menonjol: selain didominasi tempo sedang dengan liuk Blues menyayat menari (“Rock Residivis”, begitu mereka menyebut genrenya), pendekatan musikalnya tercuat distingtif, sangat kental rasa Indonesia. Klop sekali dengan judul albumnya.

Dan oleh kontingen asal Denpasar ini 12 April 2008 dipilih sebagai hari besar peluncuran debut album. Lokasinya ditetapkan di lapangan TVRI, Renon. Menurut Igo ini adalah bentuk nyata, realisasi jaya wijaya, segala idaman fantasi yang nyaris lapuk. Juga deklarasi penghargaan tinggi dan banyak terima kasih kepada barisan solid pelaku seni yang selama ini tanpa kenal menyerah mendukung sepenuh hati.

…Katanya kita
Bebas berkarya
Tapi mengapa masih harus lagu cinta… Yuk…

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

W167
Butuh waktu hingga 3 tahun bagi Aray Daulay merampungkan album terbarunya, Lagu Perjalanan. Namun rentang nan panjang itu tidak sia-sia, malah memuaskan. Karena jitu menggambarkan sosok Aray sebagai musisi veteran, melewati bermacam fase dan tren, kenyang asam garam belantika musik Indonesia.
Scroll to Top