Ian Who?

Foto kiri: Ian Stevenson (kaos putih) saat masih bersama Kaimsasikun"Curhat" tentang konser akustik mini Ian Stevenson ini sejatinya saya telah buat lalu publikasikan dua tahunan silam. Barangkali tulisan ini terbilang sedikit agak usang di masa sekarang, namun saya masih yakin bahwa belum banyak yang ngeh soal seberapa saktimandragunanya Ian---saya pikir Anda sungguh perlu tahu itu. Selebihnya, saya sengaja tetap tampilkan artikel ini di situs pribadi saya demi mendokumentasikan perspektif yang pernah saya tuangkan agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

“Curhat” tentang konser akustik mini Ian Stevenson ini sejatinya saya telah buat lalu publikasikan dua tahunan silam. Barangkali tulisan ini terbilang sedikit agak usang di masa sekarang, namun saya masih yakin bahwa belum banyak yang ngeh soal seberapa saktimandragunanya Ian—saya pikir Anda sungguh perlu tahu itu.

Selebihnya, saya sengaja tetap tampilkan artikel ini di situs pribadi saya demi mendokumentasikan perspektif yang pernah saya tuangkan agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.

________________________

Minggu senja, 1 Juni 2008, saya datang ke pesta perpisahan salah satu karib saya, Almira, yang hendak melanjutkan studi ke San Diego, Amerika Serikat. Dari sunset-bbq party di Petitenget, Krobokan, Bali; kemaren itu terdapat kejutan menarik, semacam hadiah perpisahan dari saya buat Mira: penampilan unplugged Ian Stevenson (dibantu Windu—kibordis yang belakangan banyak diminta/dirayu/dikerjapaksakan menjadi additional player di sejumlah band keren di Bali).

Ian, bagi yang belum mengenal dekat, adalah mantan frontman kelompok alternative rock, Kaimsasikun. Sebuah grup yang sebenarnya super potensial namun tersimak agak tertatih-tatih dalam meraih popularitas. True, indeed, salah satu bakat tajam Kaim itu terdapat di diri Ian. Dan Ian membuktikannya malam itu.

Hanya dengan gitar bolong serta keyboard + sound system kapasitas kecil Ian sanggup mempesona para hadirin yang berjumlah tak lebih dari 25 orang itu.

Ian dan Windu di farewell party Almira

Silakan tanyai kawan saya yang lain yang hadir petang itu, 100% garansi mereka semua pasti masih menggeleng-gelengkan kepala saking takjubnya menyimak performa Ian. Selain tentu saja dengan gemilang membawakan tembang-tembang Kaimsasikun a.k.a. menjadi dirinya sendiri, pula Ian bersenandung layaknya troubadour flamboyan nan kharismatik. Suatu saat dia menjadi Robert Smith. Lain kalinya Thom Yorke. Lalu Rivers Cuomo. Berikutnya Eddie Vedder. Semua dilakoni dengan—I kid you not—ultra brilian. Sangat Vedder. Pseudo-Yorke. Quasi-Cuomo. Siluman Smith. Mendesah, menggeram gagah, berbisik pedih, sesekali menjerit lantang, merdu menyanyi dengan gestur tenang dus terukur. Si tuan rumah yang duduk berdekatan dengan saya tak henti-hentinya membisiki saya seraya melontarkan puja-puji wangi terhadap showmanship Ian yang tanpa cela tsb. Mario, kolega dekat saya juga—sambil jejeritan gembira karena Ian menyanyikan salah satu lagu B-side yet non radio-friendly-nya Radiohead—menambahkan bahwa Ian duhai apik ketika membawakan Morrissey di sebuah mini gig di Kuta beberapa waktu silam. Saya, yang memang punya respek menjulang kepada Ian, belum pernah menyaksikan dia sebegini sophisticated. He’s so friggin’ amazing. Totally breathtaking.

Sumpah, derajat hormat saya pada Ian jadi meningkat masif.

Mungkin saya terdengar terlalu berlebihan, but, lemme tell ya, once and time again, on Sunday nite, he was THAT great. I joke you not.

Di kesempatan berikutnya Ian sudah berjanji akan mendendangkan lagu Rialto buat saya. Can not wait, dude.

Ian Stevenson di sebuah konser—saat masih bersama Kaimsasikun

_____________________

*Foto adalah milik Almira (farewell party) dan Lakota Moira (konser)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Picture of Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Artikel ini ditulis oleh sejawat logam berat, Samack, pula telah tayang di Jakartabeat.net sejak beberapa hari silam & bertajuk asli "Jejak Iron Maiden di Indonesia". Isinya membahas tentang pengaruh, rekam jejak grup legendaris ini di Nusantara plus sisipan wawancara dengan beberapa sosok yang dianggap mahfum lagi memiliki keterkaitan batin kuat dengan Steve Harris & co. Di antaranya, ya, saya. Agar lebih mudah mengidentifikasi yang mana jawaban dari wawancara terhadap saya, warnanya saya bikin khusus, beda dengan yang lain. Kebetulan juga saya ditempatkan sebagai pihak paling terakhir dalam menjawab pertanyaan, jadi gampang mengenalinya. ...So, can you play with madness?
Versi Bahasa Indonesia silakan klik di siniCupumanik are back. These Bandung's grunge veteran just released their newest single with a video clip, "Grunge Harga Mati" a few days ago. This song is their first ever single after quitting from a major label. It's also their significant step to fully apply a kind of Do-It-Yourself ethos. Che, the frontman, said that starting December 2010 they will release one song every two months and give it away a.k.a. free of charge. Another six songs are ready to be distributed thru next year. The single "Grunge Harga Mati" is like a declaration that Cupumanik is identical to grunge, Cupumanik is grunge itself. They have always been tagged as a grunge band by the public, and it naturally has become their flesh and blood so this time they formally declared it. Regarding the video clip, it basically talks about the transformation that happened with Cupumanik, from major label to an indie band. It is expressed in the clip via the change in their fashion statement. Check out their newest single & video clip in YouTube. Keep updated with them via www.cupumanikband.com
Scroll to Top