search

MAI MABASA BALI: MERANGKUL KULTUR, MERAWAT BAHASA

Mai Mabasa Bali adalah program yang sedang saya jalankan agar anak muda kembali mengakrabi budaya serta bahasa Bali.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Mai Mabasa Bali adalah program yang sedang saya jalankan sejak semingguan lalu, dengan harapan mampu menggaet minat khalayak, utamanya anak muda Bali, agar kembali mengakrabi budaya serta bahasa Bali.

Sebagai penyuka bahasa, dalam konteks ini: bahasa Bali, saya kerap merasa jengah campur khawatir dengan status bahasa Bali yang kian termarjinalkan, berangsur anjlok ke derajat nan rendah—malah direndahkan, dipandang kurang keren, dicap sebagai barang usang. Jika ini terus dinafikan, dibiarkan tanpa ada langkah antisipasi pula preservasi maka niscaya bahasa Bali bakal berujung lapuk lalu berakhir menjadi produk kadaluwarsa. Berangkat dari kegusaran tersebut saya tergerak untuk mengambil langkah nyata: Mai Mabasa Bali.
Lewat Mai Mabasa Bali saya berkehendak meraih mimpi (besar) yaitu agar bahasa Bali bisa menjadi tuan rumah di pertiwinya sendiri, diberi respek sepantasnya, kemudian dalam jangka panjang kembali digunakan sebagai bahasa pengantar sehari-hari alias basantara (lingua franca).

Isi program Mai Mabasa Bali cukup puspa warna juga dekat dengan budaya pop. Beberapa paguyuban dendang masa kini dan/atau berposisi terhormat, dianggap cool di kancah musik Pulau Dewata digandeng untuk meramaikan. Ada duo kakak-adik dengan mutu musikal mencengangkan: Alien Child; musisi muda tampan bersuara merdu, biduan band Manja: James Sukadana; grup musik dengan aksi panggung tersinting se-NKRI yang dikomandoi Elvis versi anak negeri: The Hydrant Bali; kuartet sakti mandaraguna yang sudah seperempat abad mengguncang belantika, salah satu kelompok musik cadas terbaik di seantero Nusantara: Navicula; pun, demi menghargai tinggi pengibar panji musik Bali yang telah sekian lama malang melintang serta melanglang skena: Widi Widiana.

Nyaris bersamaan dengan gempita musika, bakal terbit pula video ganda yang menghadirkan dua sosok Kaukasia. Satunya perempuan dari Polandia, Magdalena Szczerba, satu lainnya laki-laki asal Selandia Baru, Vaughan Hatch. Magda ini memang masih terbata-bata, jauh dari lancar berbahasa Bali. Namun, uniknya, ia lumayan rajin hadir di pernikahan-pernikahan orang Bali dan menyanyikan lagu-lagu Bali. Sementara Vaughan selain beristrikan orang Bali, ia juga merupakan pakar gamelan Bali dan lancar berbahasa Bali. Kecintaan mereka pada budaya Bali menggugah saya mengajak mereka terlibat.

Mai Mabasa Bali sendiri merupakan bagian dari festival budaya yang digagas oleh Yayasan Puri Kauhan Ubud bertajuk Sastra Saraswati Sewana dan telah berlangsung sejak beberapa pekan silam. Puncak acara bakal dipusatkan pada 17 Agustus 2021, tepat di saat hari kemerdekaan Republik Indonesia. Bakal ada gelar wicara, bincang-bincang soal pentingnya merangkul kultur serta merawat bahasa Bali dengan menghadirkan narasumber jurnalis serta penulis buku Bungklang Bungkling Wayan Juniartha, sastrawati Mas Ruscita Dewi, Vaughan Hatch, dan Widi Widiana, serta dimoderatori oleh budayawan glokal Marlowe Bandem. Akan ada juga pengumuman pemenang serta penyerahan penghargaan lomba kartun strip yang dikomandoi oleh Jango Pramartha.

Inggih, dumogi sareng sami ngemanggihin kerahayuan lan labda karya. Mai mabasa Bali!

Peradaban terbit dari kesepakatan. Kesepakatan muncul berkat terjadinya komunikasi. Dan jembatan komunikasi adalah bahasa—yang paling prematur: bahasa tubuh. Bahasa merupakan unsur pokok dan prasyarat utama perkembangan peradaban manusia. Manusia berhenti saling bunuh serta baku bacok lalu berevolusi menjadi insan beradab akibat, salah satu aspek vitalnya, keberadaan bahasa. Maka panglima utama peradaban adalah bahasa.

• Baca juga MAI MABASA BALI: PASANTIAN ALT-ROCK and MAI MABASA BALI: KAYIKA MILENIAL.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top