search

POHON TUA CREATORIUM TAK TUNDUK PADA PAGEBLUK

Empat bukan-pahlawannya Pohon Tua Creatorium—Manja, Truedy Duality, Soul & Kith, Soulfood—bersiap meluncurkan nyanyian dan gambar hidup.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Beri aku satu pemuda, maka aku guncang dunia. Beri aku beberapa musisi muda, maka aku warnai gunung, sawah, sungai, ngarai, dan pantai.

Pohon Tua Creatorium barangkali belum membuat gegar secara global, dan sejatinya memang bukan menargetkan capaian muluk-muluk. Misinya cenderung bersahaja: memberi warna, menerangi, dan membuat kancah musik Indonesia makin indah-mencengangkan.

Manuver paling mutakhir dari kolektif yang terdiri dari Pohon Tua (komendan), Gun (tukang son), dan Ira (tukang catat) adalah mendorong empat bukan-pahlawannya meluncurkan nyanyian dan gambar hidup: Manja dengan lagu “Rise”, Soulfood lewat tembang “Ain’t No Money It’s Ok”, Soul & Kith munculkan video musik “Sorrow”, serta Truedy Duality melepas video lirik “A Mad Deus Most Art”.

Bicara genre musik pun duh-gusti puspawarna. Mulai dari atmospheric rock, Southern Gothic, rancak Motown & misedukasi-Lauryn Hill, hingga art punk Moksartham Jagadhita. Bak hendak berteriak mengabari Nusantara bahwa Bali bukan monokrom. Tak cuma Superman Is Dead, Navicula, The Hydrant. Tidak sebatas punk, grunge, dan rockabilly saja.

Lalu, kenapa tetap bersikeras meluncurkan karya ke publik, padahal sedang katastrofe, alias industri musik sedang lesu. Bukannya sebaiknya menunggu, ndan?

“Orientasi tiap seniman pasti berbeda, industri lesu atau gak lesu, bagiku kreasi gak harus ikut lesu. Mereka band muda dan baru terjun di industri. Bedanya mereka mulai di saat musik industri lagi gak asik, tapi seniman bukannya harus bisa kreasi dimana pun dalam kondisi apa pun? Aku yakin bahwa mereka akan lebih siap dari siapapun saat pandemi ini selesai. Menunggu adalah pekerjaan yang tak pasti, tapi berkreasi adalah mutlak. Duit dan menjadi tenar itu komplemen, bonus. Yang penting jangan tambah “sampah” di industri yang sudah lesu,” sahut Pohon Tua dengan mimik kalem mencekam (baca: populis tapi bengis).

Setuju sekali. Jangan tunduk pada pagebluk. Rajinlah berkreasi, sekaligus melatih diri, sehingga berujung beruntun menghasilkan karya yang baik.

Jadilah saksi di akhir pekan, Sabtu sejak petang, 12 September 2020, kawanan muda Pohon Tua Creatorium unjuk aksi di Rumah Sanur serta turut rasakan bagaimana Bali bakal kian bangga dengan skena mini tapi maksi, kecil padahal kolosal.

So, Scaramouche, Scaramouche, will you do the Fandango?!

• Baca juga POHON TUA CREATORIUM: REGENERASI MAKSIMUM.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Rivaba-Balkan
Fenomena campur sari indie x Top 40 sedang riuh terjadi di Bali belakangan ini. Walau sejatinya sudah ada sejak cukup lama, jajaran pegiat indie mulai dari Zat Kimia, Aray Daulay (alM.), hingga bahkan Navicula, pernah cukup aktif “ngamen” di bar-bar di Bali selatan. Namun “serbuan” para aktivis indie di masa pagebluk ini mengalami peningkatan signifikan. Musisi seperti Manja, Modjorido, Soulfood, Truedy, dsb. silih berganti meramaikan panggung-panggung pertunjukan bar dan restoran di Canggu, Seminyak, Nusa Dua, sampai Uluwatu. Bergantian dengan paguyuban dendang Top 40 veteran seperti, sebut saja misalnya, Ika & the Soul Brothers serta Djampiro. Apakah merupakan aksi terlarang ketika sebuah band indie menyanyikan lagu orang lain? Bisakah dikategorikan dalam perbuatan tidak menyenangkan kala sekelompok grup musik yang mengaku indie namun faktanya kerap tampil menyanyikan tembang-tembang populer/Top 40?
PTCartists-RS
Great art comes from great pain. Mungkin inilah fenomena yang sedang terjadi di skena musik Pulau Bali. Para seniman malah menjadi kian kreatif kala digencet nestapa. Musisi, terutama beberapa bulan belakangan ini, kembali meramaikan belantika. Entah merilis karya, entah konser virtual dan di jagat nyata. Faktor signifikan lain yang membuat kancah musik di Bali tetap tegar tentu saja karena ekosistem musik di Bali yang kokoh dan terbilang komprehensif, semua syarat telah komplet. Hantaman Covid-19 cuma menggoyahkan fondasi sementara. Cuma gegar sebentar, bukan ambruk.

RUDOLF DETHU

Scroll to Top